Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

CINTA tanpa KEBERSAMAAN

Purnomo's picture
Putri sulung saya, yang masih kelas 1 SD, minta jajan KFC bersama saya. Pagi itu saya bilang ya. Memang kami punya acara makan bersama di luar 1 bulan sekali. Ternyata kesibukan kerja membuat saya lupa akan janji saya. Saya juga tidak ditelepon karena ibunya tidak mau mengganggu saya. Saya tiba di rumah hampir pukul 8 malam. Anak ini sudah makan tetapi tidak mau tidur karena menunggu saya. Ia sudah siap dalam pakaian bepergian dan berdiri, entah sudah berapa lama, di pintu rumah.

Tanpa mandi langsung saya ajak ia pergi. Ibunya tidak ikut karena mengasuh adiknya yang baru lahir. Selama perjalanan ia berkicau tentang gurunya, teman-teman sekolahnya, PR-nya, kenakalan anak-anak di bus sekolah. Saya hanya mengomentari dengan kata-kata singkat. O ya? Lalu? Payah dong! Ia berhenti bercerita ketika saya masuk ke basement sebuah mol di mana ada gerai KFC. Agaknya ia tahu saya perlu konsentrasi mengemudikan mobil di tempat parkir yang sesak ini. Ketika saya berhasil memarkirkan mobil, ternyata ia sudah tertidur. Saya tetap menyalakan AC mobil dan menunggu sampai 30 menit. Tetapi ia tidak juga bangun.

Saya memandangi wajahnya. Tenang teduh. Saya mencintainya. Saya bekerja keras untuk bisa memberinya yang terbaik: sekolah terbaik, makanan terbaik, pakaian terbaik. Tetapi saya tidak tahu bahwa ia juga membutuhkan kebersamaan dengan saya. Selama ini saya berpikir ibulah yang dibutuhkan oleh anak dalam proses pertumbuhannya, apalagi bila ia perempuan. Saya pulang ke rumah dengan penyesalan yang dalam, tanpa membeli KFC karena saya tidak berani meninggalkannya sendirian di mobil. Besok pagi ketika ia berpamitan ke sekolah, ia tidak menanyakan mana ayam gorengnya. Bahkan ketika sore harinya kami santai berbincang-bincang, ia tidak mengajak saya ke KFC, tetapi meneruskan curhatnya yang semalam terpotong tidurnya.

Waktu ia hampir tamat SMA ketika saya menanyakan kepadanya peristiwa itu, ia tidak berhasil mengingatnya. Kalau begitu, peristiwa apa bersama aku yang masih kamu ingat waktu masih kecil? tanya saya. Dalam berkomunikasi saya memang membiasakan anak-anak saya untuk beraku-berkamu. Ia hanya berpikir sekejap, kemudian menjawab, “Waktu kamu panggul aku di pundakmu sambil lari-lari keliling rumah.” Saya mengingat-ingat, tetapi gagal. Kapan itu? tanya saya. “Mungkin waktu aku di te-ka.” Kok kamu masih ingat? “Karena hebohnya, ‘kali. Aku berteriak-teriak kenceng, takut sekaligus seneng.”

Mengherankan, kebersamaan yang amat sederhana ini telah terpateri di hatinya that I loved her so much sehingga ia tak mengingat kesalahan saya yang membuat ia tidak dapat menikmati KFC bersama saya.

Siapa pun pasti ingin mendapatkan kebersamaan sebanyak mungkin dengan anggota keluarga yang dicintainya. Tetapi kesibukan kerja sering tidak memungkinkannya. “Solusinya,” kata para pakar, “jadikan saat kebersamaan yang singkat itu berkwalitas.” Saya tidak tahu bagaimana bentuk waktu yang berkwalitas dalam konteks kebersamaan ini. Apakah bila saya pulang kemalaman, saya harus membangunkan anak saya dan berkata, “Nik, Papa punya waktu 30 menit untukmu. Nah, sekarang katakan kepada Papa apa saja yang penting yang perlu Papa ketahui”?

Mungkinkah waktu untuk curhat juga diagendakan? “Nik, jangan ganggu Papa pada hari kerja, ya. Kalau mau bicara sama Papa, hari Minggu saja. It’s your time.”

 

—o—

Kita, para aktivis gereja pasti mencintai Tuhan, karena kecintaan inilah yang mendasari setiap gerak pelayanan kita. Pernahkah kita sejenak berpikir menghitung berapa banyak waktu yang kita sisihkan untuk mendapat kebersamaan dengan Kekasih kita dalam kesibukan pelayanan yang begitu padat? Paskah tahun ini kita sibuk sebagai Seksi Penyambutan sehingga tidak bisa ikut berada di ruang kebaktian menikmati kebersamaan dengan-Nya. Natal tahun lalu juga begitu karena harus berkeliling mengawasi halaman gereja sebagai Kasi Keamanan. Selain itu kita termasuk aktivis mahahadir di gereja akibat sedikitnya jumlah jemaat yang mau terlibat dalam pelayanan. Kita mengajar Sekolah Minggu, jadi bendahara Komisi Pemuda, melatih vocal group Remaja, ikut tim perkunjungan, memimpin persekutuan rumah tangga, penulis majelis jemaat. Ini yang rutin. Belum lagi bila ada panitia, nama kita pasti tercantum didalamnya.

Kesibukan ini mungkin tidak membuat kita lalai membaca buku renungan harian dan memanjatkan doa menjelang tidur malam. Tetapi apakah dalam kelelahan itu dan dalam waktu yang begitu singkat ini kita bisa merasakan kebersamaan dengan Allah? Apakah logos (Firman) yang kita baca berubah menjadi rhema (Firman yang bersifat pribadi) sehingga kita merasakan kehadiran Allah di dekat kita dan membisikkan sendiri firman itu ke telinga kita? Merasakan sentuhan jemari kasih-Nya yang memberi kesegaran? Mengenang kembali letupan gairah ketika kita memulai sebuah pelayanan yang kini terasa sebagai sebuah rutinitas yang hambar? Menikmati saat curhat kepada-Nya tanpa ketergesaan seakan-akan seluruh waktu Tuhan diperuntukkan untuk kita saja?

Percayalah, mengurangi jumlah pelayanan atau mengambil “cuti pelayanan” satu-dua minggu agar kita bisa mendapatkan kebersamaan dengan Kekasih kita bukanlah sebuah dosa. Juga bukan dosa membuat marah orang yang selama ini “memeras” kita bersenjatakan kalimat “ini pelayanan, jangan ditolak”. Kita memang harus melakukan kerja pelayanan. Namun jangan lupa bahwa setiap pelayanan harus menyenangkan hati-Nya. Saya yakin Tuhan tak akan senang bila kita berlaku seperti calo bus antarkota yang sibuk berteriak-teriak mencari penumpang sebanyak mungkin, tetapi ketika bus itu bergerak meninggalkan terminal, kita tidak ikut terbawa di dalamnya.

Then he (Jesus) went up on a mountain where he could be alone and pray. Later that evening, he was still there. (Matthew 14:23)

-- (the end) --
 
Catatan : Artikel di atas ditulis setelah membaca "Manusia biasa menghasilkan hal yang luar biasa" oleh Joli, posted on Juni 29, 2008.
joli's picture

@purnomo..kebersamaan yang berkwalitas... hanya alasan..

Dear purnomo,

Benar..

Kesibukan ini mungkin tidak membuat ...... Tetapi apakah dalam kelelahan itu dan dalam waktu yang begitu singkat ini kita bisa merasakan kebersamaan dengan Allah? ....sehingga kita merasakan kehadiran Allah di dekat kita dan membisikkan sendiri firman itu ke telinga kita? Merasakan sentuhan jemari kasih-Nya yang memberi kesegaran? Mengenang kembali letupan gairah ketika kita memulai sebuah pelayanan yang kini terasa sebagai sebuah rutinitas yang hambar? Menikmati saat curhat kepada-Nya tanpa ketergesaan seakan-akan seluruh waktu Tuhan diperuntukkan untuk kita saja?

Kadang-kadang kita berbicara hal kebersamaan yang berkualitas..dengan entengnya meski pura-pura berat melakukannya.. seperti yang sering kulakukan untuk berdalih.. di coment-ku "cinta terlarang" itu semua hanya alasan thok..untuk menutupi bahwa keegoisan kita sebagai orangtua dan tidakmampuan kita menentukan prioritas.. juga memperlihatkan kebodohan kita yang mau dipermainkan waktu..semua sia-sia seperti menjaring angin..

Kata si Om Hai2.. : wuwei =tidak melakukan apa apa
wu wei wu bu wei = tidak melakukan apa apa bukan tidak melakukan apapun

dan yang kita pikir sia sebenarnya bukanlah hal yang sia-sia..

yang kita pikir paenting malahan hal yang sia-sia ..menjaring angin..