Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Covid-19 dan Kematian

guestx's picture

Membicarakan Covid-19 sekarang ini adalah membicarakan kematian. Orang-orang yang kita tahu kondisinya baik-baik saja beberapa minggu yang lalu, mendadak dikabarkan sudah kritis dan kemudian mati.

Ya, mati. Bukan meninggal dunia atau menghembuskan nafas penghabisan. Eufemisme tidak tepat untuk menggambarkan akhir hidup orang yang berstatus penderita Covid-19. Potensi penularan dari jenazah telah menyebabkan mayat-mayat segera dikuburkan dalam bungkusan plastik. Acara pelepasan jenazah dilakukan serba singkat, seringkali tanpa kehadiran orang-orang yang dikasihi, atau kadang-kadang hanya melalui kehadiran virtual.

Akhir tahun 2019 berita tentang virus yang berawal di Wuhan, China, ini sudah terdengar hingga ke tanah air. Akan tetapi, kebanyakan kita merasa itu hanya urusan warga China. Kita masih merayakan Natal dan Tahun Baru sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Kita terperangah ketika awal Maret 2020 kasus pertama Covid-19 di Indonesia terungkap. Dua minggu kemudian, hidup kita berubah secara drastis.

Mendadak sekolah ditutup. Kantor-kantor ditutup. Ibadah ditiadakan. Transportasi dibatasi. Itu pertengahan Maret 2020.

Sekarang akhir Juli 2021. Wabah ini masih menyebar dengan liar dan ganas. Setiap hari pertambahan pasien baru di Indonesia berkisar di angka 40.000 dan penambahan jumlah orang yang mati karena Covid-19 di angka 1.500 ke 2.000 orang per hari. Angka-angka ini sesungguhnya sangat menyeramkan, tapi kita mulai terbiasa.  Terbiasa mendengar orang-orang mati karena Covid-19.

Vaksinasi yang diharapkan menjadi "dewa penyelamat" tidak menunjukkan kekuatan seperti yang diharapkan. Munculnya varian baru menjadi dalih, begitu pula lambatnya pelaksanaan vaksinasi. Apa pun alasannya, ini tidak mengubah fakta bahwa saat ini hari-hari kita diisi dengan mendengar kurang-lebih 40.000 orang pasien baru bertambah dan sekitar 1.500-an orang meninggal. Kabar buruknya: Beberapa hari dan minggu ke depan, keadaan mungkin lebih buruk.

PPKM atau PSBB atau istilah apa pun tak membuat hidup kita lebih baik dan harapan kita lebih baik dari pada hari sebelumnya. Kita hanya bisa menghibur diri bahwa "tanpa vaksinasi dan PPKM dsbnya, keadaan akan lebih buruk dari sekarang."

Kita tidak tahu keadaan hipotetis jika orang-orang tidak divaksinasi dan jika pembatasan pergerakan masyarakat tidak dilakukan. Yang kita tahu, hari ini tidak signifikan lebih baik dari kemarin dan hari esok tampaknya bakal lebih buruk dari hari ini.

Pesimistis? Ya. Tapi, sikap optimistis yang tidak diikuti pemikiran dan tindakan yang benar tidak lebih baik dari sikap pesimistis. Para pemimpin negeri ini sudah berkali-kali menggeser prediksi kapan wabah ini berakhir. Sempat terdengar bahwa wabah ini akan bisa diatasi Agustus 2020, sementara besok sudah Agustus 2021 dan keadaan malah jauh lebih buruk dan lebih mengerikan.

Kematian menjadi berita harian. Kita membius diri agar tidak terkejut dengan pengumuman pemerintah: mau yang mati 1.500, 1.700, 2.000 atau bahkan lebih. Seakan-akan pengumuman itu hanyalah statistik yang tak terkait dengan kita.

Ah, seandainya memang itu tak terkait dengan kita.

Ketika orang yang kita kenal dekat, apalagi orang yang kita kasihi, masuk ke dalam statistik kematian tersebut, semuanya menjadi terasa berbeda. Ketika orang-orang yang terpapar dan tak bisa mendapatkan perawatan yang memadai, kita berjuang agar jangan sampai orang yang kita kasihi dicacah dalam perhitungan angka korban Covid-19.

Saya sudah kehilangan banyak orang-orang terkasih karena Covid-19. Saya tak tahu masih berapa lama lagi wabah ini dan berapa banyak lagi korban akan bertambah - siapa yang menjadi mangsa virus ini berikutnya? Mungkin juga saya sendiri.

Kematian itu pasti akan menjemput setiap kita. Namun, kita tentu tak ingin mati begitu saja oleh virus. Mari berupaya dengan segenap kemampuan kita untuk menghindar dari Covid-19 dan untuk bertahan menghadapinya.

Bagi orang percaya, kematian - disebut dengan istilah apa pun - hanyalah ujung dari perjalanan di muka bumi. Jauh lebih penting dari pada kapan kita mati dan dengan cara apa kita mati adalah kemana kita setelah mati. Bahkan, jika kita mati akibat Covid-19 dan mayat kita dibungkus plastik dan dikuburkan bagaikan  membuang bangkai beracun, kita tidak akan kehilangan anugerah hidup kekal yang dijanjikan oleh Tuhan kita bagi orang-orang yang percaya kepadaNya.

__________________

------- XXX -------