Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Originality is not Dead.. (n)Yet!

y-control's picture

Meski Pengkhotbah berkata, “Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi, tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari”, memunculkan ide orisinal bukan hal yang mustahil. Kalau ada yang tetap sama sejak dulu sampai sekarang, mungkin itu adalah kebutuhan manusia akan informasi dan komunikasi. Itulah sebabnya, buku-buku dan artikel-artikel, termasuk di blog, masih tetap laris dibaca bahkan dibeli karena masih ada orang yang selalu memberikan informasi dan pencerahan baru bagi para pembacanya.

 

Mungkinkah Orisinal?

Saat mencari referensi tulisan untuk topik ini melalui mesin pencari (artinya: tulisan ini bukan murni dari ide yang sudah saya pegang sejak lahir), saya menemukan satu kalimat menarik: “Originality is Dead”. Orisinalitas sudah mati, demikianlah bunyi kalimat itu. Para pendukung pendapat ini beralasan jika di zaman sekarang ini semua hanya pengulangan. Musik zaman ini adalah pengulangan dari musik di dekade-dekade sebelumnya. Film juga banyak yang hanya merupakan remake. Teknologi juga hanya perkembangan atau inovasi (bukan temuan baru) dari teknologi atau pemikiran yang sudah ada sebelumnya.   

Benarkah tidak ada lagi sesuatu yang benar-benar orisinal yang bisa kita hasilkan saat ini? Saya sih tidak setuju. Kita bisa berkata bahwa semua manusia sama. Sejak dulu, manusia tetap tidak punya sayap, tetap tidak bisa bernafas di dalam air, tetap mendengarkan lewat telinga, dll. Tapi, kita sendiri sering berkata, “Setiap orang itu unik dan berbeda.” Bukankah itu berarti orisinalitas masih ada?

Setiap Orang (Seharusnya) Orisinal

 Setiap manusia adalah unik, tidak ada yang sama persis antara satu orang dengan yang lainnya, bahkan meski ia punya saudara kembar siam. Demikian kata orang. Dalam hal ide, semestinya ini juga lebih tampak lagi. Sama-sama menulis mengenai satu kejadian, dua orang dapat memberikan kesaksian yang berbeda. Keempat penulis Injil sama-sama menulis tentang Yesus, tetapi mereka menyajikan 4 tulisan yang berbeda. Sekian ribu orang mengalami bencana alam yang sama, tapi puluhan atau ratusan tulisan berbeda diterbitkan. 

Hanya saja, harus diakui salah satu godaan yang sering kali dialami penulis di era internet ini adalah godaan untuk sekadar menyalin ide dari orang lain. Padahal, sejujurnya kita tidak akan pernah bisa menghasilkan karya yang berkualitas jika hanya menyalin ide dari orang lain. Mengapa?

Signature

Saat membaca sebuah bahan tulisan, baik di situs atau di buku, ada dua hal yang bisa kita temukan, informasi dan ide. Informasi ini bicara tentang fakta. Untuk sebuah tulisan, tolok ukur dalam menilai sebuah informasi adalah apakah informasi itu benar atau tidak. Namun, saat menilai ide tulisan, maka yang kita tanyakan bukan saja benar (etis) atau tidak, tapi apakah itu orisinal atau tidak, apakah ide itu fresh atau sudah klise, maju atau hanya pengulangan, dll. Mungkin itulah salah satu hal yang membedakan ide dan informasi. Saat menulis, kita memang harus memiliki informasi. Kita membuka buku-buku atau berselancar di dunia maya untuk mencari informasi. Tapi, untuk mendapat ide yang orisinal, sesungguhnya sering kali ini tidak cukup hanya dengan cara browsing atau membaca. 

Orisinalitas berasal dari ide, dan ide berasal dari cara pandang kita. Nah, cara pandang adalah sesuatu yang bersifat khas, unik, dan tentu juga harus jujur dan benar. Ada yang menyebut cara pandang khas ini sebagai “signature” (tanda tangan). Meskipun itu adalah tanda tangan orang terdekat kitapun, sering kali kita masih sulit menirunya secara persis. Seorang penulis boleh saja sudah menulis ratusan tulisan beragam jenisnya, tapi jika tulisannya orisinal, biasanya dia akan tetap dapat dikenali karena tulisannya selalu bisa merefleksikan cara pandangnya yang khas itu. Itu sebabnya, jika kemudian ada seseorang yang mencontek karya si penulis tersebut, ia tidak akan bisa menghasilkan sesuatu yang benar-benar punya kualitas sama dengan aslinya. Mengapa? Awalnya mungkin tidak ketahuan. Tapi, jika itu terus menerus dilakukan, akan kelihatan bagaimana ia tidak akan bisa mencontek “signature” atau cara pandang khas itu, apalagi jika ia mencontek dari berbagai sumber.

Akan tetapi, salah sekali juga jika menghasilkan karya yang orisinal hanya terbatas pada menulis kesaksian atau puisi, misalnya. Ada banyak kesaksian yang terkesan tidak orisinal meski ditulis sendiri, salah satunya ketika si penulis lalu terjerumus dalam jargon-jargon, nasihat atau hikmah yang klise, yang bagi saya malah mengesankan ketidakjujuran. Sebaliknya, menulis dengan menggunakan bahan-bahan dari membaca banyak buku, artikel, mendengarkan khotbah atau ucapan orang pun bisa orisinal, asalkan sebelum menulis, informasi itu sudah diolah agar kita bisa memberikan sudut pandang yang dipengaruhi oleh pengalaman, keyakinan, ideologi kita, atau semacamnya. Karena itulah, mungkin tidak perlu juga terlalu mengkhawatirkan copas selama dalam menulis kita selalu memakai ide dan cara pandang kita yang khas, jujur, serta benar, karena waktu akan membuktikan bahwa tidak akan ada orang lain yang bisa meniru tulisan kita.