Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Sebuah Kampung di Pinggir Sungai

anakpatirsa's picture

        Ia tersenyum.

        Kubalas dengan senyum yang bentuknya kuharap seperti mulut orang marah mencicipi mangga masam.

        Tidak terlalu sulit. Aku membenci orang-orang Humas dan Protokol. Sudah banyak cerita tingkah mereka kalau gubernur mau datang. Pagi ini kualami sendiri. Mereka datang, bertingkah seolah-olah merekalah pemilik hotel: mengutak-atik susunan ruangan, menyuruh mengganti deretan kursi depan, kemudian menempelkan jabatan orang yang pantatnya akan menempel di situ. Itu belum cukup. Seorang di antara mereka—manusia sombong dengan alat komunikasi di lubang telinga—meletakkan bara di atas kepalaku. Ia mengusirku dari lobi, berkata, "Sebentar lagi Gubernur datang, jangan bengong di depan pintu."

        Aku pernah mengira kota lebih baik dari kampung. Setali tiga uang. Bulan lalu, ketika bupati mengunjungi kampungku, gaya anggota Satpol PP yang mengawalnya tak jauh beda dengan gaya secret service ketika mengawal Barack Obama. Bedanya hanya di senjata, secret service menyembunyikan SIG Sauer P229 di balik jas, Satpol PP memegang pentungan seperti memegang kapak.

        "Bajoi, kan?"

        Manusia tolol. Nama itu yang terpampang di atas saku kananku. Nama itu juga yang terpampang di bawah foto ID Card yang tergantung di saku kiriku.

         "Ingat aku?" lanjutnya.

        Aku tidak ingat, dan tidak mau pura-pura ingat.

        Tahun lalu, aku dan adikku jalan-jalan di Pasar Blauran. Seorang wanita menjulurkan tangannya, berkata, "Hei, apa kabar? Masih ingat?" Kujawab, "Hei, baik! Tentu saja. Masa lupa?" Setelah ia menghilang, aku berkata, "Itu siapa?" Adikku menjawab, "Padahal tadi katanya, 'masa lupa?'"

        "Ehem.. ehem…. Mikirnya jangan terlalu lama."

        Tolol. Ia sangka barusan menguras otakku karena menyingkirkan papan nama sebesar gajah dari atas saku kanannya. Permainannya—jika ia mengira membalik ID Card yang tergantung di depan saku kiri adalah permainan—malah menambah tumpukan bara di atas kepalaku.

        "Kamu siapa?"

        Tetapi kemudian kuperhalus sedikit, "Maaf, aku lupa."

        Ia menatapku.

        Kubalas.

        Ia tersenyum. Senyum menjengkelkan itu lagi.

        "Yang kamu ingat cuma tahinya si Ibram."

        Aku terpaku.

        Sebuah kampung di pinggir sungai.

        "Kok senyummu sekarang seperti senyum Monalisa?"

        Kami bukan sekedar berasal dari kampung yang sama. Kami sama-sama berak di sungai yang sama saat Haji Ibram mengawali kerajaannya, membeli bidang demi bidang tanah sehingga kampung seolah-olah menjadi miliknya. Begitu banyak emasnya, begitu serakahnya ia, sehingga setiap tahi berwarna kuning yang hanyut pasti ia klaim sebagai miliknya.

        Aku ragu.

        "Anita?"

        Ia tertawa.

        "Ayo, kita minum di situ," ajaknya

        Aku mengekor.

        Kubaca lirikan pelayan yang berdiri di belakang meja layan, "Pengkhianat." Ia masih ingat, tadi aku minta kursi sambil mengomel. "Mereka minta kursi baru, karena di STPDN mereka hanya belajar menempatkan pantat yang tepat di kursi yang benar." Kemudian, ketika melihat para pelayan juga harus mengatur ulang susunan meja kursi restoran, aku kompor-kompori. "Siapa sih sebenarnya yang mau datang ini, presiden atau hanya gubernur?" Setelah melihat hasil pekerjaan mereka, sepuluh meja bundar mengelilingi sebuah meja bundar yang jauh lebih besar, aku pura-pura takjub. "Wow… Aku baru tahu. Disana, selain belajar tata tempat, mereka juga belajar tata surya."

        Ia memilih sebuah meja. Bukan pusat tata surya, tetapi planet yang mungkin Pluto.

        "Kopi susu," katanya pada pelayan yang mendatangi kami.

        Mata si pelayan singgah di wajahku. Aku mengerti, "Kalau Kau, minum apa, penjilat?"

        "Hitam."

        Ia melemparkan sebuah tatapan sebelum berbalik, "Bunglon!"

        Aku tidak peduli.

        "Tak kusangka bisa melihat kamu lagi."

        Aku bersungguh-sungguh. Aku tidak pernah mimpi melihatnya lagi. Ia memang bagian masa kecilku, tetapi terhapus begitu saja ketika ia pindah ke sungai lain. Menyisakan kenangan masa kecil. Terakhir melihatnya, itu saat mau naik kelas lima. Terakhir minum bersama—kalau menjilat es lilin boleh dibilang minum—bukan di restoran hotel berbintang empat, tetapi di teras kelas empat.

        Sebuah kampung di pinggir sungai.

        Penduduknya menonton sebuah perahu mengapung. Penumpangnya tiga. Satu di depan, menjaga tali pemberat; satu di tengah, menjaga mesin pemompa udara; dan satu di dasar sungai, mencari mayat seorang anak.

        "Ngomong-ngomong, buntut speed itu milik siapa?" lanjutku.

        Aku tahu siapa pemiliknya, ia juga tahu aku tahu.

        Tak ada jawaban.

        Sunyi.

        Sepi, kecuali deretan "kepada yang terhormat" samar dari aula. Daftarnya masih panjang. Aku yang mengetiknya, jadi aku tahu. Itu deretan pantat yang menempel di kursi yang ditempeli jabatan mereka.

        Aku menunggu.

        "Kata si Ibram, itu miliknya."

        "Dikasih berapa?"

        "Lima puluh ribu."

        Aku juga sudah tahu. Semua orang mendengar kisahnya. Ketika buntut speedboat-nya jatuh ke dasar sungai, Dero menawari hadiah tiga ratus ribu rupiah. Seperempat juta lebih lima puluh ribu itu bukan hanya membuat sungai penuh penyelam, tetapi membuat puskesmas penuh pasien bertelinga mendenging. Si Ibram, ketika mendengar buntut speedboat-nya ditemukan di dasar sungai, hanya membayar lima puluh ribu.

        Manusia pelit serakah.

        Pelayan membawakan kopi kami. Aku tidak bisa menangkap nama binatang yang ia sebutkan dengan lirikannya. Bisa saja musang, kadal, ular, atau buaya, tetapi yang pasti bukan gajah.

         "Tahu nggak? Waktu menonton orang menyelam mayat kamu, aku takut malamnya kamu menghantuiku. Gara-gara paginya aku marah kamu tusuk leherku."

        Sebuah kampung di pinggir sungai.

        Tengkukku merinding. Anak yang terbaring di dasar sungai membuatku takut. Tadi pagi ia menusuk pulpen ke tengkukku. "Kalau kepala kamu nggak bisa diam, aku nggak bisa melihat papan tulis."

        Tek… tek… tek….

        Apakah menyiapkan kopi ada protokolnya? Melihat caranya mengaduk, gubernur tidak bakalan tersedak biji kopi sebesar kelereng. Dari aula, gubernur menyebut orang yang pantatnya duduk di kursi kehormatan paling pojok. Sebentar lagi giliran Tuhan Yang Maha Esa mendapat panjatan puji dan syukur.

        "Tahu nggak? Si Nirwan membual, 'Tadi malam aku memimpikan anak itu, ia bisa terbang. Itu seharusnya sudah kusadari, rohnya sudah mau pergi. Itu pertanda jelek, firasat buruk. Sangat buruk.'"

        Tek… tek… tek….

        Terserah! Ia juga tidak pernah peduli aku mau mendengar atau tidak. Telingaku sakit mendengar cerita petualangannya ketika seluruh kampung menonton bang Horas mengaduk dasar sungai.

        "Tahu nggak? Mereka mencari mayat kamu sampai melewati lanting kami. Hari gelaplah yang membuat pencarian terpaksa dihentikan."

        Tek… tek… tek….

        "Tahu nggak? Ibumu meraung ketika kepala om Horas muncul membawa sesuatu di sisi perahu. Sesuatu yang sangat berat. Ingat om Horas? Penambang emas dari Timor yang namanya seperti nama orang Batak itu. Kami kira ia membawa mayat kamu. Bukan! Itu buntut speedboat lengkap dengan baling-balingnya."

        Ia berhenti mengaduk. Sendoknya ia letakkan di pinggir tatakan.

        Hanya itu yang kudapat atas cerita buntut speedboat yang hebat itu.

        Apakah menjadi 'protokol' gubernur berarti jangan mengungkat-ungkit kekonyolan masa kecil? Kuharap tidak. Aku berharap ia tanyakan, "Bagaimana orang sampai mencari mayatku di sungai?" Ia sudah tahu jawabannya. Tetapi apa salahnya mendengar cerita itu dari mulutku? Apa salahnya mendengar cerita yang sama untuk keseribu kalinya setelah puluhan tahun tidak bersua?

        "Tahu nggak? Om Horas menggigil kedinginan ketika keluar dari air. Telinganya sakit, padahal sudah disumpal permen karet."

        Tak ada lagi denting sendok. Tak ada lagi alasan pura-pura sibuk, selain pura-pura menajamkan telinga supaya bisa mendengar pidato samar dari aula.

        "Tahu nggak? Waktu aku mau tidur, kepala ibuku nongol di dalam kelambu. Berkata, 'Awas kalau kamu berani seperti itu.'"

        Ia sama sekali tidak tersenyum.

        Aku kembali jengkel, tumpukan arang kembali menyala.

        Kesabaranku habis.

        "Tak kusangka kamu punya nyali untuk tinggal di pinggir Sungai Kahayan."

        Mukanya langsung berubah.

        Ia menatapku tajam. Menusuk.

        Aku tidak berani membalasnya, ada kemarahan yang tidak kupahami.

        "Sudah punya anak?"

        "Istri saja belum dapat," jawabku.

        “Kamu tidak akan paham.”

        Bagiku, gumaman itu kedengarannya seperti, “Ia tidak akan paham.”

        "Kamu?" tanyaku.

        "Anakku? Dua..."

        Tak kudengar nada kemenangan.

        "Hebat," balasku tulus. "Hati-hati, jangan bawa mereka dekat-dekat Sungai Kahayan."

        "Sudah terlambat!"

        Sebuah balok menghantam dadaku. Ia menangis.

        Tidak mungkin!

        Itu hanya takhayul.

        Sebuah perahu getek merapat saat ia berak di atas lanting. Ia tahu, ibunya tidak bakalan memberinya ijin menyusuri sungai kecil di seberang kampung. Jadi ia pura-pura naik ke darat, duduk di bawah pohon durian. Setelah mendapat beberapa gigitan nyamuk, ia kembali ke lanting. Duduk manis di atas perahu getek sepupunya.

        Jauh di tengah hutan, di sebuah danau kecil yang sunyi, baling-baling mereka terlempar ke dasarnya. Tidak ada baling-baling cadangan sehingga keduanya terpaksa mendayung menggunakan papan lantai perahu.

        Hari sudah malam ketika ia muncul di depan pintu. Semua terganga. Tidak ada yang bergerak. Kecuali wanita yang meraung karena buntut speedboat itu. Tidak peduli hantu atau bukan, ia berlari mendapatkan anaknya; menangis dan meraung sekeras-kerasnya. Ayahnya lebih waras, ia memeriksa seluruh tubuh anaknya, memastikan itu manusia utuh, bukan arwah yang melayang dari dasar sungai.

        Sejak malam itu, ia tidak lagi dipanggil Anita.

        Itu hanya takhayul.

        Namanya parasat. Tanda lahir tak kasat mata di kening seseorang. Tanda bagi orang yang ditakdirkan mati tenggelam. Anito tidak mempunyai tanda itu, tetapi dasar sungai telah diaduk. Ia sendiri yang menorehkan tanda itu di keningnya. Orang tuanya sudah menyembelih babi yang kemudian dilemparkan ke dasar sungai. Tetapi hanya diam yang mereka dapatkan. Karena itu, begitu naik kelas lima, mereka menjauhkan anaknya dari pinggir Sungai Kahayan.

        "Kedua anakku tenggelam di sungai itu!"

        Aku tidak tahu bagaimana harus menghiburnya. Aku hanya bisa diam.

        Kemarahan itu masih terasa ketika ia berkata, "Sori, kita harus bersiap-siap."

        Aku hanya bisa mengangguk. Gubernur barusan mengucapkan, "Akhirnya, dengan mengucapkan puji dan syukur atas rahmat dan hidayah-Nya... "

        

Hotel Barito Sweet Shinta, Maret 2011

Purnomo's picture

AP pindah aliran

Sekali ini saya harus membaca dua kali tidak seperti biasanya karena AP telah berganti gaya menulisnya.
Keep on writing, bro.
Salam.


anakpatirsa's picture

Tidak Saya Sadari

Terima kasih, Pak Pur.

Kalau memang ada pergantian gaya, saya tidak menyadarinya.