Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

CINTA DI UJUNG CERAI

Tante Paku's picture

     KEMBALI suasana jadi sepi. Tak ada pembicaraan. Suami istri itu tampak muram, entah apa yang sudah terjadi. Ketegangan dan kegersangan di wajah mereka menunjukkan adanya pertengkaran seru. Terlihat beberapa saat kemudian sang istri buka suara.

     "Nah, apalagi alasanmu sekarang?"

     Sang suami yang duduk di depannya hanya memandang, datar.

     "Kuharap kau bisa memperlunak suaramu."

     Karena mereka tidak ingin memancing tetangganya untuk bersimpati kepada urusannya. Urusan rumah tangga, hanya mereka yang boleh tahu. Bertengkar, di mana tempat pun boleh, selama hal itu tidak menjadi perhatian orang sekelilingnya. Untuk itu sang suami tersebut memohon istrinya untuk tidak bicara keras-keras.

     "Kenapa? Itu hakku," tegas sang istri.

     "Ya benar, itu hakmu. Hak mutlak, tapi kau harus tahu, janganlah memancing telinga orang untuk tahu persoalan ini."

     "Apa perduli mereka mendengarkan pembicaraan kita. Toh itu tak menguntungkan mereka. Bahan mereka akan rugi, menekankan telinganya untuk menyadap sebuah masalah yang tidak semestinya mereka campuri," jawab sang istri ketus.

     "Ya, memang tidak ada gunanya. Tapi setidaknya mereka terganggu apa salahnya mereka melakukannya sekalian. Toh kita yang mencoba memancing mereka untuk tahu akan kita, itu salah besar.,"

     "Sudah, sudah! Kau selalu mau menang sendiri!"

     Sang suami diam. Sebenarnya ia ingin tertawa mendengar jawaban istrinya itu. Tapi ia takut istrinya malah semakin meluap.

     "Tidak perlu kita persoalkan hal itu. Sekarang jawab pertanyaanku tadi," pinta istrinya.

     "Kau tanyakan alasanku?"

     "Iya."

    "Alasan apa?"

     "Jangan bergurau!"

     Sang suami tersipu.

    "Aku tidak bergurau. Tapi aku belum tahu apa yang kau maksud. Kuharap kau menjelaskannya, apa yang kau inginkan dariku?" ucap suaminya setengah berbisik.

     Sang istri menatap tajam, merasa dipermainkan.

     "Kau jangan pengecut ! Persoalannya tadi sudah kita masalahkan tadi siang. Tapi kau bilang tidak baik bertengkar di depan anak-anak, aku mengalah. Sekarang katakanlah, apa alasanmu hendak menceraikan aku?!"

     "Hanya itu?"

     "Jangan main-main !"

     Suaminya kembali tersenyum. Senyum adalah bahasa persaudaraan. Istrinya tampak tidak senang, untuk melarang tidak mungkin. Ia benar-benar tidak senang suaminya menanggapi perkataannya, itu sama saja mempermainkan dirinya.

     Setelah beberapa saat diam, sang suami kembali berkata, "Aku memang ingin menceraikanmu. Kenapa?" lanjutnya mantap.

     "Apa kau bilang?" jawab sang istri melotot.

     "Aku ingin menceraikanmu, kenapa denganmu?" suara sang suami masih datar.

     "Oooooh...!" sang istri ber"O" panjaaang sekali.

     "Heran?" tanya suaminya.

     "Ya. Seharusnya bukan kau yang berkata demikian, tapi aku. Aku yang harus tanya, kenapa kau melakukan itu kepadaku, kenapa?" katanya agak sengit.

     Sang suami kembali tersenyum.

     "Kuminta kau tidak perlu senyam-senyum, muak aku melihatnya !"

     "Justru aku senang melakukannya."

     "Tapi aku BENCIIII...!"

     "Stttt, jangan keras-keras, jangan emosi. Nanti anak kita terbangun," bisik sang suami seraya menutup bibirnya dengan jari telunjuk sebagai isyarat untuk tidak berisik.

     "Baik. Tapi jangan lagi tersenyum. SEBEL  !"

     Sang suami mengangguk. Tapi ia sangsi apakah hal itu dapat dilakukannya. Tanpa tersenyum, ia merasa dirinya mati. Orang banyak tersenyum menandakan dirinya bahagia. Lalu kalau tidak boleh tersenyum, apakah aku tidak bahagia?

     Tidak. Aku bahagia dan selalu bahagia. Sekarang pun aku bahagia. Bahagia karena mendapat masalah rumit. Hidup kadang pelik tapi amat menarik. Setidak-tidaknya menarik untuk dilalui.

     "Sekarang katakan dengan jelas dan jujur, kenapa kau ingin melakukannya," kata sang istri kemudian.

     Pertanyaan yang manis, pikir sang suami. Hampir saja ia ingin tersenyum kalau saja tidak ingat ultimatum istrinya. Bisa terjadi perang dunia ke empat yang salah tempat. Pokoknya gawat kelewat-lewat deh, keluh sang suami.

     "Kuharap kau menjawabnya dengan singkat dan tepat. Jangan berbelit-belit. Itu akan menambah rumit penyelesaiannya."

     Yang biasa saja, pikir suaminya dalam hati. Tapi toh menerimanya juga dengan anggukan kepala.

     "Jadi aku harus menjawab dengan singkat?" Istrinya mengangguk. "Baik bila begitu," kata sang suami kemudian.

     "Sekarang mari kita selesaikan," lanjut sang istri.

     "Boleh juga. Mudah-mudahan bisa cepat tuntas."

     Sang istri mengangguk.

     "Aku sudah bosan denganmu," kata sang suami singkat. Singkat memang ucapannya, tapi itu sudah membuat istrinya terhenyak dari tempat duduknya.

     "Sama anak-anak kita?" kata istrinya sambil memelototkan matanya. Suaminya menggeleng.

     "Jadi cuma pada diriku?!" katanya sambil menudingkan jari telunjuk ke arah dadanya.

     "Ya. Memangnya kenapa? Marah?" Istrinya menggeleng.

     "Jadi kau maklum kalau aku sudah bosan kepadamu?"

     "Bahkan lebih daripada itu, aku sadar memang lelaki selalu tidak puas dengan beristri satu. Aku tidak marah kalau memang begitu kenyataannya. Sungguh."

     "Benarkah?"

     Istrinya mengangguk lemah.

     "Nah, hanya itu alasanku."

     "Tidak ada yang lain?"

     "Tidak."

     "Jadi cuma itu?"

     "Iya."

     "Baik."

     "Apanya yang baik?"

     "Alasanmu tadi !"

     Suaminya tersenyum

     "Jangan CENGENGESAN !"

     "Uff, maaf, aku lupa."

     Keduanya diam.

     Suasana sepi.

     Lengang.

     Tak lama kemudian sang suami membuka sebungkus rokok. Diambilnya sebatang. Di sulut lalu dihisapnya dalam-dalam. Dihembuskannya asap kuat-kuat seperti ada satu beban yang terlepas, bebas. Terasa ada kenikmatan yang sulit dilukiskan.

     Tapi sesaat kenikmatannya itu buyar. Istrinya menegur.

     "Sudah kubilang jangan merokok di dalam rumah !"

     Suaminya terpesona. Wajah istrinya tegang.

     "Apalagi ini?" suaranya dibuat selembut mungkin.

     "Sudah kubilang aku muak melihat kau merokok di depanku. Dulu kau sudah menghentikan rokokmu, kenapa merokok lagi?"

     Suaminya tersenyum. Sementara istrinya tampak tidak mengerti, apa sebenarnya arti senyumnya kali ini? Kok lain dengan senyumnya yang sudah-sudah.

     Sang suami kemudian membuang rokoknya keluar jendela, walau belum habis separohnya. Di bawah jendela ada tempat pembuangan sampah, jadi puntung terbuang pada tempat yang tepat.

     "Hidup ini memang perlu variasi," tiba-tiba sang suami buka suara setelah keheningan melanda. Ia sudah duduk mendekati istrinya, di sisi ranjang. Sang istri yang terbaring dengan luapan kesal dan airmata mengalir, menoleh.

     "Apa maksudmu?"

    Suaminya tersenyum manis. Amat manis dalam pandangan sang istri. Ia tidak benci lagi memandang senyum itu. Entah kenapa? Ia tidak memberikan alasan.

     "Bahwa hidup ini akan terasa gersang kalau hanya itu melulu yang terlihat dan ternikmati. Sekali waktu butuh penyegaran," kata suaminya.

     "Maksudmu kau ingin kawin lagi, salah satu dari penyegaran itu?"

     "Bisa iya, bisa juga tidak."

     "Kau masih juga berbelit-belit."

     "Karena itu adalah variasi."

     Istrinya mengerutkan kening.

     "Dan kalau malam ini kubatalkan niatku, itu pun variasi."

     "Tapi kau sudah bosan padaku," jawab istrinya mengingatkan.

     "Ada kalanya orang bosan dalam sesaat, dan akan kembali berubah menjadi senang dalam sedetik. Jadi, ini bukan persoalan."

    Istrinya diam, menatap suaminya yang masih tersenyum memandang kepadanya.

     "Jadi.....?" belum lagi kalimat itu selesai, lelaki itu sudah menutup bibir mungil itu dengan telunjuknya.

     "Yah begitulah. Aku ingin bervariasi. Tapi yang utama, aku butuh perhatian  dan kasih sayangmu. Bukan harus setiap waktu kau berikan kepada anak kita. Toh aku suamimu. Aku pun butuh kasih sayangmu. Butuh perhatianmu. Sungguh. Dan baru saja kau sudah memberikannnya. Waktu kau melarangku merokok tadi, itu memang aku sengaja. Ternyata kau masih punya perhatian terhadapku," kata sang suami terus terang.

     Kemudian sang suami menceritakan persoalan yang sebenarnya, bahwa selama ini ia begitu mengharapkan kasih sayang dan perhatian sang istrinya, yang sudah dirasakan menghilang. Cinta harus disiram sepanjang hari kepada seisi rumah, bukan kepada sebagian penghuninya. Istrinya terlalu larut dalam persoalannya sendiri sehingga mengabaikan sang suami .

     "Jadi, sebenarnya itu....."

     "Sttttt.....," sang suami sudah menutup mulut istrinya. Bukan dengan jari telunjuknya. Tapi dengan bibirnya. Begitu hangat dan mesra. Layaknya dua remaja yang tengah dimabuk asmara.

 

Semoga Bermanfaat Walau Tak Sependapat

    

    

    

    
    

    

    

 

    

__________________

Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat

Samuel Franklyn's picture

Tulisan anda makin lama makin bagus

Tante paku tulisan anda makin lama makin bagus. Cerpen cinta anda ini lebih bagus dari cerita humor anda.

kardi's picture

Baca tulisan tante paku, ngantuk hilang dan ingat dengan istri..

@tante paku, tulisannya bisa menghilangkan kantuk dan ingat istri.... he...he..., hidup perlu variasi, kalau damai terus ga ada perang ga rame ya... walau ga ada firman Tuhan yang dibahas, tapi serasa menyegarkan pikiran yang lagi mumet dengan kerjaan . Terima kasih dan GBU....