Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Bleng!

Pak Tee's picture

     Ini cerita tentang seorang Juru Tagih (istilah kerennya : Kolektor) bernama A. Belum lama ini A menagih ke salah satu customer perusahaan (Ibu B). Nilai tagihannya Rp 21.601.000 (dua puluh satu juta enam ratus satu ribu rupiah). Jumlah yang tidak besar untuk tugas seorang kolektor. Dan semua berjalan dengan lancar sampai dengan sang kolektor (A) harus menyerahkan uang tagihannya ke kasir perusahaan. Nah, disinilah baru masalah itu muncul : uang yang disetorkan A ternyata kurang satu juta rupiah! Lho kok bisa?

     Menurut cerita A, ketika dia menagih, Ibu B memberinya uang sejumlah dua puluh juta rupiah untuk dia hitung terlebih dahulu. Setelah itu, dia (A) diberi "buntut"nya sebesar enam ratus satu ribu rupiah. Dan A "bleng" (biasanya sering ditulis "blank", tidak ingat apapun, pikirannya kosong, tidak bisa berfikir apapun tentang hal yang sedang dihadapi). A merasa uang tagihannya sudah genap, dan dia pamit meninggalkan rumah Ibu B.

     Siapa yang salah dalam hal ini? Siapa yang harus bertanggung jawab? Tentunya A, karena dia sudah menghitung dan sudah meninggalkan rumah Ibu B tanpa pernah komplain apapun! Kenyataannya? Ketika A menjelaskan ke Ibu B permasalahannya, Ibu B memberi A satu juta rupiah untuk uang yang menurut A belum pernah diterimanya. Jadi siapa yang salah dalam hal ini? Menurut saya, yang salah tetap A. Apakah Anda setuju dengan saya?

     Ceritanya belum selesai!

     Beberapa waktu kemudian, A menagih lagi ke Ibu B. Kali ini jumlah tagihannya Rp 26.400.000 (dua puluh enam juta empat ratus ribu rupiah). Juga bukan jumlah yang besar untuk pekerjaan seorang kolektor. Tapi hal yang sama terulang kembali. Kali ini uangnya kurang lima juta rupiah. Bagaimana bisa terjadi?

     Menurut A, dia awalnya diberi dua puluh juta untuk dihitung terlebih dahulu. Kemudian setelah itu dia diberi satu juta empat ratus ribu rupiah. Dan lagi-lagi dia "bleng". Dia merasa sudah genap, sekalipun ketika awal dia menerima dua puluh juta.... dia sudah merasa ada yang salah.... Tapi kemudian "bleng" menghantam dirinya, dan dia tak sadarkan diri.... pingsan.

     Betapa jahatnya si "Bleng" itu!

     Ketika dijelaskan ke Ibu B, Ibu B merasa sudah memberi dengan jumlah yang benar. Bahkan Ibu B bisa memperinci pecahan uang yang diberikannya. Kali ini A tidak mendapatkan "kekurangan" uang tagihannya.

     Uang lima juta rupiah untuk seorang kolektor tentunya merupakan jumlah yang besar, karena gajinya tidak ada lima juta rupiah sebulan. Tapi siapa yang salah dalam hal ini? Secara prosedural / Tata Cara Penagihan tentunya A! Tapi karena pimpinan perusahaan adalah seorang kristiani yang berbelas kasihan, maka beliau menawarkan pilihan kepada A :

1. Kekurangan setoran ditanggung 100% oleh perusahaan

2. Kekurangan setoran ditanggung 50% oleh perusahaan, dan 50% oleh A.

3. Kekurangan setoran ditanggung 100% oleh A.

Dan ternyata A memilih No.2

Pertanyaannya : Apakah pimpinan perusahaan bijak dalam hal ini dan apakah A juga bijak dalam pilihannya? Jika tidak, apa yang seharusnya dilakukan oleh pimpinan perusahaan, dan apa yang seharusnya dilakukan A? Tolong tuliskan pendapat Anda di kolom komentar. Terima kasih.

 

 

__________________

Seperti pembalakan liar, dosa menyebabkan kerusakan yang sangat parah dan meluas. Akibatnya sampai ke generasi-generasi sesudah kita. Aku akan menanam lebih banyak pohon!