Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Catatan Ringan Relawan (5)

Purnawan Kristanto's picture

KaligendolKepuasan terbesar relawan adalah ketika bisa meringankan beban penyintas bencana. Maka ketika mendengar di tempat tertentu ada pemyintas membutuhkan bantuan, maka adrenalin relawan terpacu. Mereka akan bergegas menuju lokasi untuk mengulurkan tangan.

Hal yang sama terjadi pada bencana erupsi Merapi ini.  Saat erupsi besar, tanggal 4 Nopember, mendadak timbul gelombang pengungsian. Mereka membutuhkan membutuhkan makanan siap santap dalam jumlah yang besar. Yang mengharukan, situasi kritis ini direspon masyarakat dengan sangat cepat. Tanpa dikomando dari pusat, namun berdasarkan solidaritas, mereka membuat nasi bungkus untuk dibagikan kepada pengungsi. Pada awalnya jumlah nasi bungkus hanya ratusan buah. Namun hari-hari berikutnya, jumlahnya bertambah drastis. Bahkan sampai mencapai puluhan ribu. Akibatnya, kami kewalahan mendistribusikan nasi bungkus.

 
   Sebenarnya kami sudah mengatur distribusi nasi bungkus sesuai dengan jumlah pengungsi yang kami layani, sehingga jumlahnya sudah pas.  Namun seringkali ada donatur yang menurunkan ratusan nasi bungkus secara mendadak.  Jika mereka memberitahukan sebelumnya, kami punya waktu untuk menghubungi tempat-tempat pengungsian lain untuk menawarkan nasi bungkus.

Suatu hari, kami harus mendistribusikan 1000 nasi bungkus di luar bantuan yang biasa kami salurkan. Kami sudah menghubungi tempat pengungsian di barak Dodiklatpur (Komando Pendidikan dan Latihan Tempur) di Wedi, Klaten. Mereka bersedia menerima.  Ketika kami sampai di sana,  baru saja ada bantuan nasi bungkus sebanyak satu truk yang diturunkan di sana.  Nasi bungkus kami tidak laku. Kami harus mencari sasaran baru, sebab nasi bungkus ini adalah amanat dari donatur. Kami wajib menyalurkan ke pihak yang membutuhkan.

“Di Ceper ada tempat pengungsian butuh 400 nasi bungkus. Cepat kirim ke sana!” Perintah Agus Permadi, koordinator posko.
“Saya makan dulu ya,” kata seorang relawan yang menjadi sopir.
“Kalau makan dulu, nanti keburu didahului bantuan dari pihak lain,” sergah relawan,” sudah, kamu makan saja, aku yang menyetir.”
Demikianlah, dengan perjuangan berat, malam itu kami sukses menyalurkan 1000 nasi bungkus ekstra. Mengingat kembali peristiwa itu, saya tersenyum sendiri. Baru kali ini ada orang-orang yang berebut memberi bantuan.

Ini berbeda sekali dengan bencana gempa tahun 2006. Saat itu, penyintas yang “rebutan” bantuan, terutama yang berada di wilayah “pedalaman.” Melihat situasi ini, kami sengaja mencari blank spot, yaitu titik-titik yang belum terjamah bantuan.
Suatu hari, ada dua relawan yang dengan bersemangat berangkat dari posko mengendarai sepeda motor pinjaman. Mereka mendengar di wilayah tertentu belum terjamah bantuan. Misi dua orang ini adalah melakukan survei untuk memutuskan apa saja yang perlu dibantu dan berapa saja jumlahnya. Dengan semangat pejuang 45 mereka menyusuri pematang sawah dan melintasi jalan desa yang becek.
“Wah, tempatnya benar-benar sulit dijangkau nih,” kata satu relawan pada temannya. Mereka membayangkan akan punya cerita seru dan heroik untuk dibagikan [dan dipamerkan] pada relawan lainnya di posko nanti.
Sesampai di lokasi dan melakukan pendataan, tiba saatnya untuk pulang. Mereka bersiap menyusuri rute semula.
“Lho, kok lewat situ?” tanya warga heran. “Ada kok jalan lain yang lebih enak.”
Olala…ternyata ada jalur lain yang jauh lebih mulus dan mudah dilalui menuju ke posko induk. Maka, pupuslah angan-angan untuk memamerkan kisah heroik mereka.

__________________

------------

Communicating good news in good ways

PlainBread's picture

Hahaha

Endingnya benar2 punchline :)
Mey Weh's picture

Buntut nya mas wawan...

Buntut nya mas wawan bener2 bikin geli....hue he he he he he he