Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

BUDI I I I I I I I I I , ih SEBEL

Purnomo's picture

                Ada seorang yang berhari-hari tersesat di padang pasir. Bekal makan dan minumnya telah habis. Akhirnya dia menemukan arah menuju desanya. Ketika dia masih membutuhkan 2 jam lagi berjalan untuk mencapai desa itu, tenaganya habis. Dia terkapar di pasir. Dia tak bisa bergerak lagi. Bahkan merangkak pun tidak. Dia terbaring menunggu ajal.


 

             Kebetulan dari arah desa itu datang seorang yang hendak pergi ke seberang gurun dan menemukannya. Dia diberi sebungkus nasi dan sebotol air. Tenaganya pulih setelah makan dan minum sehingga dia bisa berjalan selamat sampai desanya.

            “Kalau kamu menjadi orang yang hampir mati itu, apa yang kamu lakukan untuk membalas kebaikan penolongmu ?” tanya ayahku mengakhiri dongengnya.

            “Aku akan memberinya 3 bungkus nasi dan 3 botol air,” jawabku yang saat itu masih kelas 4 SR.

           “Itu masih kurang.”

           “Lima bungkus nasi dan 5 botol air.”

           “Seratus bungkus nasi dan 100 botol air pun masih kurang,” kata ayahku, “karena kamu tidak berhutang nasi dan air, tetapi berhutang nyawa. Ini yang disebut hutang budi. Hutang emas bisa lunas, hutang budi dibawa mati. Artinya, kamu harus terus menerus membalas kebaikannya sepanjang hidupnya sampai kamu mati.”

             Wejangan ini dia berikan ketika kami tinggal di Jakarta dan menerima 2 kardus besar berisi pakaian dan sepatu bekas. Seorang perempuan kenalan Ayah ketika kami masih tinggal di Semarang yang mengirimnya. Aku merasakan kebaikan perempuan ini ketika kami kembali tinggal di Semarang. Aku disuruhnya sepulang sekolah membantu di warungnya. Setiap akhir minggu dia memberiku uang. Rumah warung itu milik orang tuanya yang saat itu masih hidup tetapi ketuaannya tak memungkinkan lagi menjaga warung. Sedangkan perempuan ini tinggal dengan suaminya di rumah dekat warung itu. Mereka tak punya anak sehingga mengambil seorang anak angkat, seorang puteri yang tumbuh menjadi remaja jelita dan amat disayanginya.

 

          Karena pekerjaan, belasan tahun aku meninggalkan kotaku. Ketika kembali ke kota asal, perempuan ini sudah tinggal sendiri di rumah sewa. Setelah kedua orang tuanya meninggal, rumah warung itu dijual untuk melunasi hutang dagang suaminya. Kemudian rumah mereka juga dijual karena suaminya tak mampu lagi bekerja. Mereka kemudian berpindah-pindah rumah sewa sampai si suami meninggal. Puterinya bekerja di Jakarta entah apa pekerjaannya, entah sudah berapa kali menikah, dan datang menjenguk mamanya kalau butuh uang saja.

          Kembali ayahku mengingatkan tentang budi. “Kalau aku butuh uang dan dia juga butuh uang pada saat yang sama sedangkan uangmu hanya cukup untuk satu orang, berikan kepada dia.”

          Untuk keperluan hidup sehari-hari, perempuan ini membuat keranjang tempat bunga tabur untuk disetorkan ke perusahaan-perusahaan jasa kematian. Kadang dia juga diminta membuat rangkaian bunga penutup peti mati. Karena melihat rumah sewanya makin lama makin kecil, aku tahu dia kesulitan uang. Karena itu aku membujuknya pindah ke panti wreda di mana dia masih bisa bekerja tetapi tak perlu menguatirkan tentang rekening air, bayar listrik dan makan karena aku yang akan menanggung tagihan bulanan panti. Dia menolak. Aku lupa sudah berapa kali membujuknya tetapi tetap saja dia menolak.

         Suatu kali adikku berkabar dia ingin bertemu denganku. Ternyata – dia bercerita dengan wajah sumringah – puterinya akan menikah lagi. Janjinya kepada mamanya, ini yang terakhir. Karena itu dia ingin menyelenggarakan pesta kecil mengundang teman-temannya. Tetapi dia tidak punya uang. Dia bertanya kalau-kalau mamanya bisa mengusahakan pinjaman dari kenalannya yang setelah pesta selesai akan dibayar. (Memangnya amplop sumbangan bisa menutup biaya pesta pernikahan?) Perempuan ini bertanya apa aku bisa membantunya. Kalau anaknya tidak berhasil melunasi dia akan mengangsurnya, begitu katanya sambil menyodorkan nomor rekening puterinya yang di Jakarta itu.

        Setelah berpikir semalaman, esok harinya aku mentransfer uang senilai 1 sepeda motor bebek baru. Bukti transfernya kuberikan kepada perempuan itu. Celakanya, dia kemudian berkabar kepada adik-adikku dan aku kena marah. “Tidak akan uangmu kembali,” kata mereka. “Anaknya itu penipu. Jangankan kamu, mamanya sendiri sudah berulang kali ditipunya.”

 

       “Aku tahu,” jawabku. “Tetapi aku mau menyenangkan mamanya, bukan anaknya.”

         Memang demikianlah kejadiannya. Uang itu tidak dikembalikan. Bahkan perempuan itu juga tidak diundang ke pestanya. Dia mau ke Jakarta mencarinya, tetapi aku mencegahnya karena dia tidak tahu alamatnya. Bahkan cucunya dari “menantu pertama”nya yang sering menelepon dia juga tidak tahu di mana tinggal ibunya itu. Aku tak lagi menjenguknya karena setiap kali aku datang pasti dia menyesali perbuatan anaknya itu.

         Hampir setahun kemudian aku dikabari adikku, perempuan itu masuk rumah sakit. Dia jatuh terperosok ke selokan dalam dan kepalanya membentur tepi betonnya sehingga harus dioperasi. Aku menjenguknya. Dia masih tak sadar. Dia ditunggui seorang tetangganya yang berulang-kali menawari perempuan itu tinggal di rumahnya. Tetangganya punya 1 kamar yang menganggur dan boleh dia pakai tanpa bayar. Tetapi perempuan ini menolak. Cucunya juga datang. Aku tanya mengapa ibunya tidak datang. Jawabnya, ibunya tak mau datang karena banyak orang Semarang yang benci kepadanya.

         Beberapa hari kemudian perempuan ini meninggal. Di krematorium aku melihat pengurus beberapa yayasan kematian hadir. Selesailah urusanku dengan si “budi”. Jika Anda mengatakan aku orang kuno, bodoh, terbelakang, dsbnya karena menaati peribahasa jadul “hutang budi dibawa mati” aku tak sakit hati. Aku tahu jaman sekarang tidak ada “hutang budi dibawa mati” selama kita bisa membalas kebaikan hati “si budi” yang memberi kita sebungkus nasi dan sebotol air dengan 5 bungkus nasi dan 5 botol air. Yang ngetrend "hutang budi bisa diamnesti".

 

       Lalu bagaimana dengan kebaikan Yesus yang mau mati di atas kayu salib buat Anda? Apakah Anda sudah merasa kebaikan-Nya telah dibalas lunas dengan HANYA setia datang beribadah di gereja dan tak pernah lupa memasukkan uang 5 ribu ke kantong persembahan sampai Anda diabsen-Nya kelak?

 

       Iiiiiiih sebel deh, masa perkara si ‘budi’ dibawa-bawa ke dalam gereja.

        Iyaya aku memang nyebelin. Maapin purnomo ya.

       (06.09.2016)       

 

*** gambar diambil lewat google sekedar ilustrasi

 

guestx's picture

Hutang budi bisa diamnesti asal sanggup "menebus"nya

Hahahaha ... Jargon tax amensty adalah ungkap, tebus, lega.

Kalau hutang budi dibawa mati, maka menebusnya juga harus dengan kematian.

Adakah yang sanggup menebusnya?

__________________

------- XXX -------

Rusdy's picture

Yesus Bukan Budi

Untung Yesus namanya bukan Budi, jadi nggak usah bayar utang Wink

Pak Tee's picture

ini bapak budi...

menarik! ikut TA aja biar nggak diperiksa.... Wkwkwwwk....... Pak Pur sy suka ceritanya.

__________________

Seperti pembalakan liar, dosa menyebabkan kerusakan yang sangat parah dan meluas. Akibatnya sampai ke generasi-generasi sesudah kita. Aku akan menanam lebih banyak pohon!

Purnomo's picture

Thx Pak Tee

nanti saya cari Budi mau tanya apa sudah ke kantor pajak. Smile