Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Ganjuran

victorc's picture
Shalom, selamat pagi saudaraku. Pagi ini kami merenungkan sebuah artikel dari Spirit Motivator untuk tgl 28 Februari 2017. Artikel itu ditulis oleh Petrus Kwik dan diberi judul: selera pasar.(4)
Artikel yang menarik ini diawali dengan diskusi tentang McDonald: "Di negara Barat, restoran cepat saji seperti McDonald tidak menjual nasi. Uniknya semua gerai McDonald di Indonesia selalu menyediakan nasi, bahkan nasi sudah menjadi menu utama. Mengapa? Orang Indonesia merasa belum makan jika belum makan nasi...Jika mau diterima pasar, suka atau tidak suka kita harus menyesuaikan diri dengan nilai dan budaya setempat."(4)
Sampai di sini saya sangat setuju, bahwa dalam menyampaikan berita keselamatan bagi seluruh makhluk, Gereja mesti belajar untuk lebih ramah lingkungan dan ramah budaya. Bukan sekadar "pokoke bener..."

Gereja Ganjuran
Kebetulan kemarin Rabu Abu (1/3/2017) kami berempat berkesempatan menonton sebuah film yang menarik berjudul: "Seeing Jesus in Javanese face" (melihat Yesus dalam wajah Jawa.) Acara ini diselenggarakan oleh Gambaroba, yaitu komunitas pencinta film di kota kami.
Film yang digarap dengan sangat apik oleh sutradara Antonius Janu ini berkisah seputar upaya inkulturasi yang dilakukan oleh Gereja Katolik di daerah Bantul, Jogjakarta, tepatnya di desa Sumbermulyo, yang juga dikenal sebagai Ganjuran. Agaknya film ini terinspirasi oleh artikel yang ditulis oleh Yunanto Wiji Utomo.(1)
Gereja Hati Kudus Yesus Ganjuran itu sendiri dirintis sejak 1924 oleh dua orang bersaudara yaitu Joseph Smutzer dan Julius Smutzer. Mereka juga mendirikan pabrik gula di desa tersebut, sehingga hampir semua penduduk desa menjadi karyawan di situ. Selain itu mereka juga mendirikan beberapa sekolah dan juga rumah sakit.(1)
Gereja tersebut lalu dibangun kembali sekitar tahun 2008 pasca gempa di Bantul tahun 2006, dengan ciri khas model joglo. Selain itu juga ada candi di samping gereja, namun dengan patung Yesus sebagai raja di puncak candi tersebut. Masyarakat desa tampaknya cukup antusias untuk bermeditasi atau sekadar mengunjungi candi tersebut.
Sebenarnya upaya menghadirkan sosok Yesus yang lebih "njawani" sudah cukup lama dilakukan oleh banyak misionaris. Memang biasanya para misionaris (zending) cenderung memberi kesan bahwa Yesus itu berhidung mancung, jangkung dan berasal dari Eropa...
Salah satu upaya konkrit inkulturasi yang patut dicatat adalah Kiai Sadrakh yang menggubah berbagai kidung, di antaranya adalah sbb:(3)

Teks Pangonga yen Badhe Nampeni Piwulang
(Dhandhanggula)

Dhuh Allah kang dados Rama mami, ingkang nlempakaken kita, Sing Gusti ulun margine, Putra Paduka Yesus, lamun amba pinuju sami, sumedya kekempalan, asegeta ulun, nganggep mring asma Paduka, myang kelamun Pangandikanya Hyang  Widhi, lagya kajarawakena...

Artinya:
Ya Allah Bapa kami, yang mengumpulkan kami, melalui Gusti Junjungan kami, yaitu Yesus Putera Paduka, kini hamba-hamba-Mu semua, bermaksud berkumpul beribadah, untuk memuji nama-Mu, dan sabda-sabda Hyang Widdhi, segera diterjemahkan...

Penutup
Demikianlah kiranya kita dapat sedikit belajar tentang bagaimana gereja dapat melakukan inkulturasi. Namun hal ini berbeda dengan upaya beberapa gereja (khususnya yang karismatik) yang berupaya ramah dengan selera pasar dalam artian mereka berusaha mengemas ibadah menjadi suatu bisnis pertunjukan (showbiz), lengkap dengan musik yang hingar bingar, tari-tarian, serta khotbah yang cenderung menonjolkan motivasi bisnis atau psikologi populer.
Kabarnya malah ada beberapa pendeta yang bukannya lulusan seminari, tapi eks-pialang saham. Lha kalau begini, lalu firman seperti apa yang ditaburkan? Bahkan yang lebih buruk, ada bioskop besar di kota Solo yang dibeli oleh suatu gereja, lalu ibadah diubah menjadi showbiz yang gaul dengan selera anak muda...malah boleh sambil makan camilan (!)
Semoga bukan ini yang dimaksud dengan "menjawab selera pasar" oleh Petrus Kwik.

Matius 15:9 (lihat juga Markus 7:7-8)
Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia." 

Bagaimana pendapat Anda?

Versi 1.0: 2 Maret 2017, pk. 10:42
VC

Referensi:
(1) https://www.yogyes.com/en/yogyakarta-tourism-object/pilgrimage-sites/ganjuran/
(2) Klaas Schilder. Christ and Culture. G van Rongen and W. Helder, 1977
(3) Bambang Noorsena. Menyongsong Sang Ratu Adil. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2003, hal. 252
(4) Petrus Kwik. Spirit Motivator. Edisi Februari 2017.
__________________

Dari seorang hamba Yesus Kristus (Lih. Lukas 17:10)

"we were born of the Light"

Prepare for the Second Coming of Jesus Christ:

http://bit.ly/ApocalypseTV

visit also:

http://sttsati.academia.edu/VChristianto


http://bit.ly/infobatique