Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Haruskah perempuan bekerja?

Inge Triastuti's picture

Jika tidak, lalu buat apa sekolah tinggi-tinggi? Memangnya gelar sarjana yang biayanya sekian puluh juta hanya untuk pajangan di surat undangan pernikahan saja? Bukankah saat ini di Indonesia hak-hak perempuan sudah hampir setara dengan pria? Presiden dan menteri sudah ada yang perempuan. Pendeta perempuan yang dulu untuk waktu lama diharamkan, sekarang sudah ada di setiap kota. Di tempat kerjaku, salesgirl juga sudah ada sejak 10 tahun yang lalu. Jangan membayangkan ia dikawal ketika melakukan pekerjaannya. Ia menyetir mobil sendiri di Jakarta tanpa membawa asisten. CEO wanita bisa ditemukan di banyak perusahaan besar.

Tetapi pertanyaan ini muncul dalam diri seorang perempuan ketika ia akan menikah. Betulkah suamiku nanti bisa menanggung sendiri biaya rumah tangga? Pertanyaan yang samar-samar terdengar dan mungkin terabaikan ini, akan bersuara lebih nyaring ketika kaki kecil calon anak pertamanya menendang-nendang dinding rahimnya. Jika selama ini ia tidak bekerja, pertanyaan ini datang dari kekuatiran apakah penghasilan suaminya bisa mencukupi biaya rumah tangganya yang pasti membesar setelah kelahiran anaknya. Sebaliknya bila ia sudah bekerja, pertanyaan ini datang dari kekuatiran akan pembentukan karakter anaknya di tangan inang pengasuh (pramusiwi).

Kepada para perempuan yang aku kenal benar, yang sebentar lagi akan menyelesaikan pendidikannya, entah di universitas atau di sekolah menengah kejuruan, aku selalu menganjurkan mereka untuk bekerja dulu 1½ sampai 2 tahun sebelum menikah. Apa alasannya?

1** Agar merasakan sendiri susah payahnya mencari uang. Dengan demikian apabila kelak tidak bekerja lagi, kita bisa menghargai setiap rupiah yang diberikan oleh suami. Kita tidak menjadi perempuan konsumtif yang membeli barang yang kita inginkan, bukan yang kita butuhkan. Kita akan membeli fungsinya, bukan prestisnya. Bila butuh mobil, dengan tulus kita bisa berkata, “Yang, beli yang bekas juga tidak mengapa. Yang penting bisa mengangkut kita sekeluarga.”

Dengan bekerja lebih dari 1 tahun, kita juga akan tahu tidak mudah untuk mendapatkan kenaikan gaji tahunan atau promosi jabatan. Kita tidak merendahkan suami dengan bertanya “Yang, apa kamu ini bodoh banget seh? Sepuluh tahun bekerja kok jabatanmu masih itu-itu saja.”

2** Agar mengenal budaya tempat kerja. Dengan demikian kita tidak mudah dibakar prasangka apabila suami pulang terlambat atau menerima telepon dari rekan kerjanya yang wanita. Kita juga bisa mengerti bila ia pulang kerja dengan wajah keruh atau ingin menyendiri. Kita tidak akan cepat ikut-ikutan marah bila mendadak saja ia meributkan hal-hal sepele yang terjadi di rumah.

3** Agar lebih mudah bekerja kembali. Biasanya seorang gadis lebih mudah mendapatkan pekerjaan perdananya daripada seorang perempuan yang baru saja menikah. Mengapa begitu? “Belum setahun bekerja, dia sudah ambil cuti hamil 3 bulan. Perusahaan ‘kan dirugikan. Belum lagi nanti ia akan banyak permisi karena bayinya kurang sehat,” begitulah alasan yang pernah saya dengar. Karena itu berusahalah mendapatkan pekerjaan sebelum menikah.

Lagipula bila kita harus berhenti bekerja karena punya baby, nanti kita tidak begitu sulit mencari pekerjaan lagi bila anak sudah bisa ditinggalkan. Alasan yang kita berikan kepada calon majikan mengapa kita berhenti bekerja dulu juga mudah diterima akal sehat. Nilai plus yang ada pada diri kita adalah motif kita bekerja adalah kita betul-betul butuh uang, kita sudah pernah bekerja sebelumnya, suami kita juga bekerja sehingga gaji kita berfungsi sebagai penunjang bukan yang utama (jadi ga akan rewel soal besarnya gaji, gitu).

4** Agar punya banyak teman yang bisa jadi penolongnya. Seorang tetanggaku yang setelah lulus PT langsung menikah pernah berkata kepadaku ketika aku akan berangkat kerja, “Kerja itu enak ya. Banyak teman. Dulu waktu saya kuliah teman saya banyak. Setelah menikah, saya kehilangan mereka. Maksud saya, kalau ketemu pembicaraan kita susah nyambung. Jika dia bicara soal pekerjaannya, saya hanya melongo karena tidak bisa menanggapi atau mengomentarinya. Kalau saya cerita tentang anak-anak saya, mereka tidak tertarik.”

Dengan adanya teman di dunia kerja, kelak bila kita mau bekerja lagi, mereka bisa mencarikan informasi lowongan pekerjaan. Karena itu walaupun sudah tidak bekerja lagi, berusahalah untuk tetap berhubungan dengan mantan rekan-rekan kita. Kalau ada yang ulang tahun, teleponlah (jangan SMS karena kesannya pelit) untuk memberinya “greeting” dan mengobrol ringan sebentar.

Siang itu seorang mantan rekan kerjaku yang keluar hampir setahun yang lalu, menelepon. “Ing, besok ‘kan hari Jum’at (Iya betul, karena sekarang hari Kamis). Besok aku mau masak sayur lodeh, belanak goreng dan sambal uleg. Itu ‘kan makanan favoritmu (Ulang tahunku masih 2 bulan lagi, ga usah repot-repot). Begini maksudku. Kamu kalau hari Jum’at ‘kan sering ga sempat makan siang di warung langgananmu yang jauh itu karena harus menghadiri Persekutuan Jum’at Siang bersama karyawan kantor-kantor tetangga (Abis, kalo di kantin perkantoran mana uang makanku cukup?). Besok aku bawakan satu porsi buat kamu (Memangnya suami kamu ulang tahun?). Nanti dulu, ada harganya. Tapi ga usah kuatir, jatah uang makan siangmu masih sisa seribu. Kamu tanyai teman-teman kalau mau titip sekalian. Tapi jangan banyak-banyak. Jangan lebih dari 10 porsi. Aku belum punya pembantu masak. Kalo ga ada yang pesan, jangan sungkan kasi tahu aku. Bagianmu tetap aku kirim besok siang. Sekalian aku mau ikutan PJS. Aku kangen ketemu teman-teman lama. Sekalian aku mau pamerin baby-ku sama kamu. Biar kamu iri. Hihihi.” Pintar ‘kan temanku ini. Aku tak tahu mana yang ada di prioritas pertamanya. Ikutan PJS atau launching katering minimalisnya. Whatever the first is, aku salut sama dia.

5** Agar tidak minder terhadap suami. Ini alasan yang paling bontot dan mudah-mudahan tidak ada dalam dirimu. Sering terjadi dalam perselisihan antara suami-isteri, sang isteri selalu mengalah walaupun tidak salah hanya karena merasa level-nya di bawah suaminya. Alasannya adalah ia tidak mau terjadi perceraian karena kuatir anaknya tidak berbapa lagi (Memangnya orang Kristen tidak boleh cerai?). Biar pun si suami sudah sangat keterlaluan dengan membawa pulang wil-nya untuk diperkenalkan kepadanya, ia tidak berani protes. Alasan sesungguhnya adalah bila sampai terjadi perceraian, siapakah yang akan menafkahi diriku dan anakku? Karena tidak pernah bekerja sebelumnya, ia kuatir tidak akan pernah berhasil mencari pekerjaan apalagi bila usianya sudah kepala tiga. Terlebih lagi bila suaminya selalu mengingatkan ketidakberdayaannya ini untuk menekannya. Yang bisa ia kerjakan tinggal menangisi harga dirinya yang setiap hari diinjak-injak suaminya.

Jika kita pernah bekerja, kita tidak minder terhadap suami karena bisa mengerti pembicaraannya tentang dunia kerja walaupun ia mempergunakan banyak istilah-istilah bisnis. Kita tidak bengong mendengar kata tingkat inflasi, be-e-pe, roi, roa, tax holiday, kompetensi, kompetisi, korporet, share holder, stack holder, ensoprot ensoprot. Kita juga bisa ikut membaca majalah dan jurnal ekonomi yang dibawanya pulang sehingga, siapa tahu, kita bisa ikutan membantunya memecahkan masalah kantor yang sedang dihadapinya. Bahkan ia akan merepotkan kita karena ingin selalu ditemani menghadiri acara-acara kumpul-kumpul yang diadakan oleh kantornya. Turutilah kemauannya. Ia ingin memamerkan istrinya kepada koleganya. Tentunya kesetaraan ini tidak boleh dipergunakan untuk “menantang perang” suami. Bagaimanapun ia adalah kepala keluarga yang harus kita hormati.

Sooooo, pertanyaan “haruskah perempuan bekerja” tidak lagi sulit dijawab bila kita sudah pernah bekerja. Kita bisa tidak bekerja lagi bila penghasilan suami cukup untuk penambahan 1 penduduk di rumah kita. Bila kita tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mengaktualisasi diri, ya teruslah bekerja asal kita yakin bisa mendapatkan pramusiwi yang berdedikasi tinggi yang berarti juga berhonor tinggi tanpa membuat kita dan suami menabung hutang di bank.

Saya kenal sebuah keluarga yang si suami karyawan gudang dan isterinya buruh pabrik garmen. Ketika anak pertamanya lahir mereka kebingungan karena tidak punya uang untuk menyewa pramusiwi. Kalau isteri berhenti bekerja, penghasilan suami tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga. E, dilalah kersane Allah (tak disangka atas kehendak Tuhan), seorang tetangganya yang sudah nenek dan hidup sendirian karena semua anak-anaknya sudah berkeluarga, jatuh cinta kepada si jabang bayi. Sebab, bayi ini jika sedang menangis akan menghentikan tangisnya bila digendongnya. Nenek ini malah minta bayi itu dititipkan kepadanya. Ortunya setiap hari juga “menitipi” nenek ini uang 10 ribu rupiah.

By the way, apa ada pembaca yang sudah nenek ingin bekerja kembali sebagai pramusiwi? Atau buka penitipan bayi? Pasti uang bukan lagi motif utamanya. Tetapi merasakan kembali kesukacitaan didekap erat oleh seorang bayi, menerima senyum si kecil yang tulus, merasakan kembali ibu jarinya digenggam erat seorang manusia baru yang tidak ingin ditinggal sendiri, adalah sesuatu yang tidak bisa dinilai dengan rupiah. Dorongan mengaktualisasi diri seorang perempuan tidak lenyap di usia senja. Menyadari kehadiran diri masih dibutuhkan oleh seseorang, walaupun oleh seorang bayi, adalah bagai mengecap setetes kebahagiaan surgawi. It’s so amazing. ***

Love's picture

pekerjaan perempuan

Saya senang sekali baca blog-blog Mbak Inge :) Setelah lulus kuliah saya langsung bekerja, dan saat ini masih bekerja di tempat yang sama, telah masuk tahun ke tujuh. Di tahun ke enam saya bekerja, saya hamil. Waktu hamil dulu, rencananya setelah melahirkan, anak akan dititipkan kepada orang tua dan saya akan tetap bekerja. Tetapi sekarang, pandangan saya berubah. Saya akan berhenti bekerja dari kantor dan merawat anak saya sepenuh waktu. Bukan karena pada akhirnya saya kehilangan anak-anak saya, tetapi melihat fenomena saat ini. Di era yang semakin "gila" ini, justru kehadiran orang tua dalam masa pertumbuhan dan perkembangan anak sangat diperlukan. Banyak kasus yang terjadi dengan anak yang kedua orang tuanya bekerja penuh waktu. Saya akan memilih pekerjaan yang bisa saya lakukan di rumah, seperti menulis misalnya. Dengan itu, selain bisa membantu suami dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, saya pun bisa tetap dekat dengan anak. Bonusnya lagi, dengan menulis berarti saya terus dapat mengaktifkan otak dan mengaktualisasikan diri :) Tetapi jika toh nantinya saya tidak diberi anak oleh Tuhan, maka saya akan terus bekerja di kantor, bahkan di rumah juga :) Tapi, itu semua rencana saya saat ini, dan juga doa saya. Apakah nantinya akan jadi seperti itu, saya juga tidak tahu .... Kalau saya diminta menjawab pertanyaan, haruskah perempuan -- khususnya yang telah memiliki anak -- bekerja? Jawaban saya adalah, harus! Tetapi tidak harus di kantoran atau di pabrik, bukan?