Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Balada Sebuah IP

clara_anita's picture

"Waduh Mbak aku rasanya sudah setengah hidup nih mikirin kuliah," seru seorang adik angkatan yang baru duduk di semester satu mencurahkan isi hatinya.

"Lho kok bisa setengah hidup tho ,Bu. Kenapa?" Tanyaku kemudian pada adik angkatanku yang usianya jauh di atasku itu.

"Aku baru tahu kalau studi lagi itu seberat ini rasanya. Ngerti gini aku nggak lanjut. Nilaiku semester ini pasti remuk," ibu itu berkesah.
"Yang penting kan sudah memberikan yang terbaik bu. Berusaha sebisanya. Nilai itu kan bukan segalanya tho bu," jawabku sambil memaparkan pandanganku.
"Lha iya mbak. Tapi orang luar kan tahunya ya nilai itu. Nggak peduli kalau nilai itu didapat dari hasil njilat dosen atau ngepek (mencontek). Belum lagi ada juga dosen-dosen yang subjektif," demikian lanjut ibu.

Nilai oh nilai. Nilai yang kemudian terangkai menjadi sebuah Indeks Prestasi -- sebuah angka mati di selembar kertas yang amat berarti bagi sebagain besar mahasiswa. Sebuah nilai mati yang terkadang menentukan nilai diri si pemilik. Ada yang mendapat cap cukup dan memuaskan. Ada pula yang mendapat cap cemerlang semacam cum laude, magna cum laude ataupun suma cum laude ketika transkrip nilainya bertaburan nilai A. Cap IP itu acap kali berperan menentukan kehidupan karier si pemegang. Lihat saja lowongan kerja di media cetak yang umumnya mensyaratkan pelamar memiliki IP tertentu.

Lalu apakah studi hanya sekedar untuk mengejar sebuah nilai? Idealnya nilai itu diharapkan dapat mengukur kemampuan si pemilik IP. Jadi jawaban dari pertanyaan saya tersebut seharusnya adalah tidak karena nilai hanya mengukur keahlian yang sudah diperoleh selama masa belajar. Lagipula, siapa yang dapat menjamin IP itu benar-benar memunculkan nilai sesungguhnya? Peluang deviasi atau simpangan selalu terbuka lebar. Meminjam teori asumsi klasik, skor tampak tidak selalu mencerminkan skor murni. Dengan kata lain nilai yang tampak di transkrip tidak otomatis mencerminkan kemampuan sesungguhnya.

Sayangnya dari amatan saya, kebanyakan pelajar lebih mengejar nilai ketimbang memperoleh keahliannya. "Yang penting lulus," demikian adik-adik mahasiswa sering berseloroh. Cara yang ditempuh untuk mendapatkan nilai baik pun beragam; dari cara yang pantas, kurang pantas, hingga tidak pantas. Pelajar yang memiliki semangat belajar bertekun mempelajari bahan jauh-jauh hari. Beberapa lain menggunakan SKS alias sistem kebut semalam dengan cara 'wayangan' mempelajari bahan satu malam menjelang tes. Beberapa menggunakan 'alat bantu' berupa contekan yang semakin canggih saja dari waktu ke waktu; tentu dengan resiko ketahuan dan mendapatkan sanksi. Golongan lain menggunakan 'pendekatan interpersonal' dengan guru ataupun dosennya sebagai senjata. Jilat sana, jilat sini sampai lidahnya lecet-lecet demi sebuah nilai. Usaha ini satu dua kali menuai sukses dan cibiran dari pelajar lain.

Guru atau dosen sebagai alat ukur pun terkadang bisa tumpul dalam mengukur kemampuan siswanya. Faktor suka tidak suka terkadang mewarnai penilaian, terutama ketika menilai hal-hal yang agak sulitdiukur seperti performa pasa saat presentasi lisan, gaya tulisan, ataupun intepretasi sastra. Belum lagi efek-efek lain yang berpeluang menciptakan bias semacam efek halo --ketika menilai seseorang yang sudah dianggap pintar maka nilai baik akan langsung dibubuhkan; sebaliknya bila subjek yang dinilai memiliki track record yang buruk maka sebaik apapun tetap buruk nilainya. Pernah seorang teman yang jengkel karena jurnalnya selalu saja mendapat nilai buruk meminta bantuan pada teman lain yang terkenal pintar dan selalu mendapat nilai baik. Hasilnya, tetap saja nilai yang diperolehnya buruk.

Ah sayang...
Nilai di selembar transkrip yang entah bagaimana proses mendapatkannya itu sering kali jadi acuan utama untuk mendapatkan pekerjaan. Padahal belum tentu orang berIP tinggi dapat bekerja sebaik yang berIP pas-pasan. Mau tidak mau saya membernarkan juga perkataan adik angkatan yang kepayahan itu sebelum kemudian saya menambahkan,

"Ibu, ada beberapa hal dapat kita ubah, tapi ada juga yang tidak. Daripada frustasi memikirkan hal-hal yang nggak bisa diubah macam cara orang mendapat nilai lebih baik kita mikirin bagaimana caranya mengubah diri untuk mendapatkan nilai bagus dengan cara yang pantas dan berkenan di mataNya. Yang penting berikan saja yang terbaik."

Dalam hati saya berucap, "Mungkin saya tidak bisa mengubah hal-hal besar mengenai nilai, tapi saya berani berharap bahwa suatu saat ketika kata cum laude yang berarti dengan terpuji alias with honor itu tercantum di transkrip, maka angka itu diperoleh dengan cara yang terpuji untuk dapat digunakan memuliakan (honor) namaNYA."

clara_anita's picture

Ada yang lain kali ini

Ada yang lain kali ini
Pengirim : anakpatirsa
Tanggal : Tue, 16 Dec 2008 07:40:56 +0700
Komentar :

Memang seharusnya sekolah itu bukan mencari nilai, melainkan ketrampilan. Tetapi nilai itulah yang membuktikan siapa kita. Sekarang tergantung orang yang melihat nilai itu. Itu juga menipu, ada yang memang tidak berhak atas nilainya. Tetapi nilai itu membuat orang lebih mudah melakukan seleksi. “Kumpulkan saja orang-orang bernilai tinggi. Lalu ujilah ia dengan nilainya. Apakah ia memang pantas untuk nilai itu?” Lebih mudah khan?

Lalu bagaimana dengan orang yang bernilai sangat rendah tetapi kemampuan tinggi? Seperti kata orang bijak, “Biarkan ia membusuk, karena orang ini sebenarnya tidak bertanggung jawab.”

***

Another topic:

Waktu aku kecil, di kolom surat pembaca-nya Bobo, seorang anak bertanya, “Mengapa Bobo memiringkan kata caem dalam kalimat ‘Bobo yang caem’?

Majalah anak-anak ini menjawab, “Karena kata itu bukan kata bahasa Indonesia.”

Aku bukan  orang yang sok baku-bakuan, hanya saja masa kecilku dihabiskan di sebuah kampung yang membuatku dilemparkan ke sungai jika berani menambah nih, deh, caem kedalam bahasa daerah kami.

Teori dan praktek ternyata sangat jauh beda. Aku bisa tahu arti baku atau tidak, tetapi setelah mulai menulis, ternyata tidak semudah menjentikkan jempol kaki. Ternyata harus banyak belajar lagi dan melakukan lebih banyak prakteknya. Membuatku akhirnya menyadari nilai bahasa Indonesia sempurna di sekolah tidak berguna tanpa praktek.

Kembali ke “Another topic” tadi, hanya sebuah pertanyaan. Apakah sekarang clara_anita juga ketika menulis blog tidak lagi menganggap itu sebuah blog? Apakah gara-gara SABDA Space, clara_anita membuka kembali pelajaran bahasa Indonesianya?



Judul Komentar :

@anakpartisa: another topic: berbahasa Indonesia yang baik/benar


Pengirim :

pwijayanto


Tanggal :

Tue, 16 Dec 2008 08:45:19 +0700


Komentar :

mengutip tulisan clara_anita:

Dalam hati saya berucap, "Mungkin saya tidak bisa mengubah hal-hal besar mengenai nilai, tapi saya berani berharap bahwa suatu saat ketika kata cum laude yang berarti dengan terpuji alias with honor itu tercantum di transkrip, maka angka itu diperoleh dengan cara yang terpuji untuk dapat digunakan memuliakan (to honor) namaNYA."

memuliakanNya atau memuliakan namaNya?

NamaNya siapa?

(maaf, jadi another topic lagi....)

Sebab itu umat-Ku
 akan mengenal nama-Ku dan pada waktu itu mereka akan mengerti  bahwa Akulah Dia yang berbicara, ya Aku - Yesaya 52:6

salam, www.gkmin.net .



Judul Komentar :

hati-hati another topic


Pengirim :

Love


Tanggal :

Tue, 16 Dec 2008 09:27:44 +0700


Komentar :

Soal IP, saya selalu punya target untuk mendapatkan IP yang baik. Bukan sekadar karena IP adalah saringan awal untuk mendapatkan satu "pekerjaan" di Indonesia ini, tapi karena saya suka melihat hasil. Jika saya belajar, maka saya harus mendapatkan hasil yang sesuai dengan kerja keras saya tersebut.  Saya bukan orang yang terlalu pintar, tapi saya mau berusaha mendapatkan IP yang baik, oleh karena itu saya berusaha mencari gaya belajar saya sendiri.

Soal subjektivitas dosen, atau cara mahasiswa untuk mendapatkan nilai dengan tidak jujur, saya setuju dengan clara, jng fokus kepada hal-hal itu karena mematikan semangat belajar kita sendiri. Toh, mereka yang tidak jujur, tapi dapat hasil bagus, akan teruji lagi dengan banyak hal, yang akan membuktikan bahwa sebenarnya mereka tidak mampu. Sedangkan yang nilai pas-pasan, tapi bisa bekerja dengan baik pun ada prosesnya yang akan membutikan bahwa nilai bukan segalanya.

Dalam menjalankan tugas
sebagai HRD, saya tetap menggunakan lembar transkrip sebagai salah satu pertimbangan untuk meloloskan sebuah surat lamaran, apakah bisa masuk proses selanjutnya atau tidak. Namun, saya tidak serta-merta melihat IP-nya saja. Banyak aspek dari transkrip tersebut yang saya perhatikan dengan saksama. Tidak hanya itu, lembar-lembar lain di luar transkrip pun tidak luput dari pengamatan saya dan pimpinan.

btw,

mbak clara, kayaknya harus jaga gawang di kiosnya nih, soalnya another topic-lah yang bisa-bisa dibahas dalam kios mbah clara ini .... he he he, kaya di kios-kios yang lain itu lohh ...



Judul Komentar :

IP: persoalan, bukan hanya bagi mahasiswa tapi juga Fakultas


Pengirim :

pwijayanto


Tanggal :

Tue, 16 Dec 2008 10:28:58 +0700


Komentar :

IP bukan hanya persoalan bagi mahasiswa, tapi juga fakultas.

Di saat dunia kerja menuntut IP yang tinggi, maka IP tinggi menjadi target mahasiswa maupun fakultas, apalagi jika dikaitkan dengan akreditasi program studi, rata-rata IP mahasiswa juga menjadi slah satu indikatornya.

Di fakultas tempat saya belajar, dulu diterapkan sistem NISBI dalam penilaian kepada mahasiswa. jika kelas lebih dari 20 orang, jika kurang dari itu, dipakai sistem patokan.

Masalahnya jika sistem NISBI diterapkan secara murni dan konsekuen, pasti jumlah mahasiswa yang mendapat A akan sama atau kurang lebih sama dengan jumlah mahasiswa yang mendapat E, dan paling banyak adalah mahasiswa yang mendapat nilai C. Dan jika sistem NISBI dilaksanakan secara murni, ya secara statistik, rata-rata IP mahasiswa akan berkisar sekitar 2 (nilai tengah), nah ini akan "menjatuhkan" point akreditasi.

Nah, pada waktu fakultas bertemu dengan orang tua mahasiswa, ad
a salah seorang yang mengusulkan agar fakultas tidak pelit dalam memberi nilai, agar IP mahasiswa "tinggi".

Ini adalah dilema fakultas, mau pelit nilai atau murah nilai.  

Mestinya dunia usaha agak kompromi sedikit, bahwa IP bukan satu-satunya ukuran kualitas seorang calon tenaga kerja.  Teman kuliah saya, ber-IP (hanya)  2,3 , malah sekarang sudah jadi konsultan setelah 'pensiun' dari menjadi direktur sebuah perusahaan.

Sebagai dosen, saya sangat berat hati jika memberi nilai mahasiswa "E", bahkan juga kasihan pada mahasiswa yang terpaksa mendapat "D", tapi juga dituntut pertanggungjawaban jika memberi mereka nilai "A".  Sering saya katakan kepada mahasiswa di akhir perkuliahan sebelum mereka bertemu dengan "nilai"nya:

"Nilai hanya masalah distribusi, ada yang A, ada yang D atau E. Saya tidak membuat nilai, hanya memasukkan nilai Anda dan menghitungnya dengan rumus-rumus E
xcel, walau pada beberaoa kasus saya bisa membuat judgement tertentu untuk nilai anda.  Hidup tidak ditentukan hanya oleh perolehan nilai dari mata kuliah yang saya ajarkan.  kuliah apalagi mata kuliah, hanyalah SEBAGIAN KECIL dari hidup yang perlu kita jalani.  Jika gagal semester ini, masih ada semester depan, mungkin ketemu saya lagi, jika saya masih hidup dan masih mengajar matakuliah ini lagi, atau mungkin ketemu dengan dosen yang lain. Maafkan saya jika selama kuliah yang sudah berlangsung, ada hal-hal yang tidak berkenan di hati anda sekalian....."

Oh ya.. ini saya tulis di sela-sela membuat soal tes akhir semester untuk besok siang...

Another topic saya tentang namaNYA tidak usah dibahas, sudah banyak topik yang membahasnya, diluar kuliah, saya juga kadang mengingatkan kepada mahasiswa yang beragama Kristen yang agak dekat dengan saya, tentang Doa Bapa Kami... "Bapa kami yang ada di sur
ga.. Dikuduskanlah namaMU..."
(ketika saya tanya: NamaNYA siapa? kebanyakan mereka cuma senyum-senyum tanpa menjawab dengan pasti...)

salam, www.pwijayanto.net .



Judul Komentar :

Another Topic...


Dear


Pengirim :

clara_anita


Tanggal :

Wed, 17 Dec 2008 10:33:26 +0700


Komentar :

Another Topic...

Dear AP,
Membaca komentar Anda saya jadi senyum-senyum sendiri karena teringat pada definisi bahasa di kelas linguistic bebera tahun silam

Language is arbitrary vocal symbols used for human communication...

Jadi bahasa pada hakikatnya berasal dari kesepakatan (arbitrary). Sehingga yang terpenting adalah pihak-pihak yang berkomunikasi sama-sama tahu dan sepakat akan makna yang disampaikannya ^^. Dalam hal ini 'baku-baku'an memang tidak menjadi persoalan utama. Sejauh pihak-pihak terkait memahami makna yang disampaikan tidak menjadi soal.

Kenapa saya menulis bahasa baku?
AP, salah satu subjek yang saya ajar semester ini adalah Bahasa Indonesia. Bidang yang menantang untuk diajarkan. Murid-murid saya sering kali membuat kesalahan dalam penulisan dan ejaan. Merekalah yang memberi inspirasi pada saya untuk sesekali mencoba menggunakan aturan yang benar. Sesekali saja kok ^_^

Back to the topic:

/>Pasti dulu nilai-nilainya AP bagus-bagus ya? ^_^

GBU
anita



Judul Komentar :

I am sorry  Wit,


Please be


Pengirim :

clara_anita


Tanggal :

Wed, 17 Dec 2008 10:48:53 +0700


Komentar :

I am sorry  Wit,

Please be contextual and stay on the topic ^_^

Itu saja komentar saya...

 

^^

GBU

anita

 



Judul Komentar :

@love: jaga gawang ....


Pengirim :

clara_anita


Tanggal :

Wed, 17 Dec 2008 10:56:25 +0700


Komentar :

Love memang rajin dan tekun ya :)
Dulu saya sempat berpandangan sama dengan Anda, tetapi karena satu peristiwa yang boleh terjadi dalam kehidupan saya, pandangan saya mengenai IP jadi sedikit berubah. Kalau dulu dia segalanya, sekarang dia hanya menjadi salah satu faset dalam karier akademis saya ^_^

Ketika saya diberi mandat oleh pimpinan untuk merekrut beberapa teman di tempat saya bekerja, IP memang menjadi salah satu pertimbangan utama, namun saya tidak pernah lupa ketika salah seorang teman melamar dua tahun lalu ia menuliskan di lamarannya..

Although my GPA is only 2.XX, I am willing to give my best to serve.

... dan dia berhasil menyisihkan pelamar lain; kinerjanya pun luar biasa baik hingga hari ini...

Maaf tidak bisa jaga gawang dengan baik... baru sempat masuk :)

GBU
anita
 



Judul Komentar :

hehehe balada IP


Pengirim :

rahseto


Tanggal :

Sat, 20 Dec 2008 23:24:02 +0700


Komentar :

mbak clara

balada IP memang menarik, gara-gara IP saya juga kejegal sana-sini. hehehehehe

terlalu asik menuntut ilmu kehidupan nyata di alam kuliah memang berat. antara mengejar angka dan kedewasaan pikiran.

ternyata yang bikin bisa berhasil itu ga cuman IP tinggi mbak tapi juga relasi. teman saya IP 2.25 bisa kerja jadi assisten direktur sebuah perusahaan pangan besar di Indonesia.

buwat yang masih kuliah saya sarankan dekat2 ma orang berpengaruh biar cepet dapat posisi nanti waktu kerja, yang sekarang suka berjuang untuk kaum-kaum marjinal dan demi idealisme siap2 aja kemungkinan dapat uang banyak melayang.TAPI kalo udah hati nurani aku mendukungmu kawan-kawan.

 

Gusti Yesus wonten kagem sedaya umat  gadah IP 0.01 ngantos 4.00

Tuhan Yesus ada untuk semua umatnya yang memiliki IP 0.01 - 4.00

 



Judul Komentar :

@rah: masalah IP . . .


Pengirim :

clara_anita


Tanggal :

Mon, 22 Dec 2008 10:39:17 +0700


Komentar :

Betul...

Belajar dari kehidupan juga penting; meski memang harus diseimbangkan;

IP tinggi juga tidak menjamin keberhasilan di dunia kerja;

Seseorang yang saya kenal lulus magna cum laude; tapi tetap 'terganjal' di sana-sini lantaran faktor X, Y, Z, (kalau boleh dilanjutkan sampai AA, AB, AZ dan seterusnya... seperti di excel :P)

Tapi jalan TUHAN memang beda dengan jalan manusia..

Saya yakin meskipun jalannya berkelok teman saya itu tetap bahagia dan tambah dekat sama TUHAN

 

GBU

anita