Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

ASTAGA

Purnomo's picture

Kalau Yesus mengikuti ibadah Minggu, Ia pasti datang seperempat jam sebelum kebaktian mulai. Lalu merasa heran melihat betapa lengangnya gedung itu. Sementara sang kosterpun masih sibuk mengatur kursi dan bunga-bungaan.

“Selamat pagi,” kata-Nya kepada koster.
“Pagi,” jawab koster tanpa berhenti menyapu kursi sehingga debu beterbangan dan Yesus terbangkis-bangkis.
 
“Mengapa kurang sepuluh menit gedung ini masih sepi begini?”
“Itu hal yang biasa. Bapak sebenarnya baru boleh bertanya begitu kalau sudah sepuluh menit lewat jam tujuh.”
“Tetapi jam begini anda juga belum selesai dengan pekerjaan anda.”
“Masih banyak waktu sampai jam tujuh.”
“Anda anggota jemaat di sini?”
“Mana bisa. Justru pada hari Minggu saya paling banyak sibuk.”
“Tentu orang-orang di sini ingin anda menjadi anggota jemaat, bukan?”
“Ya, dan sayapun sebenarnya cukup punya keinginan. Tapi kami tak dapat mencari jalan keluar bagaimana supaya koster bisa ikut kebaktian dengan tenang pada hari Minggu.”
“Anda mengalah?”
“Ini penghasilan saya.”
 
Lalu terdengar suara nguiiiiing, keras sekali.
“Apa itu?”
“Itu testing pengeras suara.”
“Tapi ini sudah kurang dua menit.”
“Sudah saya katakan, Bapak baru berhak bertanya begitu kalau sudah jam tujuh lewat sepuluh menit.”
 
Tak lama kemudian, Ia bertanya lagi.
“Sekarang sudah jam tujuh. Mengapa mereka belum mulai juga?”
“Wah, Bapak orang baru rupanya. Jam tujuh lewat sepuluh menit nanti paling baru mulai.”
“Mengapa?”
“Banyak alasannya. Majelis yang datang baru seorang, padahal diperlukan paling sedikit tiga orang. Mungkin juga mereka menunggu pemain organ. Atau tidak jarang pak pendeta datang terlambat. Dan maklum saja, acara akhir pekan di tivi selalu menarik.”
“Astaga!!”
“Mengapa astaga? Mengapa Bapak begitu mericuhkan soal beberapa menit?”
“Soalnya bagi saya adalah soal disiplin, soal perhatian, soal kesungguhan, dan kerinduan mereka beribadah. Bisakah anda menjadi koster yang baik tanpa disiplin, kesungguhan dan kegembiraan kerja? Saya sangsi mereka bisa menjadi orang Kristen yang baik tanpa disiplin dan kesungguhan.”
 
Benar saja, ibadah itu berjalan tersendat-sendat karena begitu banyak yang datang terlambat. Suasana menjadi sedikit riuh rendah oleh suara sepatu yang berdetak-detak. Perhatian tersebar pada pameran berjalan, bagai suasana di fashion show.
 
“Mengapa anda terlambat?” Dia bertanya kepada seorang jemaat.
“Masih untung saya bisa bangun.”
“Tapi anda terlambat!”
“Sudah pasti tidak. Kotbah toh belum mulai. Acara yang lain itu ‘kan begitu saja setiap Minggu. Pokoknya saya masih sempat mendengar kotbah, memberi kolekte dan mendapat berkat.”
 
Kemudian setelah kotbah selesai, Ia mendatangi seorang lelaki yang duduk di sudut.
“Anda mendengar kotbah tadi?”
“Sedikit-sedikit. Soalnya kotbahnya begitu sih”
“Apakah anda mengantuk?”
“Dua-duanya.”
“Jadi tidak ada yang anda peroleh selama ibadah tadi?”
“Tentu saja ada. Yaitu bahwa saya sudah ke gereja minggu ini, sehingga isteri saya tidak mengomel lagi. Dan Tuhan juga memberi berkat. Saya ketemu teman saya di gereja, dan saya mendapat order dagang yang cukup lumayan.”
“Astaga!!”
“Mengapa astaga?”
“Ya, hanya astaga itulah komentar saya.”
 
Setelah kebaktian, ada rapat majelis gereja. Dan yang menarik bagi Yesus ialah, karena rapat kali ini akan berbicara tentang perayaan-perayaan Natal.
“Apakah persiapan-persiapan Natal kita sudah beres?” tanya ketua majelis.
“Sudah. Anggaran belanja dan acara sudah tersusun. Pembagian kerja juga sudah diatur,” jawab seorang majelis yang menjadi ketua panitia.
“Baik. Apa kira-kira tema kita tahun ini?”
“Tema?”
“Ya. Maksud saya, bagaimana kita akan menjiwai Natal kita tahun ini?”
“Pertanyaan saudara ketua itu agak aneh. Jiwanya tentu sama saja seperti tahun-tahun lalu.”
“Apa lagi?”
“Apa lagi? Arti Natal ‘kan ya begitu-begitu saja, bukan? Hanya dalam penyajian acaranya saja ada sedikit variasi.”
 
“Saya ingin bertanya, katakanlah sedikit usul. Bagaimana kalau Natal tahun ini kita jadikan titik tolak supaya kegembiraan Natal dapat juga dinikmati oleh saudara-saudara kita yang kekurangan?”
“Usul saudara ketua majelis itu telah kami perhatikan. Dalam anggaran itu, kami akan menyelenggarakan acara dan bingkisan khusus bagi saudara-saudara kita yang miskin.”
“Usul saya lebih dari itu. Yaitu bagaimana menggunakan anggaran panitia yang tujuh puluh juta rupiah itu bukan hanya untuk menyenangkan mereka setahun sekali. Tetapi mengusahakan proyek yang dapat menolong mereka sepanjang tahun. Mungkin kita tidak merayakan Natal seperti tahun-tahun lalu, tetapi kembali merayakannya dalam suasana kandang yang miskin dan pengap.”
 
“Pendapat saudara ketua itu saya tentang dengan keras. Pertama, kita telah menyalahgunakan persembahan anggota-anggota jemaat kita. Kedua, mengangkat nasib saudara-saudara kita yang kekurangan itu, menurut hemat saya, bukanlah tugas kita tetapi tugas Depsos. Dalam hidup ini ‘kan harus ada orang kaya dan orang miskin. Tuhan membiarkan mereka. Mengapa kita harus terlalu merisaukannya?”
“Astaga!” tiba-tiba Yesus nyeletuk.
“Mengapa astaga?” tanya ketua panitia.
“Hanya astaga, itulah komentar saya.”
 
KetikaIa keluar, Ia berjumpa dengan seorang wanita sedang sibuk.
“Saudari siapa?” tanya Yesus kepadanya.
“Saya anggota majelis di sini.”
“Tapi mengapa tidak ikut rapat?”
“Saya ditugaskan masak hari ini.”
“Jadi tidak ikut rapat?”
 
“Ya. Apalagi rapat begitu membosankan. Biar saja mereka rapat. Apa pun keputusannya saya nurut-nurut saja. Saya sih malas kalau disuruh debat-debat.”
“Tapi saudari anggota majelis gereja, bukan?”
“Ya. Tapi saya senang begini, daripada duduk berjam-jam mendengar orang ngomong yang tinggi-tinggi. Dulu ketika saya diminta jadi majelis, saya juga sudah diberi tahu bahwa tugas wanita dalam majelis ya paling-paling masak, melawat, ikut mengubur dan sebagainya. Kalau ada rapat, ya dengar saja. Tidak ikut ngomong juga tidak apa-apa.”
“Astaga!”
“Mengapa astaga?”
“Ya, hanya astaga, itulah komentar saya.”
 
Lalu Yesus pun melihat-lihat kertas di papan pengumuman. Daftar kotbah, daftar pembagian tugas, susunan majelis gereja, susunan acara dalam sepekan, grafik dan statistik, laporan keuangan dan sebagainya. Dan, Ia berkata dalam hati:
 
“Astaga! Alangkah rapi dan teraturnya. Untuk ini, gereja ini memang harus mendapat nilai seratus atau sembilan puluh paling sedikit. Sebagai mesin mereka memang mesin yang baik, yang berjalan serba otomatis. Tapi gereja toh bukan mesin. Ia harus merupakan tubuh yang selalu menghayati akan makna kehadirannya sebagai gereja. Mereka rajin menghidupi gereja sebagai institusi, tetapi mengabaikan esensi dan makna eksistensinya. Mereka senang dengan bungkus dan bukan isinya. Mereka senang dengan etiket tapi tidak terlalu hirau akan kwalitet. Padahal, apakah gunanya etiket yang tidak menjamin kwalitet?”
 
Yesus tiba-tiba terkejut karena pundak-Nya ditepuk orang.
“Saudara anggota jemaat di sini?”
“Saudara siapa?”
“Saya pendeta di sini.”
“Tapi mengapa saudara bertanya apa saya anggota di sini?”
“Maaf, jemaat di sini terlalu besar sehingga saya tidak mengenali lagi mereka satu persatu.”
 
“Mengapa saudara masih berusaha memperbesar jemaat saudara? Mengapa tidak dibuat saja jemaat-jemaat kecil tersebar di mana-mana?”
“Tetapi, bukankah setiap pendeta menghendaki bekerja di jemaat besar? Apalagi kalau jemaat itu kecil, keuangannya payah. Orang-orang masih selalu tertarik untuk bangga menjadi anggota jemaat yang besar, sekali pun kurang terpelihara, daripada menyumbangkan tenaga mereka di jemaat yang kecil dimana sebenarnya tenaga mereka akan lebih berharga. Ini realita, saudara. Tak usah kita ganggu gugat.”
 
“Astaga!”
“Mengapa astaga?”
“Ya astaga, itulah komentar saya.”
“Tapi saudara belum menjawab pertanyaan saya. Saudara anggota jemaat di sini?”
“Maaf saja. Jawab saya adalah tidak.”
“Tapi saudara mengikuti rapat kami. Saudara sebenarnya tidak berhak.”
“Saudara tidak mengusir saya bukan?”
 
“Astaga!” teriak pendeta itu.
“Mengapa saudara sekarang yang mengatakan astaga?”
“Ini menyalahi peraturan organisasi!”
 
“Astaga!”
“Mengapa astaga?”
“Karena saudara rupanya lebih tepat mengurusi organisasi daripada sebuah gereja,” dan Yesus pun keluar dari gedung gereja itu.
 
(the end)
 
Pengumuman, pengumuman!
Dengan ini diumumkan bahwa artikel di atas bukan karya Purnomo.
Eladalah, lha kok Purnomo mulai ikut-ikutan kurang ajar melanggar tata-tertib Sabdaspace.
Betul! Tetapi Purnomo masih lebih baik daripada yang lain. Ia bersalah dan jujur mengakuinya sebelum ditegur orang lain. Lalu maunya ‘gimana?
 
Begini.
Menjelang tengah malam kemarin, saya telah menyiapkan kado untuk Pak Wawan. Boleh dianggap upeti kepada raja baru Sabdaspace. Tetapi gara-gara sibuk dengan PR, baru pukul 02.00 dini hari saya bisa masuk ke situs ini. Ternyata raja lama telah mewariskan semua “job des”nya kepada penggantinya. Pak Wawan sedang bergadang menjagai situs ini. Seperti biasa saya merespon dulu-dulu beberapa komen lalu bersiap menghaturkan kado. Saya kecele karena Pak Wawan sudah menggelar 38 kredo syukurnya yang komplitplit yang menyaingi database anggota pisbuk bahkan data diri selebriti. (Pak Wawan apa bermaksud mengumpulkan “balung pisah”?) Ibarat orang punya gawe, ia sudah memasang tenda biru di halaman rumahnya untuk menampung tamu yang datang menghantar kado.
 
Ketika mata saya menelusuri kredo itu sampai kepada maklumat bahwa Pak Wawan kenal banyak penulis (biasa ‘kan? Masak penulis kenalannya lebih banyak tukang tambal ban?) saya merubah rencana. Saya mencari arsip-arsip artikel lama. Nah, ketemu artikel yang pas dengan topik yang sedang ramai ditulis dan dikomentari selama 7 hari ini.
 
Saya telah googling di internet untuk mencari apakah artikel ini pernah diunggah. Ternyata saya tidak menemukannya. Di dalam buku-buku yang saya miliki juga tidak ada. Yang saya ingat, artikel ini saya salin dari sebuah majalah pemuda gereja. Artikel ini saya simpan karena darinya saya mengadopsi cara bertuturnya.
 
Kado untuk Pak Wawan berbeda dengan yang berikan untuk Raissa dan AES. Karena beliau penulis kawakan, memiliki banyak buku, kenal banyak penulis-penulis Kristen serta badan penerbit Kristen, kado saya berupa pertanyaan: Siapakah nama penulis artikel itu dan dari mana Anda mengetahuinya.
 
Apabila dalam waktu 7 hari Pak Wawan berhasil menjawabnya, hadiahnya adalah saya menyerahkan artikel ini kepada Pak Wawan untuk disampaikan kepada yang bersangkutan karena saya yakin beliau juga tidak menyimpan arsipnya. Pak Wawan kenal baik kok. Lalu saya akan menerakan nama penulis aslinya di blog ini dan mempersilakan Admin melakukan tindakan tertib lalu lintas atas blog ini.
 
Blogger lain boleh ikutan quiz ini untuk meramaikan pesta ultahnya Pak Wawan. Hadiahnya seperti yang diberikan kepada tamu pertama tenda birunya. Pak Wawan menyediakan handuk. Tempat pengambilan hadiah di alun-alun kota Klaten.
 
Salam.

 

Evylia Hardy's picture

@Purnomo: tebak-tebak buah manggis

Pak Pur, artikel itu memberi kesaksian bahwa penulisnya sangat peka dan cerdas dalam menyampaikan hasil pengamatannya. Saya belum pernah membacanya sebelumnya, tetapi gayanya mengingatkan saya pada tulisan Koh Xavier. Gara-gara masukin cerpen ke Ceria, saya diajaknya ikut perkumpulan penulis cerpen kristen yang baru dirintisnya di Yogya. Sayangnya setelah sekitar tiga kali ngumpul, lalu bubar. Mungkin karena Koh Xavier sibuk dengan Bahana yang waktu itu juga baru mulai berusaha eksis. Setelah itu kami lama tak bertemu. Terakhir bertemu waktu saya ambil honor cerpen yang dimuat di Bahana (dulu kan ada rubrik cerpennya). Selepas itu praktis kami tak pernah bertemu lagi. Hanya suami saya (waktu itu masih pacar)  yang cukup sering kontak dengannya, sebab mantan pacar sempat jadi penerjemah free-lance di Andi Offset. Jadi, kalau boleh nebak ... itu artikelnya Xavier Quentin Pranata ya? Kalau salah ya ndak apa-apa kan ... nothing to lose ... he he.

Eha

__________________

eha

Purnomo's picture

Eha, analisa yang cerdas

Dua spesifikasi tentang diri penulis ini yang Eha tulis betul. Yaitu,

1* sangat peka (terhadap masalah-masalah organisasi gereja).

2* cerdas dalam menyampaikan hasil pengamatannya.


Benar ia Xavier Quentin Pranata? Kita tunggu waktu pengumuman pemenangnya.


Karena Eha menyinggung majalah Bahana, ada 1 tip dari saya, seingat saya artikel lain penulis ini pernah dimuat di Bahana. Lho kok seingat saya? Karena sudah lama saya tidak lagi membeli majalah ini. Bukan gara-gara Pak Wawan sudah tidak di dalamnya lho. Tetapi karena saya lebih tertarik membelanjakan uang untuk membeli buku rohani. Bisa disimpan sedangkan majalah biasanya cepat koyak dan terpaksa diloakkan.


Sebuah mozaik jati diri Eha muncul lebih jelas, seorang cerpenis. Artikel rohani Kristen genre ini sekarang sulit didapat. Dulu saya senang membeli buku ‘kumpulan kesaksian’. Sayang sekarang tidak lagi terbit. Sudah berangan-angan untuk merintis buku kumpulan cerpen?

 Thx untuk komennya.

  Salam.

 

Evylia Hardy's picture

@Purnomo: kalau ternyata ...

Terima kasih atas pujiannya, Pak Pur, sebenarnya saya bukan orang yang pintar menganalisa.

Semalam sambil nonton bola saya tersenyum geli mengingat sayembara ini. Saya berpikir ... kalau nanti ternyata artikel itu tulisan Mas Wawan sendiri atau tulisan sang ayah mertua, pasti kocak sekali!

Kumpulan cerpen? Wah, saya ndak pernah merasa menjadi seorang cerpenis, Pak Pur. Wong masukin naskah saja bisa dihitung dengan jari.

Eha

__________________

eha

greeny's picture

@Eha ternyata seorg cerpenis :)

nulis lagi dunk, trus ajarin daku gmn nulis yang bener, buat cerpen yang menarik, plizzzz

kerinduan yang ga pernah tersalurkan nih, karena ga tau harus mulai dari mna dan bagaimna

jdi plizzzz, ajarinnnnn :)

mw yak

 

 

salam

Evylia Hardy's picture

cuma nyampein pesen aja

green, asli, permintaannya salah alamat.  coba turun satu kotak, yakk, di situ alamat yang bener.

eh, tapi jangan kecewa dulu.  aku mau bagiin pesannya koh xavier ni waktu ngumpul2 duluuu.  katanya, Tuhan tidak mencari orang yang mampu, Dia mencari orang yang mau.  gitu.  singkat, tapi terjemahannya bisa sangat panjang dan berwarna-warni.  tergantung pribadi yang meresponi.

Eha

__________________

eha

Purnawan Kristanto's picture

Hmmmm..... a very

Hmmmm..... a very challenging question. Inilah hasil hasil penerawanganku:

1. Penulis pasti berasal dari gereja presbiterian karena mengenal baik lika-liku struktur organisasi gereja presbiter.

2. Dia mengetahui pergumulan pelayanan yang dihadapi oleh majelis.  Dia pasti pernah menjadi penatua atau diaken.

3. Dari gaya bertuturnya, dia adalah seorang penulis cerpen.

4.Pak Purnomo menyebutkan bahwa aku mengenal baik sang penulis.

Dari empat terawangan itu, aku mengajukan dua kandidat yang memenuhi syarat:

1. Ang Tek Khun [pernah jadi majelis GKI Ngupasan, cerpenis]

2. Xavier Quentin Pranata [pernah jadi majelis GKI Gejayan, cerpenis]

Akan tetapi saya cenderung untuk mengajukan kandidat nomor dua. Bagaimana pak Purnomo? Benar 'kan?

 


“Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang berkomentar kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.”

Wawan

 

__________________

------------

Communicating good news in good ways

greeny's picture

@iya sepertinya bener

gayanya pak xavier tuh (nyimpen beberapa bukunya juga terutama yang kumpulan kumpulan..)

, ditambah lagi dengan penjelasan pa Pur, kalo pa Xavier juga dari GKI (yang terkenal dengan kerapiannya dalam segala prosedur).

kalo daku bener, dapat handuk juga ga yah?

:)

DAN-DAN's picture

Tunggu pak PUR...

Tunggu pak PUR, sebelum memilih mo yang nomer brapa, kita tunggu dulu kampanyenya. Kan belom kampanye tho?

 

DAN-DAN

 

saya suka bebek panggang...

__________________

Saya Suka Bebek Panggang...

Purnomo's picture

Astaga! Makin fokus.

Spesifikasi tentang diri penulis ini makin lengkap dengan tambahan dari Pak Wawan.

 

1* Sangat peka terhadap masalah-masalah organisasi gereja – EH, PK

2* Prebisterial – PK

3* Pernah menjadi penatua atau diaken – PK

4* Cerdas dalam menyampaikan hasil pengamatannya –  EH

5* Penulis cerpen, tepatnya artikel-artikel pendek, fiksi dan non-fiksi – PK

6* Namanya dikenal oleh Pak Wawan, juga oleh para penulis Kristen lainnya – PK

 

Nama kandidat yang telah masuk sampai hari ke-2:

1* Xavier Quentin Pranata – EH, PK, greeny.

2* Ang Tek Khun – PK

Sesuai dengan urutan penebak, maka bila penulis itu adalah Pak Xavier, pemenangnya adalah EH. Supaya adil, setiap orang hanya boleh menebak 2 nama yang boleh dirubah sejalan dengan makin lengkapnya spesifikasi the writer.

 

Cara bertutur penulis itu memang mirip dengan Ang Tek Khun yang cenderung nyinyir menyindir. Begitu Pak Wawan menyebut nama ATK saya teringat puisinya berjudul “Ucapan Bahagia” yang bait penutupnya sebagai berikut,

 

Berbahagialah orang yang tak pernah dianiaya karena kebenaran

sehingga mereka bisa menjadi teladan bahwa dalam mengikut Yesus

jalan hidup kita akan mulus lurus melimpah berkat

dijauhkan dari sakit-penyakit dan resesi keuangan

 

Apakah dengan makin banyak spesifikasinya makin mudah menebaknya?

Kita tunggu.

 

Salam.

 

hai hai's picture

Mas Wawan ... Purnomo = Ang Tek Khun?

Mas Wawan, Pernah baca komentar ini?

Apakah anda pernah membaca PUISI tulisan Xavier Quentin Pranata? Apabila dia memang pernah menulis puisi, apakah puisinya seindah puisi Purnomo? Saya sudah membaca semua puisi di Klewer termasuk puisi saya sendiri, tidak ada satu puisi pun yang MAMPU menandingi ketiga puisi Purnomo.

Pernahkah bertanya kenapa  Xavier Quentin Pranata tidak punya blog di Internet? Mungkinkah dia GAPTEK? Andai kata anda adalah Xavier Quentin Pranata dan nggak GAPTEK, anda rela hanya jualan di Klewer?

Ketika masuk pasar Klewer, apa yang akan anda jual duluan? Menjual PUISI yang mana anda tidak pernah dipuji untuk hal itu atau .....?  Ho ho ho ... Alkitab mencatat, dalam pesta nikah, anggur yang baik selalu disajikan duluan.

Sssst ... Mas Wawan, coba baca puisi ini dan ini dan ini lalu bandingkanlah dengan puisi anita clara yang saya komentari di atas.

wow ... Anda ingat, menurut Purnomo saya menikamnya dengan pisau Uria? dia juga tidak suka membaca puisi, inilah alasannya:

Ternyata Joli dan saya punya kesamaan, tidak suka baca puisi. Puisi itu memang susah dimengerti karena lebih banyak berbicara tentang diri dan perasaan penulisnya yang orang lain susah ngeh. Apa yang saya tulis bukan puisi, tetapi sanjak yang lebih mengutamakan permainan bunyi yang ditimbulkan dengan penyusunan kata-kata (Wah, ini perlu konfirmasi dari Indonesiasaram). Pesan dalam “sanjak” saya adalah apa yang Joli rasakan juga menjadi beban banyak orang tua ketika melepaskan anaknya pergi merantau. Kita hanya berharap disiplin yang pernah kita tanamkan dalam diri anak kita menjadi pagar dirinya di tempat jauh.

Ah, lebih baik anda baca komentar lengkapnya dengan klik di sini. Setelah membaca komentar belati saya tersebut, Purnomo mengunggah satu puisi lagi, Bunga Buat Beta, untuk membacanya, silahkan klik di sini. Anda tahu, walaupun ketika mengusulkan saya hanya duduk menonton, namun sebenarnya jauh di dalam hatinya, dia mengharapkan saya memberi komentar pada puisinya tersebut. Namun saya tidak melakukannya walaupun sudah membaca puisinya tersebut 20 kali lebih. Anda tahu alasannya? Karena saya menunggu puisi berikutnya. Namun dia tidak PERNAH menulis puisi lagi. Anda tahu kenapa dia tidak mengunggah puisi lagi? Mungkin karena dia menunggu saya mengomentari puisinya tersebut. Ha ha ha ha ... Anda tahu kenapa saya kekeh jumekeh tidak memberi komentar pada puisinya? Karena puisinya tersebut tidak perlu dikomentari, hanya perlu dinikmati dan saya menunggu puisi berikut darinya.

Saya tidak tahu kisah Purnomo masuk pasar klewer, bisa jadi itu karena suatu kali saya masuk ke sebuah situs untuk menikmati puisi yang sudah lama tidak saya nikmati atau karena Komunitas ini memanggilnya untuk mampir ketika dia mencari namanya di mesin pencari google? Biarlah Purnomo yang cerita.     

Mas Wawan dan handai taulan sekalian, bagaimana bila saya kutip salah satu puisi Pornomo lalu anda bandingkan dengan puisi Ang Tek Khun?

Uria, Uria
Purnomo 2008


derap kaki kuda gemuruh roda kereta
tinggalkan kota tersayang istri tercinta
berkepul debu gemuruh makin jauh
dihantar senyum puas sang baginda di atas menara
terpadam gelisah hati seorang perempuan istri perwira

uria, uria

dadanya begitu tegap berlapis lempeng baja
tertempa gemerincing pedang segala perang
terdera gelora rindu dekapan seorang perempuan
namun baginya tersimpan tekad lelaki perkasa :
- tanpa menang tiada kata pulang


tergenggam erat surat perintah raja mulia
tersemat kata mati seorang perwira
tertulis atas nafsu hitam gelegak dosa


menderap kaki-kaki kuda kereta perang dua arah bersilang
kilatan ujung-ujung baja telanjang
berlomba koyak daging merah segar mentah
ringkik mulut kuda penuh busa
pesta pora sadap darah dari dada-dada terluka


uria, uria

tubuhnya bagai para* bergetah
berhias kuntum-kuntum kembang merah
sehari tercecap sudah pada lidah
betapa pahitnya rasa darah


tertebah perut bumi roda-roda kereta musuh mendera
dalam satu putaran dia terpagar
semua tentaranya surut ke belakang
tanpa tanda genderang !

uria, uria

deras hujan anak panah membuat luka empat liang
ketika kilatan pedang merobek pinggang
dia terguling rebah di tanah


pada angin tersisa bisiknya lemah :
- betseba, betseba istri tercinta
untukmu kusimpan cinta suci di lubuk hati
- baginda, baginda kekasih Allah
untukmu kusimpan belati musuh di dada kiri

 
di atas istana angin terjun ke kamar raja
terpantul pada jendela balik ke rahim langit
tinggalkan desau pilu menyebar ke lima benua :
- betseba, betseba istri perwira perkasa
pasrah tenggelam di lubuk nafsu paling dalam


lumat tertindih birahi raja dua belas negeri

 di atas tabut sayap-sayap kerubim menggeletar
gemerisik memilu ketika dalam senyap
para malaikat pengemban murka Allah turun melayang
dengan pedang telanjang mata berlinang
lenyap dalam kepekatan malam kota raja


sayap-sayap kerubim makin erat menutup mata
bagai enggan melihat mentari esok karena
pendar sinarnya tak ‘kan lagi menguapkan harum bunga
namun hanya anyir darah para putera raja


SIKLUS PASKAH
Ang Tek Khun 2002


Ketika masa kanak-kanak
Paskah berarti Sekolah Minggu yang istimewa
ada perayaan yang ramai
ada lomba yang berhadiah
ada telur-telur yang gratis
ada kakak-kakak yang manis

Ketika masa remaja
Paskah berarti pementasan untuk tampil
ada latihan paduan suara
ada latihan vokal grup
ada latihan musik
ada latihan drama
ada latihan baca puisi
ada si dia yang manis dilihat

Ketika masa muda
Paskah berarti menjadi tulang punggung gereja
ada rapat-rapat panitia
ada persiapan ini-itu
ada kerja keras
ada si dia yang manis di sisi

Ketika masa dewasa
Paskah berarti libur akhir pekan yang lebih panjang
ada kemas-kemas
ada tiket perjalanan
ada liburan yang menggembirakan

Ketika masa tua tiba
Paskah berarti kembali ke gereja
karena usia yang tinggi
dan tubuh yang renta

Itulah siklus Paskah manusia
tak terputuskan, tak terpatahkan
kecuali Kristus hidup
di dalam hidupmu

Aku Jatuh Cinta
Ang Tek Khun 2003


aku jatuh cinta
dengan nyala bara di dada
bukan karena tampan wajahmu
tapi karena dari kening hingga pipi
ada deras kucuran darah
tanda cintamu padaku

aku jatuh cinta
dengan gairah membuncah
bukan karena tegap dan gagah tubuhmu
tapi karena di situ
kutemukan cabikan yang melimpah
tanda sayangmu padaku

aku jatuh cinta
dengan bahagia tak terkira
bukan karena lembut tanganmu
tapi karena di telapakmu
kudapati lubang nganga
tanda kasihmu padaku

aku jatuh cinta
dengan dada berdegup riuh
bukan karena tegar langkahmu
tapi karena kau tertatih
memikul harga cinta
yang harus kau bayar untuk menebusku

Lelaki yang Menatah Hidupku
Oleh Ang Tek Khun

aku sebongkah batu
tak punya harga
tak pernah dihirau

tergeletak dan berlumut
dilalui waktu
dilewati momen

tak punya impian
harapan tak mampir
tekad telah luluh

lalu seorang lelaki
datang dengan tujuan
dan menyapaku pribadi

ia menyingsingkan lengan
menatah setiap bagian
sudut-sudut gelap hidupku

setiap rahasia
diurainya dengan lembut
penuh kasih sayang

setiap tonjolan dan bopeng
dihampirinya dengan jemari
dan hati yang membagi

setiap ketidakmengertian
yang membuatku guncang
dibukanya dengan sabar

setiap keperihan yang melukai
dibalutnya dengan cinta
yang tak terselami

tak henti-henti
tak lelah-lelah
dengan peluh dan darah

dan aku pun
tak lagi sama...


Belajar Jadi Anak
Ang Tek Khun 2004


belajar, belajarlah jadi anak
hidup hanya bergantung
pada susu yang murni
dan menyehatkan
tiada lain yang menggoda

belajar, belajarlah jadi anak
hanya memanggil nama
"mama" dan "papa"
pribadi bergantung penuh
tak terkalahkan apa pun

belajar, belajarlah jadi anak
tak khawatir, tak cemas
melangkah dengan tangan terulur
dalam tuntunan yang tak letih
berjalan hanya ke depan

belajar, belajarlah jadi anak
menatap esok dengan mata berbinar
hanya ada pengharapan
tiada henti dan tak lelah
dalam dekapan bunda

belajar, belajarlah jadi anak
menyerap dengan polos
bertumbuh dengan segera
dan hati merindu itu semua
dengan tak sabar

Lelaki yang Menatah Hidupku
Ang Tek Khun 2004


aku sebongkah batu
tak punya harga
tak pernah dihirau

tergeletak dan berlumut
dilalui waktu
dilewati momen

tak punya impian
harapan tak mampir
tekad telah luluh

lalu seorang lelaki
datang dengan tujuan
dan menyapaku pribadi

ia menyingsingkan lengan
menatah setiap bagian
sudut-sudut gelap hidupku

setiap rahasia
diurainya dengan lembut
penuh kasih sayang

setiap tonjolan dan bopeng
dihampirinya dengan jemari
dan hati yang membagi

setiap ketidakmengertian
yang membuatku guncang
dibukanya dengan sabar

setiap keperihan yang melukai
dibalutnya dengan cinta
yang tak terselami

tak henti-henti
tak lelah-lelah
dengan peluh dan darah

dan aku pun
tak lagi sama...

Sahabat adalah...
Ang Tek Khun 2006


1
Seseorang yang lari seribu mil
dengan tergesa dan kembali
dengan membawa segelas air
saat melihat bibirmu kering.

2
Seseorang yang terjaga semalaman
dan menyelimuti tubuhmu
dengan tatapan matanya
saat melihat tidurmu gelisah

3
Seseorang yang menabung
sen demi sen untuk membeli sesuatu
yang kaupandang tak henti

4
Seribu prajurit gagah
menembus benteng musuh tak gentar
dengan taruhan nyawa
untuk memetik setangkai mawar bagimu.

Sahabat Adalah... (2)
Ang Tek Khun 2006


5
Seseorang yang meneleponmu
dari benua lain
untuk menanyakan kabarmu
karena di tengah malam buta itu
ia tiba-tiba memikirkanmu.

6
Seseorang yang selalu menyediakan
danau teduh melalui binar matanya
kala menatapmu
meski ia baru saja melewati hari
yang panjang dan melelahkan.

7
Seseorang yang duduk menantikan
datangnya purnama
saat kamu membisikkan keinginan
untuk memetik rembulan.

8
Seseorang yang selalu menyirami hatimu
dengan air sejuk pegunungan
melalui senyum lembut yang tak hilang
meski ia berada dalam badai.

Mas Wawan yang terhormat, tanpa mengurangi rasa hormat, bagi saya Purnomo dan Ang Tek Khun yang karyanya sudah saya kenal sejak SMA sama MENYEBALKANNYA. Pinjam kalimat Purnomo:

lebih banyak berbicara tentang diri dan perasaan penulisnya yang orang lain susah ngeh.  

Namun setiap kali mereka menyajikan tulisan, kita selalu membacanya.

Suatu hari saya pernah berkata kepada mas Daniel alias Masdanez kira-kira begini, "Mas, saya mencium BAU beberapa NAGA yang bersembunyi di awan-awan SABDASpace, cepat atau lambat mereka akan turun ke bumi."   

Purnomo, Ang Tek Khun atau Xavier Quentin Pranata?

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

Purnawan Kristanto's picture

Purnomo bukan mr X atau mr ATK

Apakah anda pernah membaca PUISI tulisan Xavier Quentin Pranata? Apabila dia memang pernah menulis puisi, apakah puisinya seindah puisi Purnomo? Saya sudah membaca semua puisi di Klewer termasuk puisi saya sendiri, tidak ada satu puisi pun yang MAMPU menandingi ketiga puisi Purnomo.

Pernahkah bertanya kenapa  Xavier Quentin Pranata tidak punya blog di Internet? Mungkinkah dia GAPTEK? Andai kata anda adalah Xavier Quentin Pranata dan nggak GAPTEK, anda rela hanya jualan di Klewer?

Saya yakin 101% bahwa pak Purnomo itu bukan XQP. Saat ini mr X hampir tidak punya energi lebih untuk jualan di pasar Klewer. Seluruh tenaganya hampir terserap habis untuk bidang pelayannnya yang baru.

Mr X gaptek? Yap betul. Saat masih bekerja satu atap, selain staf redaksi, saya adalah asisten IT mr X. Untuk urusan komputer saja dia masih sering gagap. Kebiasaan menggunakan mesin ketik masih sering dibawanya ke hadapan komputer. Ketika mengetik, karyawan di ruangan lain pasti mendengar dia sedang mengetik atau lebih tepatnya disebut "menghajar" keyboard. Dia mengetik keyboard komputer dengan gaya sedang mengetik manual.

Soal HP, dia juga termasuk terlambat menggunakannya. Ketika semua karyawannya sudah ber-HP, dia masih setia dengan telepon kabel.  Salah satu HP-nya bermerek "Casio"  alias di-Casio-rang. Untuk menggunakannya, dia harus minta petunjuk bawahannya.

Untuk urusan blog pun dia belum mudheng. Blog miliknya yang sekarang itu saya yang membuatkan. Saya yakin Purnomo bukan mr X.

Apakah Ang Tek Khun? Rasanya bukan. Pak Purnomo pernah cerita kalau pernah menjadi wiraniaga di berbagai kota.  Apakah ATK ada di sini? Kalau dulu, mungkin iya. Kalau sekarang ini, saya ragu kalau beliau masih punya waktu jualan di sini. ATK sudah punya gerai di mall yang lebih bersih dan wangi. Lagpula, dia sekarang sudah agak alergi dengan label "penulis kristen". Saya yakin Purnomo bukan ATK

Meski begitu, pak Purnomo adalah sosok yang misterius sekalgus bikin penasaran. Dari cara menulis, dia bukan anak kemarin sore. Dia adalah pendekar yang sudah menguasai hampir seluruh jurus. Dari pengalamannya berkelana, membuat saya terkagum-kagum. Pengetahuannya dalam kehidupan seperti sumber mata air yang "membual-bual". Saya bahkan tidak menyadari kalau beliau pernah ke gereja saya paska gempa Mei 2006, dan mungkin pernah bertemu langsung.

Tapi pertanyaan besarnya: Mengapa dia begitu pelit mengungkap jati dirinya? Apakah dia seorang yang minder dan pemalu? Apakah dia mengalami sindrom split personality? Apakah sengaja bersembunyi karena takut jika harus mempertanggungjawabkan tulisan-tulisannya yang kritis? Mengapas sekarang dia mengambil taktik "lempar batu sembunyi tangan"?

Hanya pak Purnomo yang bisa menjawab pertanyaan ini.

 

 

 


“Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang berkomentar kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.”

Wawan

 

__________________

------------

Communicating good news in good ways

Purnomo's picture

Pak Wawan, mengapa tamu datang tak disambut?

Mengapa Purnomo begitu pelit mengungkap jati dirinya?

Purnomo memang punya ilmu ninja, tak terlihat walau sudah di depan mata.

Dulu, setiap 3 minggu saya mengirim sebuah amplop coklat berisi 4 exemplar buletin (ga usah disebut namanya ya) yang dibuat dengan mesin fotokopi ke gereja Pak Wawan. Di amplop itu jelas nama dan alamat saya (tolong jangan dihalo-halokan di sini ya). Artikel saya ada dalam buletin itu. Secara periodik saya minta diberitahu apakah kiriman itu telah diterima, melalui SMS. Dari gereja Pak Wawan yang mengontak saya dari Komisi Pemuda mempergunakan nama Winner dengan nomor hape 081 xxx xx 4842. Buletin terakhir yang saya kirimkan adalah edisi ke-71 pada tanggal 23-Nop-2007. Terakhir, karena saya mengalihkan dana (pribadi) untuk menerbitkan dan mengirimkan buletin itu ke 51 kota dan desa di Jawa dan Sumatera untuk keperluan lain yang lebih penting.

 Coba iseng-iseng Pak Wawan bertanya kepada aktivis muda atau GSM Gereja Jago apakah mereka pernah memiliki naskah Operet Natal Anak (yang versinya berbeda dengan yang ada di Sabdaspace) yang saya kirimkan pada tanggal 22-Juli-2005. Jika edisi khusus ini dan edisi khusus lainnya terlacak, maka Pak Wawan akan mengetahui nama penulis ASTAGA karena artikel itu pernah saya cantumkan.

 

Apakah Purnomo seorang yang minder dan pemalu?

Betul, Purnomo lebih sering malu-maluin.

 Sebuah gereja melayangkan surat resmi kepada saya untuk memberitahu agar tidak lagi mengirimkan buletin itu ke gerejanya karena tidak ada yang membacanya. Saya mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Mereka tersinggung dengan artikel “Memberi itu tidak gampang” karena menggugat komitmen pendeta dan penatua gereja untuk tidak menyuruh jemaatnya memberi persembahan persepuluhan sebelum mereka sendiri melakukannya. Dan saya tahu, itu tidak terjadi di gereja ini.

 Sebulan kemudian seorang jemaatnya bersurat kepada saya meminta saya mengirimkan buletin itu ke alamat rumahnya untuk digandakan dan dibagi-bagikan kepada teman-temannya.

 Artikel “Menyiasati Biaya Pendidikan” telah memalukan para pengurus sebuah yayasan pendidikan Kristen sehingga saya menerima beberapa telepon untuk menanyakan siapa nara sumber saya. Saya hahahehe saja. Yang terjadi kemudian, peraturan-peraturan yang berlaku dalam yayasan ini direvisi.

 Saya minder ketika dipanggil menghadap pemilik sebuah majalah gratisan dengan oplah tinggi dan meminta saya menyatukan buletin saya. Saya menolak karena “pasar”nya berbeda. Lalu secara halus ia menyatakan maksudnya untuk mewariskan majalahnya kepada saya. Ini membuat saya minder karena yang diwariskan hanya majalahnya tidak beserta dananya yang paling tidak 13 juta rupiah setiap edisi.

 

Apakah Purnomo mengalami sindrom split personality?

Betul sekali, sehingga setiap ada surat protes dari jemaat kepada penatua saya selalu menjadi tersangka pertama walaupun jelas-jelas nama pengirim yang tercantum bukan nama saya. Seumpama saja gereja saya harus menggantung anggota jemaatnya yang paling jelek, pasti saya yang pertama jadi korban.

 Sebaliknya, bila penatua sedang kena penyakit bingung, saya juga jadi korban. Komen ini saya tulis setelah selesai memeriksa naskah warta gereja yang akan naik cetak Kamis siang dan mengirim imel untuk usulan perbaikan. Padahal menurut tata tertib organisasi, itu tugas penatua. Minggu lalu saya kelabakan (untuk ngeles) ketika diberitahu gereja akan membuat situs dan saya diminta menjaganya. Dua “musibah” ini terjadi karena beberapa penatua saya sudah bersliweran di Sabdaspace.

 

Apakah Purnomo sengaja bersembunyi karena takut jika harus mempertanggungjawabkan tulisan-tulisannya yang kritis?

Betul sekali. Bentuk pertanggungjawaban yang dituntut salah satunya adalah memberi ceramah. Sudah tahu yang saya sebut dengan “Gereja Koplak” di mana saya memberi ceramah tentang “Anak, investasi masa depan?”? Jika belum tahu di mana alamat gereja itu, Pak Wawan bisa bertanya kepada TU Gereja Jago. Dekat-dekat saja kok.

 Saya tidak suka diminta memberi ceramah karena bila saya tolak bisa menimbulkan ill-feeling (salah satu korbannya adalah Joli) tetapi bila diterima agenda saya pasti berantakan.

 Tuntutan lain adalah sering diajak ke sana ke mari oleh orang atau gereja atau yayasan yang punya “gawe” untuk membantu membuat perencanaan atau evaluasi. Jika tempatnya dekat ya masih oke-oke, tetapi kalau tempatnya di luar Pulau Jawa, aduh emak. Bulan Mei ini rencananya saya disuruh ikut koor gereja saya yang mau manggung di Jambi. Untuk apa? Mereka tahu saya pernah tinggal di Padang. Karena itu orang-orang koor minta saya jadi pemandu wisata karena rencananya sekalian ke Tanah Minang. Untung acaranya dibatalkan. Jika tidak, pasti Pak Wawan saya kirimi angsa yang saya beli dari Pasar Angso Duo untuk diternakkan di danau mini depan rumah makan yang di Klaten itu.

 

Mengapa sekarang Purnomo mengambil taktik "lempar batu sembunyi tangan"?

Karena lemparannya meleset.

 Jadi, tolong jangan melempari saya dengan batu bila hint-hint yang telah saya berikan membuat saya bukan lagi ninja bagi Pak Wawan. Setuju?

 

Salam.

 

Evylia Hardy's picture

@hai hai

Pernahkah bertanya kenapa  Xavier Quentin Pranata tidak punya blog di Internet?

XQP memiliki blog di internet, di sini.

(link-nya bisa diakses ndak? duh, gaptek tingkat berat aku)

Eha

__________________

eha

DAN-DAN's picture

Setau ku XAVIER itu orang

Setau ku XAVIER itu orang botak lumpuh yang memimpin X-MEN...

 

DAN-DAN

 

saya suka bebek panggang...

__________________

Saya Suka Bebek Panggang...

hai hai's picture

Thanks Eva

terima kasih eva atas pemberitahuannya. Oh ya, anda pernah membca puisi Xavier Quentin Pranata? Menurut saya gaya menulisnya terlalu lembuat dibanding tulisan Purnomo. Coba baca tulisannya yang berjudul What Money Can't Buy.

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

Evylia Hardy's picture

Addoww! Lagi??

Addoww! Apa salahku? Thanks to DAN-DAN kemarin aku berubah jadi EVILya. Sekarang aku menjelma jadi Eva ... ah, besok aku mau ganti nama jadi Eva Celia saja, biar ketularan manisnya.

Ko hai, What Money Can't Buy yang kubaca adalah versi update-nya, bukan artikel asli dari Crescendo.  Ya memang itulah Xavier.  Untuk tulisan 'serius' (bukan humor) ia memang punya ciri santun dan cenderung ogah memposisikan diri sebagai guru.

Mengenai gaya Pak Purnomo ... aku belum sempat membaca seluruh tulisannya di sini (rencananya mau nyicil). Yang bisa kukatakan, dari beberapa blognya yang sudah kubaca, ia memposisikan diri sebagai seorang bapak yang menyediakan emergency lamp bagi putra-putrinya agar tidak kelabakan bila sewaktu-waktu terjadi mati lampu.

O iya, aku ndak pernah baca puisinya XQP. Aku ndak tahu apakah ia punya karya puisi yang dipublikasikan.

Eha

__________________

eha

ebed_adonai's picture

@eha: Waduhhh....

Weleh, weleh., weleh.... 

Saya kira mbak eha kakinya ketujeb paku atau kenapa gitu, pake adoww adoww segala? Mana ini sudah saya bawain perban sama betadinenya lagi.....

Shalom!

(...shema'an qoli, adonai...)

__________________

(...shema'an qoli, adonai...)

Evylia Hardy's picture

keselek, ebed

addoww-nya itu karena keselek duri bandeng ... kan bacanya sambil makan bandeng kecap.

Eha

__________________

eha

Purnomo's picture

Eha (& I’ik) , “Let the lower lights be burning!”

Komen Eha membuat saya teringat akan syair lagu dalam NKB 206 Mercu Suar Kasih Bapa,

 Mercu suar kasih Bapa memancarkan sinar-Nya

 Namun suluh yang di pantai, kitalah penjaganya

 

Malam dosa sudah turun, ombak dahsyat menyerang

Banyaklah pelaut mengharap sinar suluh yang terang

 

Peliharalah suluhmu, agar orang yang cemas

Yang mencari pelabuhan, dari mara terlepas

 Ref. Pelihara suluh pantai, walau hanya klip kelap

       Agar tiada orang hilang di lautan yang gelap.

 Frase “suluh yang di pantai” membingungkan saya. Untuk apa orang menyalakan suluh atau obor di pantai? Memangnya mencari cacing laut? Kalau memang demikian, apa setiap malam? Frase ini diterjemahkan dari kata “lower light” yang juga tidak saya temukan artinya di kamus-kamus bahasa Inggris. Sampai akhirnya saya diberitahu seorang teman di jaman dulu para penjaga lampu suar membawa keluarganya. Mereka membangun rumah-rumah untuk keluarganya di pantai dekat mercu suar. Ternyata kelap-kelip lampu rumah-rumah inilah yang menjadi pedoman para pelaut apabila lampu mercu suar padam.

 Komen Eha bahwa (Purnomo) . . . .menyediakan emergency lamp bagi putra-putrinya agar tidak kelabakan bila sewaktu-waktu terjadi mati lampu nancep banget di hati saya. Anda betul. Saya menulis dengan terbirit-birit karena gereja saya mati lampu. Saya mengumpulkan tulisan-tulisan dalam bentuk buletin (seperti yang saya kisahkan dalam respon komennya Pak Wawan di bawah judul “Mengapa tamu datang tak disambut?”) dan menyebarkan kepada anggota jemaat agar mereka mau menjadi lower lights. Tidak usah meneriakkan kritik tak usah memaki kegelapan apalagi sang mercu suar yang padam. But,


Let the lower lights be burning!

Send a gleam across the wave!

Some poor fainting, struggling seaman.

You may rescue, you may save.

 
Kisah ini lebih baik saya tulis dalam bentuk blog untuk menambahi jumlah blog saya yang akan membuat I’ik terangsang menambah jumlah blognya juga. Daripada dia (saat ini) sibuk adu lari di kuburan Bergota lebih baik saya ajak dia adu jalan cepat di rumah sakit Telogorejo.

 Salam.

 

iik j's picture

@Purnomo, Berlomba? Yang Bener? Apa Hubungannya? Kok Tahu?

Kisah ini lebih baik saya tulis dalam bentuk blog untuk menambahi jumlah blog saya yang akan membuat I’ik terangsang menambah jumlah blognya juga. Daripada dia (saat ini) sibuk adu lari di kuburan Bergota lebih baik saya ajak dia adu jalan cepat di rumah sakit Telogorejo.

Enak-enak ngobrol... Tiba-tiba saya heran.. lho apa hubungannya dengan saya? Apalagi ga ada satupun komentar saya di blog ini

Weeeeew... saya lihat satu-satu ternyata...Daftar Bloger itu to'..

Maap pak.... maap beneran.... Ga ada niat adu lomba sama Pak Purnomo kok..

Secaraaaaaa... gitu lohhh...  (ngambil istilah anak sekarang)

Kualitas saya jaaaaaaaaaaaaaaaaauuuuuuuhhhhhhh.. banget di bawah Bapak.. Asli sli sli.. ga ada niatan berlomba... apalagi di Bergota . Whiiii.. seremmm.

Selama ini ... nulis.. ya masih sekedar nulis aja kok pak.. masih belepotan kiri kanan.. miring sana sini ga jelas.. saya kadang-kadang masih malu berat.. pengen menghapus aja semuanya.. tapi kok ya sayang.. duh bingun..

Btw.. kok Bapak tahu 'lagi' kalo saya suka ke Telogorejo??? Aduhhh.. lama-lama saya 'serem' neh sama Bapak.. kok tau' aja... sih...

passion for Christ, compassion for the lost

sandman's picture

Pak Purnomo tahu aja?

Satu suster ngesotnya.. satu sing mbaureksonya... hhahahah

 

Karena kita sungguh berharga bagi-Nya dan Dia mengasihi kita.

__________________

Evylia Hardy's picture

ni pasir dari mana ya

tadi kiosnya bersih, tau-tau kok jadi ngeres ya?  lha ini apaa , lha wong ada pasirnya!

Eha

__________________

eha

Evylia Hardy's picture

@Purnomo: let's keep them burning

Pak Pur menulis komen saja begini bagus, apalagi menulis blog (menghela napas, kapaan saya bisa begini).

Kalau Pak Pur (tanpa sengaja) ketancep komen saya, lirik yang Anda kutip ini ...

Let the lower lights be burning!

Send a gleam across the wave!

Some poor fainting, struggling seaman.

            You may rescue, you may save.

bagai tangan yang mengguncang bahu saya agar jangan sampai jatuh terlelap.

 

Eha

__________________

eha

hai hai's picture

Eva, kita tunggu Purnomo Saja

Saudara eva, kita tunggu saja apa kata yang bersangkutan. Saya sendiri jarang membaca karya Xavier, namun tahu pasti bahwa NAMA Ang Tek Khun bukan orang baru bagi YLSA, namun tidak tahu pasti apakah  Ang Tek Khun yang itu?

Eva, coba anda baca puisi Ang Tek Khun yang dikutip oleh Purnomo tersebut di atas. KESAN apa yang ingin dia tunjukkan tentang Ang Tek Khun dari puisi itu? Ha ha ha ha ... dia ingin orang yang membacanya mengganggap Ang Tek Khun Kristen alam roh yang menganut Theologia "Tiada Hari Tanpa Cuan." Baiklah saya akan kutip biar anda bisa ngakak setelah membacanya.

Berbahagialah orang yang tak pernah dianiaya karena kebenaran
sehingga mereka bisa menjadi teladan bahwa dalam mengikut Yesus
jalan hidup kita akan mulus lurus melimpah berkat
dijauhkan dari sakit-penyakit dan resesi keuangan

Puisi Ang Tek Khun memang menyebalkan. Ibarat buah, setelah memblender, dia masih merasa perlu untuk meremasnya. 

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

erick's picture

Dasar pasar bau!!!!

Dasar pasar bau!!!!,... membaui diri sendiri saja tidak tahu!

Tapi aku juga ga tau bau purnomo seperti apa, apalagi Mr. ATK, atau Mr. X

@ Eha, kalo jawabannya betul, bagi-bagi semangkok bakso untuk erick gratis yah....

 

Kangen bakso erik yg di matraman

__________________

Lord, when I have a hammer like YOU, every problem becomes a nail. =)

Evylia Hardy's picture

barter boleh nggak ya?

Hadiahnya seperti yang diberikan kepada tamu pertama tenda birunya. Pak Wawan menyediakan handuk. Tempat pengambilan hadiah di alun-alun kota Klaten.

ha ha ... mana ada bakso yang boleh dibarter ama anduk, rick?   (blom tentu juga menang ya)

Eha

__________________

eha

Purnomo's picture

Astaganaga! Nagabonar ada di sini?

Karena Yoko menolongnya ketika terluka parah dengan memberinya bakpao setiap hari, maka Auwyang Hong mengajarnya satu jurus maut, “Kodok Menerkam Bakpao”. Yoko merangkak di tanah seperti kodok siap melompat, mengumpulkan tenaga di perutnya sampai nafas mengorok dan menyalurkan tenaganya ke tangannya, lalu melompat ke arah lawan dengan kedua telapak tangan terbuka ke dada lawan. Tersentuh telapak tangan Yoko, lawan langsung muntah darah dan sekarat.


Menurut hikayat tertulis, Auwyang Hong tewas dalam pibu para pendekar memperebutkan juara nomor satu. Tidak ada yang tahu pendekar aliran hitam ini seorang highlander yang tidak bisa mati. Ia tetap hidup sampai pecah perang saudara di Tiongkok. Ketika sebagian penduduknya mengungsi ke Taiwan, pendekar ini ikutan. Gara-gara ia tidak bisa baca-tulis, ia salah naik kapal. Ia mendarat di Batavia dan dengan sampan menyusuri sungai Ciliwung sampai ke tengah kota yang sekarang disebut Harmoni di mana di dekatnya ada hotel tempat nonik dan sinyo Belanda berdansa di aulanya. Di bundaran Harmoni ia mencari nafkah jadi tukang urut salah urat dan jual koyok obat sampai Empek saya lahir. Empek langganan setianya karena sering berantem.


Suatu saat Auwyang Hong tidak buka usaha sampai satu minggu. Empek mencarinya karena badannya bengkak-bengkak gara-gara ikut pibu di Petak Sembilan. Ia pergi ke tempat kos pendekar itu di daerah Petojo yang dulu disebut Jaga Monyet. Ternyata pendekar ini kena flu monyet. Biar pun ia jago racun, ia tidak bisa menangkal virus Indonesia yang unik ini yang membuat penderitanya bila memegang sebuah barang tidak sanggup membuka jari-jarinya untuk melepaskan barang itu. Celakanya yang sedang dipegang pendekar ini ketika serangan penyakitnya memuncak adalah bibir guci kuno Tiongkok yang gede tempat ia membuat taoco.


Biar Empek suka berantem, atinya baek. Waktu berangkat sekolah ia mampir membawakan nasi uduk jatah makan paginya untuk Auwyang. Pulang sekolah Empek langsung ke Lapangan Banteng ngobyek jadi calo bis. Sore hari Empek mampir lagi membawakan combro dan cingcau. Itu dilakukannya sampai Auwyang sembuh.


Untuk membalas budinya, Auwyang mau mengajarnya 1 jurus ampuh. Tetapi Empek menolak. Ia mau 2 jurus atau tidak sama sekali karena Yoko hanya memberinya bakpao sedangkan ia selain main dish juga memberinya combro dan cingcau. Auwyang walau jengkel terpaksa mengalah melihat Empeh kekeh. Dan untuk mengingatkan Empek untuk berhati-hati terhadap bahaya flu monyet, 2 jurus itu memakai nama monyet, bukan kodok seperti biasanya.


Jurus pertama: Melempar Monyet ke Bulan

Jurus ini memanfaatkan tenaga lawan yang diarahkan kepadanya untuk melemparkan lawan ke langit.

Jurus inilah yang dipergunakannya untuk melemparkan Purnomo ke atas agar sejajar dengan Ang Tek Khun. Bukti-bukti yang Empek paparkan begitu lengkap dan (tampak) benar. Terlebih lagi ia sudah menyihir para penonton dengan memberi judul komennya “Purnomo = Ang Tek Khun?”


Monyet tidak pernah bisa berada lebih tinggi daripada pucuk pohon. Apa ia tidak lupa diri ketika meluncur ke atas dan melihat bulan makin dekat? Ia tidak lagi melihat ke bawah ke arah bumi yang makin lama makin jauh yang sebentar lagi akan menghancurkannya selama hukum gravitasi masih berlaku.

Saya ingin membiarkan komen Empek terpajang tanpa respon balik. Biar lebih banyak orang yang tahu Purnomo itu paling tidak sejajar dengan ATK. Tetapi saya ingat makin panjang waktu meluncur ke atas makin berat hantaman yang akan saya terima yang telah dipersiapkan dalam jurus maut kedua.


Jurus kedua: Menunggu Monyet Menghunjam ke Bumi

“Tunggu saja di tempat,” kata Auwyang Hong, “monyet itu tidak akan ke mana-mana. Jika kamu sudah puas, kamu suiti monyet itu agar ia siuman dan ingat telah berada di tempat tinggi tanpa pijakan. Ia akan meluncur turun dengan deras dan kamu palangkan kakimu. Kamu bisa membiarkan ia penyet menghunjam bumi atau kamu tendang ke Ancol.”


Pasti, kalau saya berlagak pilon agar dikira Ang Tek Khun pasti Empek berteriak, “Hei Purnomo, mengapa kamu diam saja aku masukkan ke daftar nominasi padahal kamu sudah memberi pernyataan ‘Dengan ini diumumkan bahwa artikel di atas bukan karya Purnomo’?”


Maka meluncurlah si monyet ke bawah dengan deras menunggu nasibnya menghadapi jurus maut kedua.


Saya adalah Naga

Banyak naga yang bersembunyi di awan-awan Sabdaspace? Saya tidak tahu. Saya memang bersembunyi walaupun bukan Naga Bonar atau Naga Sasra (Sabuk Inten). Kalaulah Naga, saya adalah Naga Sari yang bisa memberikan sedikit tenaga agar para musafir bisa melanjutkan perjalanan menemukan The Main Dish.


However, terima kasih atas kunjungan dan pujian Empek (juga blogger lainnya) yang menyembunyikan promosi gratis. Mudah-mudahan ATK berkerut kening membaca guyonan ini dan bersama XQP mampir ke sini ikut meramaikan situs ini.


Salam.

 

hai hai's picture

Au Yang Hong ... darah mencari darah

Mas Purnomo, puisi anda indah dan mengingatkan saya pada Ang Tek Khun. Itu sebabnya saya menghunjamkan belati, pada uria uria. Anda tahu ketika para penyembah tahu ternyata yang disembah sama seperti dirinya?

Yang lainnya hanya analisa menggunakan sel sel kelabu. Anda ingin di awan? Maka di awanlah.

Dari ayah, di tubuh saya mengalir darah Ang, anggap saja itu darah Ang Cit Kong. Dari mama, di tubuh saya mengalir darah Auyang, anggap saja itu darah Auyang Hong. Saya sendiri berguru kepada Bu Pun Su itu sebanya dipoyoki bo beng cu.

Anggap saja, darah mencari darah. 

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

Purnomo's picture

Astaga! Ternyata ditulis oleh

Pdt. Eka Darmaputera di majalah pemuda GKI Tumapel Malang bernama Berita Immanuel yang saat itu diasuh oleh Pdt. Daud Adiprasetya.

 Saya tidak ingat di edisi nomor berapa dan tahun berapa karena tidak menyimpan majalah itu. Cara penyampaian kritik dalam artikel itu menawan saya sehingga saya menyalinnya dengan mesin tik dan menyimpannya. Saya menerima majalah itu karena pengasuh Remaja di gereja saya di Semarang memesannya sekian puluh exemplar untuk didistribusikan kepada asuhannya. Yang saya ingat saat itu Pak Daud dan Ir. Herlianto ikut menulis untuk majalah ini. Mungkin karena Herlianto berjemaat di gereja ini ketika sedang belajar di SAAT Malang.

 Dari hasil googling, saya mengetahui Pdt. Daud Adiprasetya pindah ke GKI Ngupasan Yogyakarta pada tahun 1979 sedangkan Ir.Herlianto masuk SAAT Malang pada tahun 1976. Dengan demikian artikel itu ditulis di antara tahun 1976 – 1979.

 

Pak Wawan, saya serahkan artikel ini kepada Pak Wawan. Mungkin bisa diserahkan kepada Ang Tek Khun untuk dimuat di blog yang pernah ATKh buat untuk pak Eka di sini , atau disatukan dalam blognya Pak Eka yang ada di www.glorianet.org .

 ASTAGA saya posting selain sebagai kado untuk Pak Wawan, juga untuk menggugah mereka yang menyimpan naskah-naskah yang “nasib”nya sama dengan artikel ini untuk mengunggahnya agar bisa dinikmati oleh orang lain. Saya pernah terpana ketika serial artikel Sekolah Minggu saya publikasikan, seorang pembaca mengirimi saya fotokopi artikel berjudul “Sekolah Minggu Metropolitan” yang pernah saya tulis 25 tahun yang silam untuk sebuah majalah GSM yang diterbitkan oleh gereja di Sangkrah Solo dengan distribusi yang luas. Saya sendiri tidak punya arsipnya.

 Terima kasih telah meramaikan lapak saya.

Salam.