Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Gadis kecil dalam peti mati

Purnomo's picture

 Jika Anda seorang guru Sekolah Minggu (selanjutnya disingkat GSM), masih ingatkah apa yang dulu mendorong Anda berkiprah di profesi ini? Seorang GSM sering sulit menceritakan dengan jujur motivasi awalnya, apalagi di depan sebuah forum.

 

Bisa dibayangkan apa yang ada dalam pikiran hadirin bila saya sebagai salah seorang pembicara dalam forum itu mengatakan, “Motivasi saya adalah mengisi waktu luang.” Pasti kredibilitas saya sebagai pembicara turun ke titik nadir. Paparan saya sulit diterima. Mengapa?

 

Karena motivasi mewarnai setiap tindakan kita dalam kegiatan itu. Seorang pendeta yang ketika masuk sekolah teologia berbekal motivasi “Saya ingin melayani Tuhan dengan seluruh jiwa raga saya” akan berbeda tindakannya dengan yang bermotivasi “Profesi pendeta tidak terjamah krisis moneter” atau “Supaya nanti aku gampang cari jodoh.” Yang pertama setelah lulus ditugaskan ke desa di tengah hutan pun tidak akan mengomel. Yang kedua akan patuh apa saja kata majelis gerejanya agar tidak kena pehaka. Yang ketiga pasti ngotot melayani kepemudaan. Btw, pendeta pemuda gerejamu cakep ga? Masa depan pendeta cerah, lho. Tapi ingat, hanya di kota besar. Di kota kecil atau pedesaaan? Makan angin!

 

Memang itulah motivasi awal saya ketika masuk kelas SM. Sebelum selesai katekisasi yang lamanya satu tahun, hampir semua kegiatan pelayanan di gereja telah saya masuki: Komisi Pemuda, majalah gereja, kelas teater, paduan suara, tim musik, tim perkabaran Injil, tim pelawatan, Sekolah Minggu. Satu saja yang tidak, Komisi Wanita. Orang melihat saya sebagai aktivis paripurna, penuh dedikasi, tidak pernah menolak tugas. Tetapi itu tidak benar. Absolutely wrong! Saya sumpek berada di rumah. Lagipula dalam kegiatan-kegiatan itu sering ada acara makan, walau berupa nasi bungkus. Tetapi lauknya jauh lebih enak daripada yang ada di rumah. Sampai pernah ibu saya marah karena saya lebih sering berada di gereja daripada di rumah dan berteriak, “Mengapa kamu tidak tidur sekalian di gereja?!!” Kalau saja di gereja tersedia barak, pasti saya akan tidur di sana daripada di rumah berhimpitan dengan 8 adik seperti ikan sarden dalam kaleng.

 

Motivasi mendasari tindakan. Dengan motivasi seperti itu saya tidak pernah lama di sebuah pos SM. Minggu ini kena marah ketua pos, Minggu depan saya pindah ke pos lain. Karena dianggap aktivis paripurna, saya sering dikirim ke acara-acara pengaderan yang diadakan oleh klasis atau sinode Sekolah Minggu. Ini acara yang paling saya sukai karena bagi saya ini adalah wisata dan bisa makan mewah tanpa bayar (ya ampun, mengenaskan banget saya ini).

 

Pada suatu Minggu siang saya dolan ke rumah teman perempuan di pinggir kota yang rumahnya dipergunakan sebuah pos SM. Mau pdkt gitu. Belum lama kami asyik di ruang tamu, seorang gadis cilik muncul di pintu. Ia anak SM di pos itu. Sambil menangis ia berkisah adik perempuannya meninggal subuh tadi. Teman saya meminta saya tetap di ruang tamu, sementara ia pergi ke rumah gadis itu. Sebentar kemudian ia kembali. Ia mengambil Alkitabnya dan disorongkan kepada saya. “Sejam lagi peti ditutup dan langsung dimakamkan. Orang tuanya meminta GSM-nya yang memimpin acara ini. Sementara aku membantu ibunya, kamu persiapkan kotbahnya.”

 

Tentu saja saya protes keras. Gila! Ini bukan tugas GSM, tapi pendeta, setidak-tidaknya penatua. “Dalam keadaan darurat, setiap anak Tuhan bisa melakukan baptisan, apalagi hanya acara pemakaman,” jawabnya enteng. “Orang tuanya belum Kristen. Tetangganya tidak ada yang Kristen. Mereka tidak mau ketamuan penatua atau pendeta. Mereka mau guru Sekolah Minggu yang mengajari anaknya berdoa kepada Tuhan Yesus. Dan kamu pernah mengajar di sini.”

 

Ketika ia pergi lagi, saya ingin melarikan diri. Saya baru kelas 2 SMA, baru 2 bulan dibaptis, belum ada setahun jadi GSM, dan sekarang harus melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh seorang pendeta? No way-lah! Di pintu saya terhenti. Tidak ada anak kunci di pintu itu, sementara rumah ini kosong. Orang tuanya belum kembali dari gereja. Jika saya meninggalkan rumah ini tanpa terkunci, lalu maling masuk, bagaimana? Saya benar-benar menyesali keinginan saya bertamu di sini. Seandainya selesai mengajar SM tadi saya pulang ke rumah dan tidur, saya tidak akan mengalami kesialan ini.

 

Ketika teman saya datang menjemput, saya belum berhasil menyiapkan kotbah. Otak saya blank. Berjalan memasuki sebuah lorong sempit badan saya terasa melayang. Saya tidak tahu nanti harus berbuat apa karena tidak ada pengaderan yang pernah saya hadiri mengajarkan cara memimpin upacara pemakaman anak SM. Begitu melewati pintu sebuah rumah papan, di depan saya ada peti mati kecil terbuka. Seorang gadis kecil dalam pakaian putih terbaring di dalamnya. Jemarinya berpautan di atas dada, menindih sebuah buku Perjanjian Baru yang lusuh. Bedak yang menyaput wajahnya tidak berhasil menyembunyikan semburat warna biru di pipinya.

 

Saya membuka Alkitab yang ternyata tidak punya indeks. Saya tidak berhasil menemukan ayat yang ada di otak saya, Yohanes 3:16. Saya panik, tubuh saya gemetar, pandangan mata saya kabur sehingga tidak bisa membaca kalimat di Alkitab. Tiba-tiba saya ingat ayat hafalan yang diajarkan oleh guru agama Kristen ketika saya masih duduk di SMP. Di bawah sorot pandangan sangar beberapa lelaki dewasa yang hadir di ruangan itu, dengan terbata-bata kalimat panjang itu saya ucapkan. “Yesus pernah berkata demikian. Janganlah gelisah hatimu, percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku ada, kamu pun ada. "

 

Saya katakan hidup di dunia ini tidak lama, hanya sebentar, seperti orang mampir minum dalam perjalanan hidupnya. Tetapi dalam kesejenakan itu, anak ini berhasil mendapatkan petunjuk arah hidupnya yang mendatang. Ia telah mengenal jalan berikutnya yang menuju ke surga, tempat Allah Sang Pencipta menunggunya untuk hidup dalam keabadian. Kini, ia telah hidup bahagia di balik langit biru (mengutip lagu SM yang sedang populer saat itu).

 

Lalu peti ditutup. Beberapa orang memanggul peti itu berjalan menuju tanah kubur yang jauhnya sekitar 4 km. Beberapa orang berbaris mengikutinya. Saya berjalan membisu. Menjelang peti di turunkan ke liang lahat, di bawah terik panas matahari siang, saya berhasil membuka Yohanes 3:16 dan membacakannya. “Keselamatan yang Tuhan Yesus berikan tidak menuntut usaha manusia, kecuali mempercayai-Nya,” begitu yang saya katakan. “Karena Allah tahu, ribuan tahun manusia dengan kekuatannya sendiri, dengan usahanya sendiri, tak bisa masuk ke dalam surga. Ia tidak ingin kita binasa karena Ia adalah Allah Yang Pengasih, Ia mengirimkan Yesus untuk menyelamatkan isi dunia ini.”

 

Selesai acara penguburan, saya bergegas pulang. Badan terasa capek sekali. Malamnya saya sulit tidur. Wajah gadis itu terbayang-bayang. Menakutkan. Sebuah pertanyaan bergalau dalam otak saya. “Yakinkah kamu, gadis kecil itu telah diselamatkan jiwanya?” Gadis itu telah Allah kirim ke kelas Sekolah Minggu. Jika selama kehadirannya di SM ia tidak mendapatkan iman kepada Tuhan Yesus, siapakah yang bersalah?

 

Hari Minggu berikutnya ketika saya menyampaikan Firman di sebuah kelas SM, tiba-tiba saja saya teringat akan gadis kecil dalam peti mati itu. Wajahnya yang tersaput bedak dengan semburat biru bagai terpampang di dinding kelas di belakang anak-anak SM. “Apa yang sedang kamu sampaikan?” ada tanya dalam otak saya. “Pengajaran moral untuk hidup baik, ataukah iman kepada Tuhan Yesus?” Cerita saya kacau balau karena pikiran saya terpecah belah.

 

Kemudian saya menghilang dari peredaran. Saya lupa berapa bulan saya menghilang. Tetapi yang tidak terlupakan adalah ketika saya kembali ke Sekolah Minggu motivasi saya telah berubah. Jadi baik dan di jalan yang benar? Nggak tahu! Lebih tepatnya saya jadi parno (paranoid), berkayal aneh-aneh dan bertingkah seperti orang top. Motivasi melandasi tindakan. Dan dunia persekolahmingguan gereja ini goncang diobok-obok orang gila ini.

 

Saya kembali ke pos SM saya yang menempati sebuah SMA Kristen. Jumlah anak di sini sekitar 150 orang dan terbagi dalam 3 kelas. Suasana kelas selalu gaduh. Karena itu saya usul jumlah kelasnya diperbanyak dari 3 menjadi 6 agar penyampaian Firman lebih efektif. Ketua pos menolak. Saya ngotot. Karena jengkel, ia menyerahkan jabatannya kepada saya. Tanpa minta persetujuan sana sini, saya menerimanya. Saya yang masih SMA membawahi GSM yang sudah kuliah atau bekerja. Tanpa mempedulikan protes GSM senior, pemilahan kelas saya lakukan. Saya meminta mereka datang paling lambat 15 menit sebelum kebaktian anak dimulai. Bukan untuk menyiapkan ruangan, tetapi untuk bergaul dengan anak-anak. Pernah saya keheranan melihat seorang guru memimpin kebaktian dengan baju basah karena keringat. Selesai kebaktian saya menyoal bajunya yang tidak sopan. Dia menjelaskan, sebelum kebaktian ia menemani anak-anak mengejar layang-layang putus.

 

Kemudian saya masuk ke dalam kepengurusan Komisi. Dengan posisi ini saya menunjuk sebuah pos SM menjadi PLSM (Pusat Latihan Sekolah Minggu). Setiap calon GSM harus masuk ke pos ini untuk mendapat pembekalan sekaligus perploncoan. Perploncoan? Tugas perdana mereka adalah menculik anak. Begitu kebaktian dimulai, mereka diam-diam mengabsen anak. Mereka tidak boleh berpikir, “Ah, hari ini hanya 2 anak yang tidak hadir. Hanya 5% dari 40 anak terdaftar.” Setiap anak adalah berharga. Seorang GSM harus mencari domba yang hilang walau itu hanya satu. Maka kemudian mereka bergegas mengambil sepeda motornya menuju alamat rumah anak itu. Bila anak itu tidak ada di rumah, ia harus menyisir kawasan rumah itu untuk menemukannya. Ketika kembali ke Sekolah Minggu bisa saja pada sebuah sepeda motor bergelantungan 4 anak yang berteriak-teriak kesenangan. Ini kalau terlihat polantas pasti kena tilang karena main sirkus di jalan raya tidak pernah diijinkan.

 

Di PLSM yang menempati sebuah rumah sakit Kristen ini setiap GSM yang hadir harus siap Cerita. Tidak siap Cerita lebih baik membolos daripada kena marah ketua pos SM ini yang walau perempuan tapi galak banget. Bila sebuah kelas berisi 6 GSM, maka pada waktu acara Cerita, kelas ini akan dibagi menjadi 6 kelompok. Setiap guru menyampaikan Firman kepada 1 kelompok. Dengan demikian bisa saja sebuah kelompok berisi hanya 3 atau 5 anak. Mereka berpencar mencari tempat untuk penyampaian Firman. Ada yang duduk di tempat parkir, ada yang nangkring di pojok kantin. Dengan kelompok-kelompok kecil ini maka penyampaian Firman lebih efektif. Dan ini yang terpenting, setiap guru bisa lebih mengenal anak-anak asuhnya.

 

Dari PLSM inilah lahir istilah SAL – Sela AntarLagu yang kemudian dipopulerkan oleh Pdt. Paulus Lie dalam buku-buku Sekolah Minggunya, yang saat itu masih imut-imut dan aktif sebagai GSM di gereja kami.

 

Setelah mengadakan banyak perubahan dalam persekolahmingguan dan mendapat label otoriter, sok pintar, tidak punya kasih, orang jahat dalam gereja, saya mundur dari BPH dan mendirikan Seksi Bantuan Khusus. Apa kerjaannya? Mengerjakan apa saja yang tidak bisa dikerjakan oleh GSM. Gampangnya, seksi repot gitu lo. Jadi jika GSM butuh kacung atau babu, mereka akan menelepon seksi ini. Di sini konsep “melayani itu menghamba” coba dipraktekkan.

***

Jadi, whatever your first motivation when you were coming into Sunday School, ga usah malu. Saya yakin tidak lebih memalukan daripada motivasi awal saya. Yang penting, jujurlah kepada diri sendiri dan Tuhan. Lalu mintalah Ia memurnikannya untuk kelebaran Kerajaan Tuhan. Anda tahu mengapa seorang pendeta sangat dihormati? Karena ia mempunyai karunia mengajar, sebuah karunia yang disebut paling awal oleh Rasul Paulus dalam deretan karunia-karunia (1 Korintus 12). Saya yakin seorang GSM yang berkomitmen dengan pelayanannya selama bertahun-tahun memiliki karunia utama ini. Karunia mengajar, yang tidak dianugerahkan kepada setiap orang oleh Tuhan. Karena itu rawatlah karunia itu baik-baik agar tidak diambil kembali oleh Tuhan (Matius 25:26-29).

 

(selesai bagian ke-1 / firstly posted on 13.12.2008)

 

Bersukaduka bersama Sekolah Minggu

bag-1: Gadis kecil dalam peti mati.

bag-2: Jangan jadi guru Sekolah Minggu.

bag-3: Just a kid.

bag-4: SAL, sela antar lagu

bag-5: Bosan di Sekolah Minggu?

bag-6: Kertas jimat di depan mimbar

bag-7: Biarlah Allah bekerja

 

Motivasi awal saya ....

Dikirimkan oleh Love pada Sab, 2008-12-20 07:33

 

he he he kalau motivasi awal saya dulu adalah karena cari kesibukan. Abisnya lagi putus cinta .... kalau ditinggal ngelamun melulu malah jadi gila tar ha ha ha.  Jadi, sahabatku ngajak  pelayanan SM.  So, dari pada bete mikirin  si buaya darat, ya  udahlah aku ikutan  pelayanan SM aja. 

Pertama kali yg bikin  panik adalah tiba-tiba  GSM ada yang berhalangan datang, dan saya  didaulat  ngajar kelas kecil .... duhhhhhh  keringat dingin. 

Sejak saat itu saya  tidak lagi menjadikan  SM pelarian, tetapi  mencoba untuk  melihat bahwa saya ada di sini bukan karena kebetulan. Sedikit demi sedikit memperbarui motivasi untuk melayani anak-anak di SM ....