Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Farewell

y-control's picture

Untuk sang Maestro
(06/02/1925 - 30/04/2006)

Dalam hening yang lelap, menyusup perlahan tanpa bermaksud menghindari terbangunnya tubuh-tubuh itu, kematian merayap dengan seringai pagutnya yang telah terasah benar. Di depannya, sosok penuh usia rebah membelakangi dinding polos mengkilap tak bernoda tanpa benar-benar bermaksud menolak kehampaan yang ditawarkan dalam pandangnya, namun kali ini ia lebih memilih menyapa desis sang kematian dengan sebuah senyum penuh keharuan. "Biru, ungu.. ingatkah saat kau dulu mendatangi dan memelukku, hingga hamparan langit yang mestinya biru itu mendadak kau samarkan dalam ungu dan kau sumpalkan ke mataku? Ingatkah betapa mesra kau bergelayut di sepanjang usia dan hari-hari jejak langkahku? Tak berat memang awalnya, namun tak ringan pula kesudahannya. Aku memang tak pernah memohon seribu tahun lagi untuk dialami dan akupun tak meminta kau menemani setiap isap tembakau, anggur dan bawang putih yang kutelan sekedar mempertahankan sisa-sisa tak abadi?

Maut, sang kematian tersenyum dalam kekekalannya, "Ulurkan tangan sahabat lamaku, masih maukah malam ini kaulewati lagi?" Sosok yang tua dengan kulit tulangnya merenta, namun jiwa selalu membara, menghela nafas yang berdebu mencoba mengusir keharuan dan ingatan buruk di masa lalu. "Kau tahu kawan, betapa akrab kita bersama dan berjalan, menempuh jejak yang kini rapuh, menerka kapan malam akan tenggelam, tertidur bersama hilang, melawan kebutaan kebenaran, menerjang arus lupa, dan menggali kubur bagi yang serakah, kejam serta malas. Telah kau ambil guru-guruku, kau bawa serta kawan dan anak-anakku, betapa senang jika malam ini bisa kusiapkan diri menyambut perjalanan kita esok pagi.." Maut berbisik, hembusan napasnya kini adalah nestapa. "Jangan kau menuduhku lupa menunaikan tugasku. Sebagaimana dirimu, akupun membawa sendiri setiap mandat, di tengah berbagai kutuk dan hujatan, tanpa barang satu keluhan. Dengan setiap langkah yang hanya kudengar tangisan. Untuk jutaan orang yang pernah ada bersama sekian tahun hidupmu, untuk para guru, pemimpin, anak, ibu dan milyaran jelata yang terpaksa kubawa tanpa daya melawan senyum sinis dan pingkal tawa yang mengguncang timbunan lemak penuh nafsu para pembunuhnya.

Tanpa tangis kubawa Aidit dan Sneevliet, tanpa ragu kuajak Soekarno, tanpa bisa menahan kuambil Marsinah, Munir, Lopa, Udin, Theys, Elang, Yun Hap, Moses sambil kutinggalkan satu lembaran tentang Thukul, Bimo dan ribuan nama lainnya. Tak perlu lagi kukatakan apa yang terjadi saat kuhampiri Lorca, Borja, Che, sampai Trotsky, atau bagaimana rasa bekunya jasad yang harus kukenali demi mengangkat ratusan juta nyawa di kali-kali merah darah, kamp-kamp konsentrasi dan tempat-tempat mati yang menjadi favorit pelampiasan nafsu para prajurit bersenjata. Sosok tua, kali ini tak perlu lagi ia berusaha menangkap desis suara ketika semua itu mampu terbaca lancar lewat benak yang sama, benak pikiran yang sebagian isinya telah abadi pada jutaan bahkan milyaran kata dalam puluhan bahasa. "Delapan puluh satu tahun memang lama, mungkin lebih lama daripada yang dipunya semua nama yang kausebut tadi, dan sepanjang masa itu, ratusan juta nyawa juga telah hilang demi sebab yang tak seharusnya dijadikan ada. Benar, aku tak paham, arwah-arwah itupun tak mengerti, hanya para pelaku yang tahu kenapa semua itu harus ada. Dan diatas setiap mimpi buruk yang puluhan tahun mendatangiku setiap malam, di balik sakit yang tiada pernah dibayangkan di hari lahirku, kedatanganmu malam ini adalah seperti sebuah rangkaian kalimat yang akhirnya mampu kutulis lagi, namun tetap saja itu adalah sebuah kalimat terakhir."

Sepi menjalar sekian lama, mengiringi detik-detik waktu yang bisu. Keduanya kini menikmati kebersamaan bukan dalam derai tawa dan bincang tentang apa, hanya dalam lamunan antara masa lalu dan masa depan yang akan segera menjadi kenangan pelajaran bagi semua orang yang terbuka mata hatinya. Bumi meregang, menantikan satu lagi titipan dari sang pembawa perpisahan. Jangan kau sangsikan kesedihannya, kadang ia pun tak tahan, marah melihat polah congkak tangan-tangan yang tamak. Namun tak banyak perubahan. Tangis sekejap, tawa kasar menanduknya cepat. Seperti tumpukan artikel terpampang di lembaran koran lama, kumpulan iklan, berita dan tayangan kotak simulasi yang bergantian merasuki otak dan mencuri kesadaran, kejadian lalu lalang tak dilupakan karena itupun dirasa bukan milik semuanya, tak ada kepedulian tentang mana yang benar, mana yang besar, mana yang penting, mana yang nyata, sebelum akhirnya ia menabrak runtuh dinding-dinding rumah pembaringanmu.

Akan ada kumpulan besar, mereka kan berteriak dalam kesakitan, menuntut enyahnya ketidakadilan, mereka bosan dengan kebodohan, jengah dengan ketidakberhargaan. Para tuan pembunuh dan penjajah pun melihat dengan ketakutan, tentu saja mereka selalu khawatir dengan adanya kerugian. "Mereka adalah lawan! Jutaan orang itu adalah kepalsuan, tak pantas mereka bicara tentang hak yang telah habis kutelan, jika saja mereka bukan bagian dari pasar sendiri, sesungguhnya aku selalu membencinya. Jelas mesin-mesin adalah sahabat yang lebih meyakinkan, lebih menjanjikan keuntungan!" Disebarkanlah fitnah bahwa mereka adalah ancaman. Namun tak ada yang perlu disalahkan jika pembunuhan dan pengrusakan adalah karya mereka dan robot-robot hasil ciptaan yang tampil angkuh dengan selimut simbol-simbol suci tentang kenikmatan surga.

Rambut itu telah lama memutih, sebagian juga tanggal. Seandainya kekekalan bukanlah bagiannya, tentu sang kematian akan jauh lebih nampak renta dari dirinya. Ayam berkokok parau, sementara kesakitan sekejap menjalari tubuh lemah itu. Tak ada lagi yang diceritakan, terdiamlah semua ucapan lantang, air mata berlinang turun di wajah tegar ibu Maemunah, salah satu dari wanita-wanita luar biasa yang pernah berada di dunia. Langit pun muram, mendung terlihat dengan enggan menggantung di atas pemakaman. Kawan-kawan datang mengucapkan salam perpisahan, mengabarkan kesaksian karena tak akan ada lagi "sampai bersua di lain hari". Walau demikian, sesungguhnya tak pernah ada kematian untuk seorang pahlawan. Perjuangan tentu masih akan dilancarkan, dan keabadian namanya adalah sebuah sejarah yang selalu menjadi teladan di hari depan, demi harapan akan kemenangan di hari pembebasan yaitu hari perkabungan untuk ketidakadilan.

Selamat jalan bung Pram

"Bangunlah Kaum yang Terhina, Bangunlah Kaum yang Lapar" (Mars Internazionale)

Bin Nun's picture

angkat dan kepal lengan kita

perjuangan belum selesai... Indonesia masih 1/2 merdeka... GOD BLESS OUR COUNTRY!