Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Cinta pertama di bawah ketiak orangtua

Purnomo's picture

Saya tak ingat persis tahunnya ketika menonton filem Twice Told Tales di bioskop Dhady Solo. Filem supernatural horror ini terdiri dari 3 cerita lepas dan 2 di antaranya masih saya ingat alur ceritanya karena dalam kehidupan nyata di negeri ini kisah itu sering saya jumpai. Saya akan menulis satu di antaranya di sini.

 
Di sebuah kastil di daerah pedesaan hidup seorang profesor yang telah menduda dengan seorang puterinya yang cantik. Mereka tidak bergaul dengan penduduk sekelilingnya. Dengan kekayaannya, profesor ini bisa mempunyai banyak pelayan. Suatu hari ketika sang puteri sedang bersandar di jendela menara kastil menikmati pemandangan, seorang pemuda melihatnya dan terpesona akan kejelitaan gadis ini. Pandangan mata mereka bertemu, mereka bertukar sapa dan kata. Dari hari ke hari melalui komunikasi jarak jauh mereka menenun cinta sampai suatu hari sang pemuda memanjat tembok yang mengelilingi kastil dan melompat masuk.
 
Ia berada di sebuah kebun yang luas. Anehnya, semua tanaman itu bunganya berwarna ungu. Di tepi kebun ia melihat pujaan hatinya telah menanti. Bergegas ia berlari mendekati. Gadis itu menghindar ketika ia ingin memeluknya. Bahkan ia melangkah mundur ketika pemuda ini mengulurkan tangan untuk menyentuhnya. Gadis ini memperingatkannya bahwa tubuhnya beracun. Bila ia menyentuhnya maka racun itu akan memasuki tubuhnya dan membunuhnya. Untuk membuktikannya, gadis itu menyentuh tanaman yang ada di dekatnya. Tanaman itu langsung layu seperti terbakar.
 
Untuk melindunginya dari orang-orang jahat, ayahnya secara bertahap menyuntikkan racun ganas ke dalam tubuhnya. Racun itu berasal dari tanaman berbunga ungu. Mereka tak mungkin saling menyentuh, apalagi menikah. Mencintai tak harus memiliki, bukan?
 
Dengan hati hancur pemuda ini kembali menyusup ke kebun menuju tembok kastil di mana ia meninggalkan tali pemanjat. Ia harus berhati-hati agar tak tergores duri tanaman ini karena kekasihnya telah memperingatkannya. Ketika akan memanjat, ia melihat sebuah tunas di bawah sebatang tanaman ungu.
 
Hari-hari berlalu tetapi gadis itu tak lagi tampak di balik jendela menara kastil. Beberapa minggu kemudian pemuda ini kembali memanjat tembok kastil di sisi lain. Ia mengendap-endap menuju ruang tamu. Kekasihnya ada di sana dan melihatnya. Kekasihnya berlari menghampirinya, memeluknya dan menciumnya. Mendadak nafas gadisnya tersengal-sengal. Ia berteriak-teriak panik ketika melihat wajah kekasihnya mulai kebiru-biruan. Pelayan-pelayan berhamburan keluar, juga ayah gadis itu. Tubuh gadis itu mengejang sesaat sebelum nafasnya berhenti. Pemuda itu meletakkan tubuh kekasihnya di atas sofa. Ketika pelayan-pelayan menghambur untuk menangkapnya, pemuda itu berteriak mengatakan tubuhnya penuh dengan racun bunga biru. Ia memegang tanaman dalam vas didekatnya. Semua mundur menjauh ketika melihat tanaman itu terkulai layu.
 
Profesor itu melolong, memeluki tubuh anak gadisnya. Ia menangis. “Selama ini aku mengawasinya,” katanya kepada pemuda itu. “Aku tahu ia mencintaimu. Aku juga tahu kamu mencintainya. Karena itu diam-diam aku menyelidiki siapa kamu. Kamu pemuda yang baik dan pantas menjadi suaminya. Karena itu dari hari ke hari aku mengurangi dosis racunnya. Walaupun ini membuat ia menderita, ia mau menanggungnya demi cintanya kepadamu. Ia tak bisa naik ke menara kastil karena tubuhnya lemah akibat penderitaan itu. Pagi ini ia telah bebas dari racun. Tubuhnya sebersih tubuh orang lain. Mengapa kamu tidak mengatakan kepadanya tubuhmu menyimpan racun bunga biru? Ah, semuanya sudah terlambat. Sudah terlambat. Ini bukan salahmu. Pulanglah. ”
 
Pemuda ini meratap. Ia telah mencuri tunas tanaman biru itu dan memeliharanya di rumah. Ia membiasakan tubuhnya dengan racun itu. Setiap malam ia menyiksa dirinya karena dosis racun yang dimasukkan terus ditambah. Ketika goresan duri tanaman beracun itu tak lagi menimbulkan rasa sakit, ia tahu itulah saatnya ia bisa menyentuh kekasihnya karena mereka tidak lagi berbeda. Sayang sekali ia tidak mengetahui gadisnya melakukan yang sebaliknya.
– o –
Setiap orangtua punya naluri untuk melindungi anak-anaknya sejak mereka lahir. Mereka adalah miliknya. Bahkan bagi seorang perempuan, anaknya jauh lebih dicintai daripada suaminya. Ia rela menderita demi anaknya. Ia mendahulukan anaknya menyantap makanan sekenyang-kenyangnya dan rela menunggu sisanya. Jika ternyata anaknya menghabiskan semua makanan, ia malah sangat senang sehingga lupa perih lambungnya karena tak terisi. Seorang perempuan penyabar yang bisa tersenyum sabar ketika menerima kritikan pedas tentang dirinya, akan berubah menjadi harimau ganas bila ada orang yang membicarakan kejelekan anaknya.
 
Ketika anaknya beranjak remaja dan mulai menulis ‘love list’ dalam diarinya, orangtua diam-diam juga membuat daftar kriteria calon menantu dalam benaknya. Apa yang mereka lakukan bukan sesuatu yang salah karena mereka ingin anaknya kelak berbahagia. Di gereja jika kita bertanya kepada orangtua yang anak gadisnya beranjak dewasa apa syarat calon menantunya, daftar mereka tidak panjang: seiman syukur-syukur satu gereja sehingga tidak perlu berdebat doktrin setiap malam; saling mencintai; punya penghasilan tetap yang cukup untuk hidup sederhana.
 
Saat terbuai cinta pertama sempatkah Anda menjalin komunikasi dengan orangtua kekasih untuk mengetahui penilaian mereka terhadap diri Anda? Siapa tahu mereka kurang suka Anda merokok. Siapa tahu mereka malu melihat Anda terkantuk-kantuk dalam gereja. Siapa tahu mereka senang melihat Anda selalu menggandeng tangan anak gadisnya? Siapa tahu mereka bahagia sekali ketika Anda memberikan hadiah ulang tahun perkawinan mereka walaupun mereka tidak merayakannya. Jika disamping mengakrabi kekasih, kita juga berhasil mengakrabi orangtuanya, bisa-bisa malah mereka yang ribut kalau satu hari kita absen muncul di rumahnya.
 
Tidak perlu ditakuti keterlibatan orangtua kekasih dalam cinta pertama Anda jika proteksi yang mereka lakukan demi kebahagiaan anaknya. Tenang dan tentramlah menjalin cinta di bawah keteduhan sayap orangtuanya. Tetapi jika proteksi mereka terhadap anak gadisnya bagai proteksi sebuah properti, waspadalah, waspadalah!
– o –
Mudah-mudahan orangtua kekasih Anda bukan orangtua yang memperlakukan anak-anaknya sebagai investasi masa depan. Orangtua jenis ini kepada anak lelakinya yang telah bekerja akan menetapkan berapa banyak uang yang harus disetorkan kepada mereka setiap bulan. Ini semacam pengembalian modal yang telah ditanamkannya. Kepada anak perempuannya?
 
Jika anak gadisnya berwajah jelek bertubuh di bawah standar berotak pas-pasan, mereka akan menikahkannya kepada sembarang pria untuk mengurangi “biaya perawatan inventory” ini yang susah pasarannya. Tetapi bila puterinya berwajah cantik bertubuh molek berotak cerdas, ceritanya jadi lain sama sekali. Merekalah yang membuatkan ‘love list’ bagi puterinya. Dialah yang mencarikan pria-pria yang bisa dijadikan nominasi pemenang puterinya. Bila finalisnya tinggal satu orang, itu belum berarti selesai. Jika mendadak muncul seorang pria yang lebih baik dari finalis ini, maka mereka akan memecatnya untuk menggantikannya dengan yang baru.
 
Bisa jadi tanpa harus ada penggantinya, finalis itu terpaksa didiskualifikasi apabila orangtuanya menemukan fakta baru yang menurunkan total nilai yang bersangkutan. Contoh sederhana, mendadak mereka mengetahui calon menantunya yang berwajah tampan ini berpenyakit epilepsi. Atau, calon menantunya walaupun berpenghasilan besar ternyata di kantor bertugas sebagai cleaning service merangkap agen majalah dan koran. Atau, calon besannya yang dulu mereka kira pemilik tunggal sebuah pabrik besar ternyata hanya manajer belaka.
 
Yang mengerikan, orangtua jenis ini bisa membujuk anak perempuannya –   walaupun sudah menikah – untuk minta cerai bila tidak bisa memberikan “setoran” sesuai harapan orangtuanya. Ini bukan saya kutip dari cerita sinetron, tetapi dari kehidupan nyata.
 
Bahagiakah anak gadisnya? Jika pola pikirnya sudah tuning dengan pola pikir orangtuanya, ia berbahagia. Bila tidak, penderitaannya jauh lebih berat daripada penderitaan kekasihnya yang terpaksa ditinggalkannya. Ia merasa hina karena martabat dirinya telah direndahkan menjadi sebuah komoditi.
 
Apa solusinya? Saya tidak punya, kecuali putus! Berisiko tinggi menjalin cinta di bawah ketiak orangtua. Baunya bikin pusing dan cairan keringatnya bisa meracuni jiwa kita. Mungkin Anda akan merasa tertantang untuk berjuang menjadi pemenang. Silakan dan semoga berhasil sampai ke pernikahan. Tetapi walaupun Anda berdua telah tinggal berjauhan dengan mertua Anda, tidak ada buruknya menyelidiki apakah mereka masih memegang ‘remote control’. Jika istri Anda ketahuan diam-diam rutin mengirimkan sejumlah uang kepada orangtuanya, jangan bergegas marah. Berbicaralah kepadanya dengan kepala dingin. Anda mengasihinya, bukan?
– o –
Setelah menelepon istri di rumah Medan, saya keluar dari kamar hotel untuk duduk-duduk di taman kecil hotel Jepang yang terletak di sebelah barat bundaran Semanggi Jakarta. Saya lebih tenang bermalam di sini bila besok pagi-pagi benar harus ke bandara karena dekat dengan jalan tol. Setengah jam saya duduk di situ, memandangi langit Jakarta di antara pucuk-pucuk bangunan bertingkat ketika sebuah SMS masuk. Dari putri sulung yang sedang kuliah di Semarang, “sgra tlp aku, pnting skli.” Hampir pukul 11 malam. Wah, pasti ada yang gawat.
 
Ada apa? Kamu sakit?” tanya saya.
“Enggak. Gini. Kamu dulu melarang aku pacaran kalau masih SMA.” Kami memang selalu beraku berkamu. “Berarti sekarang aku boleh pacaran ‘kan?”
“O, gitu. Boleh, boleh. Kamu ketemu dia di mana?”
“Di gereja,” jawabnya.
“Asalnya dari kota mana, umur berapa, lulusan sekolah apa, kerja di mana?”
Sederet pertanyaan interogasi ini dijawabnya dengan lancar.
“Spesifikasi lainnya gimana? Prosesornya apa?”
“Yeee, kayak mau beli komputer saja. Yaaa, pentium dua gitulah, tapi gak pernah hang kok.”
“Chasingnya oke? Pendek, tinggi, kurus, gemuk?”
“Memangnya mau beli sapi? Tinggi normal, agak gemuk.”
“Good! Prospek kemakmuran ada. Setidaknya pasti kamu ditraktir setiap jalan bareng, tidak perlu patungan. Jadi uang bulananmu bisa aku kurangi.”
“Enak aja. Gimana mau nraktir. Kenalan aja belum.”
“Waduh, tiwas senang aku. Lalu dari mana kamu nyuri databasenya?”
“Aku sudah lama memperhatikannya. Sekarang aku mau nembak dia. Cuma aku tidak tahu trik mana yang bagus.”
“Pura-pura saja jatuh terpeleset di depannya.”
“Wah, high risk. Iya kalau langsung dia pegang aku. Kalau dia diam saja?”
“Iya ya, Pentium dua sih. Gini saja. Kamu telepon Mama.”
“Aku tadi bilang, aku sudah mengoleksi trik nembak cowok yang menurut aku bagus. Tetapi aku tidak tahu menurut cowok trik yang mau aku pakai itu norak apa tidak? Yang tahu katrok apa tidak ‘kan orang laki. Jadi aku butuh pendapat kamu, bukan pendapat Mama.”
“Contohnya?”
Dia lalu menguraikan trik pertamanya. Saya terbahak sambil menepuk-nepuk kepala. Seorang pelayan café yang ada di tepi taman mendekat mengira saya memanggilnya untuk memesan minuman.
“Maaf, saya tidak pesan minuman.”
Maaf, saya juga tidak bisa menulis trik putri saya di sini. Biarlah itu menjadi milik pribadinya. Malam itu saya senang sekaligus kuatir. Saya harus mulai melepaskannya dari naungan sayap orangtuanya. Sebelum tidur saya berdoa untuk dirinya, untuk cinta pertamanya.
 
(selesai bagian ke-6)
 


Normal 0 MicrosoftInternetExplorer4 Normal 0 MicrosoftInternetExplorer4 /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman";} /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman";}

Serial Cinta Pertama,

bagian ke-1: Cinta pertama jangan membuat bodoh.

bagian ke-2: Cinta pertama terganjal mitos.

bagian ke-3: Cinta pertama beralas harta.

bagian ke-4: Cinta pertama retak direntang jarak.

bagian ke-5: Cinta pertama belum tentu cinta sejati.

bagian ke-6: Cinta pertama di bawah ketiak orangtua.

bagian ke-7: Cinta pertama – gone but not forgotten..

 

KEN's picture

Mas Purnomo

Purnomo: Saat terbuai cinta pertama sempatkah Anda menjalin komunikasi dengan orangtua kekasih untuk mengetahui penilaian mereka terhadap diri Anda? Siapa tahu mereka kurang suka Anda merokok. Siapa tahu mereka malu melihat Anda terkantuk-kantuk dalam gereja. Siapa tahu mereka senang melihat Anda selalu menggandeng tangan anak gadisnya? Siapa tahu mereka bahagia sekali ketika Anda memberikan hadiah ulang tahun perkawinan mereka walaupun mereka tidak merayakannya. Jika disamping mengakrabi kekasih, kita juga berhasil mengakrabi orangtuanya, bisa-bisa malah mereka yang ribut kalau satu hari kita absen muncul di rumahnya.

Ken: Anda benar, saya baru sadar, saya melakukan kesalahan di area ini, tapi bukan karna merokok dan lain sebagainya yg anda tulis, tapi karna memang benar2 kurang pendekatan.

 

 

Purnomo: Tidak perlu ditakuti keterlibatan orangtua kekasih dalam cinta pertama Anda jika proteksi yang mereka lakukan demi kebahagiaan anaknya. Tenang dan tentramlah menjalin cinta di bawah keteduhan sayap orangtuanya. Tetapi jika proteksi mereka terhadap anak gadisnya bagai proteksi sebuah properti, waspadalah, waspadalah!

Ken: Ini yg saya rasakan. Karna ketika semuanya sudah di ujung tanduk, orang tuanya meminta memperlihatkan fotokopi surat tanah saya kepada mereka, dan jelas saja saya berang untuk ini, keterlaluan!

 

 

 

 

>>>=GOD=LOVE=YOU=>>

          If Not Us, Who?

        If Not Now, When?

 

 

       * yuk, jangan asal ngeblog *

____________________________

       * yuk, jangan asal comment *

Purnomo's picture

Ken, hari ini ‘ku rasa bahagia

karena komen Ken di atas. Dari semua komen yang masuk ke serial Cinta Pertama, sharing Ken inilah yang paling membesarkan hati saya. Ken, selama ini potongan-potongan kisah Anda merisaukan saya, tetapi saya tidak berani memberi tanggapan. Masalah Anda begitu berat dan mempengaruhi (hampir) seluruh aspek hidup Anda sehingga Anda lebih sering muncul di situs ini sebagai harimau yang terluka, yang dilukai dengan cara curang, yang dikhianati oleh orang yang selama ini Anda percayai, yang dicekik oleh orang yang seharusnya melindungi Anda dalam pelukannya. Anda bagai orang yang tergeletak di jalan antara Yerusalem dan Yerikho tetapi tidak ada orang Samaria yang lewat. Tetapi Anda masih bisa berteriak. Saya kagum kepada ketegaran Anda.

 

Kekaguman inilah yang membuat saya selalu berpikir kapan saya bisa sedikit menolong Anda. Saya pernah berada pada posisi di mana Ken sekarang berada dan tidak ada seorang pun yang memberikan bantuan. Saya tidak ingin itu terjadi kembali pada diri Ken. Itulah sebabnya komen Ken di atas membuat saya senang. Ken telah melihat salah satu penyebab masalah hidup Ken yang saat ini menggulung Ken. Sekarang Ken harus bertindak untuk memperbaikinya.

 

Berangkat dari komen Ken di atas saya akan menulis bagian berikutnya dengan mencangkok blog Sandman, “Cinta pertama – gone but not forgotten

 

Thanks a lot, Ken.

 

Love's picture

Mungkin karena "Enggan"

Saya mencoba mengingat-ngingat, pernahkan saya dan suami dulu saling mengomunikasikan mengenai diri kami sendiri ke calon mertua.

Ternyata secara langsung memang tidak. Biasanya kami saling mengorek keterangan satu sama lain. Saya bertanya apakah ada yang orang tuanya tidak suka atau suka dari saya sebagai pacarnya, dan dia pun sebaliknya.

Ketika ortu saya mengatakan tidak terlalu "sreg" punya calon mantu berambut gondrong, tidak berapa lama kemudian rambutnya pun sudah dipangkas rapi :)

Kalau dari calon mertua, sulit juga mengorek keterangan karena sepertinya  "enggan" mengungkapkan pendapat mengenai calon menantunya :(

Misalnya, ketika calon mertua saya ingin calon mantunya terlihat lebih langsing pada hari pernikahan, dia tidak mengatakan langsung kepada saya. Namun memberikan beberapa jamu tradisional kepada calon suami saya he he he :)

Menurut saya, permintaan yang paling berarti dan langsung beliau katakan kepada saya adalah dalam acara sungkeman pada hari pernikahan saya.

Dengan lembut beliau memeluk saya dan berbisik, "Evie harus sabar dalam mendampingi dan  menemani anak lelakiku ini seumur hidup, ya." Dan aku, yang dasarnya cengeng ini, tidak bisa lagi membendung air mata.

Sekarang sih, sudah tidak ada enggan-engganan lagi :) Jadi lebih plong, gak perlu main tebak-tebakan lagi :)

Pak Pur, thanks buat sharing-nya ya ... thanks banyak .... :)

Purnomo's picture

Mbak Evie, when we love

It isn’t because the person’s perfect, but it’s because we learn to love an imperfect person perfectly.

 

Thanks for your sharing, Mbak Evie.
KEN's picture

Mas Purnomo

Sebenarnya saya menyesal atas kejadian ini.

Sewaktu kami berpisah, selang beberapa bulan kemudian, saya menelponnya, di seberang sana dia menangis dan berteriak histeris meminta saya untuk datang padanya, tapi saya tidak datang.

Aku menyesal....

 

 

>>>=GOD=LOVE=YOU=>>

         If Not Us, Who?

       If Not Now, When?

 

 

     * yuk, jangan asal ngeblog *

____________________________

   * yuk, jangan asal comment *

Purnomo's picture

mantan kekasih yang hilang datang

mantan kekasih yang hilang datang

ungkapkan besarnya penyesalan

bagaimana dia menghancurkan aku

percayalah kau tak aku sesali

awan hitam menghantui langkahmu

bagaimana mungkin jika itu pilihanmu

di sini tak lagi jadi rumahmu

relakanlah semua

berakhirlah sudah

dan biarkan bintang

menuntunmu pulang

haa.. haaa..
kau tak slalu bisa punya yang kau inginkan

kau tak slalu bisa punya yang kau impikan

 

- “mantan kekasih” sheila on 7