Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

anakpatirsa's blog

anakpatirsa's picture

Atik Mati

Atik mati, kamu pulang secepatnya untuk menguburkannya.

Atik akhirnya mati. Aku tidak mampu menangisi kematiannya. Bukan karena tidak mampu bersedih. Ada saatnya kesedihan begitu mendalam sehingga air mata tidak mampu keluar. Sejak meninggalkan kampung halaman enam belas tahun lalu, aku tidak bisa melupakan kemanjaannya. Sampai sekarang pun sering kurindukan tingkah-polahnya yang membuat jengkel, padahal aku juga sering membuatnya jengkel. Tidak pernah bisa kulupakan tatapan marahnya karena kucium saat tidur. Tatapan marah itu tetap seindah tatapan bola mata bulatnya di keremangan lampu lima watt.

anakpatirsa's picture

Kisah Seorang Mantan Tentara

Bis mengurangi sedikit kecepatannya, memberiku kesempatan memerhatikan deretan tanaman yang memagari komplek. Empat tahun lalu, di jalan yang sama, aku melihat deretan rumah di belakang pagar itu. Bukan pagarnya yang menarik perhatian, juga bukan rumahnya. Saat itu aku memerhatikan apapun yang ada di pinggir jalan, semuanya tampak menarik. Deretan rumah tak terputus dan tembok tinggi kelihatannya lebih indah daripada deretan pohon di pinggir sungai kampungku.

anakpatirsa's picture

VERO

Entah sudah berapa lama ia duduk di kursi samping, sama sekali tidak melakukan sesuatu untuk membuatku menoleh ke arahnya. Diam di sana, entah ikut melihat anak berangkat sekolah atau sedang merasa kecewa karena aku mencuekinya. Aku tidak tahu apa yang membuatku menoleh, menemukannya duduk memegang boneka anjing. Tiba-tiba aku merasa sangat senang, persis seperti orang yang menemukan gadis pujaan duduk di sebelahnya.

anakpatirsa's picture

Pengemis dan Uang Logamnya

"Masuk, Mas," kata wanita pemilik salon menyambut pria yang barusan mendorong pintu kaca hitam.

"Di sini bisa pijat?" mulut si tamu memang mengajukan pertanyaan, tetapi matanya menjelajahi ruangan.

Ia sudah melihat tulisan Beauty Salon--Ladies and Gents sebesar gajah di depan. Di bawahnya, dalam tulisan kecil-kecil tertulis: Creambath, SPA, Massage, Lulur, dll. Ia masuk ke tempat ini karena kacanya berwarna hitam, dan tertutup rapat, seolah-olah menyembunyikan sesuatu.

anakpatirsa's picture

SOLOBALAPAN

Entah darimana ia mendapat nomorku. Akal sehatku sulit menerima bila ia mendapatkannya dari saudara di pedalaman sana. Kami menganggapnya sudah mati dan tidak pernah membicarakannya lagi. Bila ada yang menyebut namanya, seseorang langsung berkata, "Hus... jangan membicarakan orang yang sudah mati, pamali."

Bahkan di depan Tante, ibunya, kami tidak boleh memikirkan nama itu.

anakpatirsa's picture

Kisah Seorang Ayah

Listrik seharusnya hidup jam lima sore, tetapi seperempat jam setelah itu baru menyala. Listrik juga seharusnya mati jam enam pagi, tetapi seperempat jam sebelumnya sudah mati. Lalu bila sudah hidup tiga hari berturut-turut, ada pemadaman satu malam. Tidak ada batas waktu kapan pemadaman bergilir ini selesai. Aku merasa, sebulan lagi di sini, dengan keadaan tetap seperti ini, aku pasti berkarat.

anakpatirsa's picture

Kisah Seorang Ayah[4]: Tak Terbalas

Kamar ayah sudah kosong dan bersih. Waktu kami pergi, ada yang membakar semua barang yang berhubungan dengan kematiannya: kasur, meja jenazah, sisa-sisa bahan bunga rampai. Tidak ada barang lain di kamar selain sebuah meja kecil dan lima bungkus pengharum ruangan untuk menutupi bau formalin.

anakpatirsa's picture

Kisah Seorang Ayah[3]: Pemakaman

Saat terbangun, aku kembali sibuk dengan pikiran sendiri, tentang penguburan ayah nanti. Apakah ibu, kakak dan adik-adikku akan menangis. Aku sering melihat, kalau ada kematian, paling tidak tiga kali kerabat menangis. Saat melihat jenazah untuk pertama kali, saat penutupan peti mati, dan saat penimbunannya.

anakpatirsa's picture

Kisah Seorang Ayah[2]: Hari yang Panjang

Tengah malam, tepat dua belas jam sudah, ayah menghembuskan nafas terakhir. Hanya ibu, Dein, Mantuh dan seorang kerabat jauh yang menemaninya. Dua belas jam lalu, Dein melihat gelagat buruk, ia langsung berkata, “Ayah tunggu dulu, aku panggil orang.” Lalu mengambil motor, lima menit kemudian kembali bersama seorang paman. Begitu melihat keadaan ayah, ia langsung berkata, “Sandarkan punggung ayah kalian.” Dein menyandarkan punggung ayah, paman lalu memimpin Doa Bapa kami. Hanya doa inilah yang ia tahu. Begitu Amin, ayah menghembuskan nafas terakhir. Hanya Mantuh yang berteriak, Ayah... ayah…

anakpatirsa's picture

Kisah Seorang Ayah[1]: Berita Duka

Aku benar-benar sangat marah. Sudah 09.10, tetapi penumpang diam, pengeras suara juga bungkam. Hanya aku yang mendatangi petugas—sebagai bukti jarang melakukan perjalanan—menanyakan alasan keterlambatan, “Karena pesawatnya terlambat dari daerah.” Bisa kutangkap artinya, “Bukan salah kami, daerah yang salah.” Bila di daerah, mereka mungkin berkata, “Bukan salah kami, pesawat dari Jakarta yang terlambat datang.”

anakpatirsa's picture

DEAR DIARY

Waktu membereskan kamar, mataku melirik buku harian tahun 1996. Teringat kampung halaman, aku duduk di lantai, membacanya sekilas. Ada cerita yang kuingat lagi, cerita tentang adik yang juga teman berantem. Aku sedikit malu dengan tulisan "Dear Diary" yang menjadi pembuka. Panggilan "Ry" juga benar-benar memerahkan muka. Tetapi tidak apa-apa, semua orang pernah menjadi remaja.

anakpatirsa's picture

BUKU HARIAN LIANA

Satu persatu pelayat menyalaminya. Mereka menunjukkan duka dengan pakaian yang lebih hitam dari jubah nenek sihir. Anak, menantu dan cucu berderet di samping gundukan tanah, menyambut tangan-tangan yang tidak berani menyunggingkan senyum. Badoi tidak bisa membohongi dirinya sendiri, ia tidak begitu sedih. Sebagai suami yang barusan kehilangan istri, mukanya memang harus kelihatan sedih. Tidak begitu sulit, di infotainment, penyanyi dangdut yang hanya bisa pamer pantat pun bisa mengeluarkan air mata buaya. Apalagi ia yang otaknya ada di kepala. Tetapi ia tidak harus seperti itu, ia hanya perlu menahan senyum setiap kali menyambut uluran tangan.

anakpatirsa's picture

Leopold and Loeb: A Perfect Crime

Leopold and Loeb selalu ditulis berpasangan seperti Freddy and Jason, Dr. Jekyll and Mr. Hide ataupun Tom and Jerry. Bedanya, Leopold dan Loeb bukan sosok fiktif, mereka pernah hidup. Leopold, pemuda yang sangat pintar, anggota Phi Beta Kapa, perkumpulannya orang jenius. Sedangkan Loeb, temannya, lulusan termuda di University of Michigan. Sampai kapanpun, mereka selalu berpasangan. Bukan karena masalah orientasi seks, tetapi karena membunuh seorang anak hanya demi obsesi tentang kejahatan yang sempurna.

anakpatirsa's picture

PERTANDINGAN TERAKHIR

"Cepat... cepat...!"

Telingaku bisa mendengar teriakan itu. Mereka mungkin sedang memberi semangat, atau bisa juga menganggapku terlalu lamban menggiring bola di depan kesembilan belas pasang kaki yang sedang mengejar. Bisa kurasakan beberapa kaki itu menghantam betis. Kutahan, nanti biar ibu yang mengurusnya. Ia sudah tahu cara mengurangi bengkak di betis--merendamnya dengan air hangat. Tetapi aku harus menyerah, ada anak bertubuh besar berlari mendahului, lalu berbalik menghadap aku. Kaki kanannya menendang bola dari arah depan, meleset lalu menghantam kakiku.

anakpatirsa's picture

Kenangan "Manis"

Nangka belanda tumbuh hanya dua meter dari jendela ruang tamu. Begitu bangun tidur, kami bisa langsung melihatnya. Pohon yang tidak mengenal musim sehingga benda lonjong hijau selalu bergantung di dahannya. Kami harus mengambil dan menyimpannya di keranjang rotan sebelum benar-benar matang. Kalau tidak, tupai mendahului kami.  Bila simpanan itu sudah lunak, siapapun boleh membelah dan meletakkannya di meja makan. Siapapun boleh mencicipinya, asal jangan membuang sembarangan bijinya. Bumi begitu bersahabat, biji apapun yang menyentuhnya pasti tumbuh.

anakpatirsa's picture

Dari CCTV ke Maling Bugil sampai Komputer

Sering kulihat tingkah maling yang tidak menyadari kamera tersembunyi sedang menyorotinya. Ada satpam bertopeng yang menggarap tokonya sendiri tanpa berganti seragam. Juga ada maling yang bolak-balik kebingungan, tidak bisa keluar karena membuka pintu ke arah yang salah. Ini tingkah polah maling luar negeri. Di negeriku, ada maling yang bertelanjang bulat karena percaya ilmu tidak kelihatan yang ia miliki baru ampuh bila sedang tidak mengenakan sehelai pakaianpun.

anakpatirsa's picture

A Flashback

Selimut itu sudah lama kusiapkan, sengaja berpose di depan kodak tanpa rol untuk avatar. Selimut penuh kenangan, seorang sahabat yang lebih miskin memberikannya. Tugas Komputer Terapan membuatnya terpaksa menginap di kosku, namun ia tidak menemukan kasur di kamar.

anakpatirsa's picture

Metonimia

"Bu, ada rinso lima ratusan?"

"Rinsonya apa?"

Hati berkata, Rinso, ya rinso!

Kutahan, mulut ini menjawab, "Rinso."

Sebulan ini tidak lagi mengantar pakaian ke laundry--kadang tidak yakin namanya laundry--cukup murah, hanya lima ribu rupiah untuk lima kilo bila basah. Tidak masalah, ada jemuran di belakang rumah. Bila sekarang mencari rinso, bukan karena detergen ini "bisa mencuci sendiri", tetapi inilah yang kukenal sejak kecil.

anakpatirsa's picture

Sedikit Demi Sedikit, Akhirnya...

Saraf, kata yang tidak boleh kuucapkan, tetapi puskesmas ini membuatku selalu mendengarnya.  Lihat orang saraf itu, selalu keluar dari mulut seseorang. Bila kuperhatikan dagu yang mendongak itu, selalu mengarah ke pria yang sedang menyeberangi jalan dengan pikulannya. Selalu ada tanggapan, Si Bentol memang saraf.

anakpatirsa's picture

Anakpatirsa Mempertanyakan "Gereja Top Ten"

Purnawan Kristanto pernah mengulas plagiarisme. Beliau menulis:

Di dunia maya, kita mudah sekali tergoda dalam dosa mendaku karya orang lain sebagai karya kita sendiri. Apalagi dengan adanya fasilitas "copy-paste", maka godaan dosa ini hanyalah sejauh jari telunjuk dan tombol mouse. Jika dalam menulis di blog kita menggunakan sumber-sumber milik orang lain tanpa memberikan pengakuan/kredit yang layak, maka kita dapat terjebak dalam plagiarisme. Bahkan lebih jauh lagi dapat terjadi pelanggaran terhadap hak cipta seseorang.