Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

KAMU BOLEH CEMBERUT

clara_anita's picture

“Senyum, dong! Cemberut terus nanti cepet tua!” Demikian saya menggoda seorang teman.  Godaan yang biasa terlontar, dan sudah dianggap biasa pula. Sekedar lip service. Basa-basi yang saya gunakan untuk mencoba memahami apa yang meresahkannya hari itu. Ia pun tersenyum mendengar terguran ringan saya. Namun, ketika saya melihat senyumnya –yang tentu saja palsu – saya ingin memaki diri saya. Alangkah tak berperasaannya meminta seseorang untuk berpura-pura bahagia ketika dia jelas-jelas terluka.

“Lagi nggak bisa senyum ya? ” begitu tanyaku menutupi kegusaranku.

“Lho. Ini aku senyum buatmu,” jawabnya sambil kembali memamerkan sederatan giginya. Ah, sebuah senyum palsu.

“Maksudku senyum yang asli. Yang biasanya itu lho. Eh, tapi kamu tetap cantik kok biar cemberut,” jawabku ringan.

***

Bisakah kita duduk di atas dua kursi sekaligus? Bisa. Namun tentu tak nyaman.
Bisakah kita tampak bahagia ketika duka jelas-jelas sedang bercokol? Bisa, namun menipu diri pun tak akan nyaman. Memang, kewaspadaan dan kejujuran atas perasaan-perasaan sendiri itulah yang terasa nyaman dilakoni.

Sayang. Kita hidup di tengah dunia yang seringkali menuntut kita tampak sempurna, bahagia – dan penuh senyum. Senyum ala iklan pasta gigi itu diharap selalu ada setiap pagi ketika kita menyapa tetangga, memberi salam pada rekan kerja atau belajar, bahkan hingga hal-hal kecil seperti sekedar berbelanja di warung. Senyum yang juga mendominasi pose-pose foto santai hingga pas foto KTP dan SIM. Senyum yang harus ada tak peduli apa pun suasana hati; pokoknya harus senyum. Seolah, dunia memang tak mengijinkan kita menangis, ataupun marah – kecuali di adegan sinetron-sinetron yang selalu saja menjual air mata.

Ketika senyum itu diharuskan, yang muncul adalah senyum palsu yang sebatas lengkungan bibir saja. Padahal, senyum yang sejati harusnya adalah ekspresi hati yang terdalam; bukan sekedar ekspresi wajah yang seringkali palsu. Tapi toh dunia kerap kali tak peduli ekspresi apa yang diwakili senyum itu. Ia hanya sekedar lips service. Basa-basi. Tak perlu benar-benar asli.

Lalu, bolehkan kita kecewa, marah, dan sedih bahkan kepada Tuhan sekalipun? Boleh. Saya yakin IA tidak suka kepura-puraan. Buat apa pura-pura bahagia ketika hati remuk redam? IA bukan Bapa yang ABS – Asal Bapak Senang—yang hanya mau melihat hal-hal yang indah saja. Ia justru terang-terangan mengatakan, ”Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu Mat 11:28” Yang layu dan lunglai tanpa seulas senyum pun akan selalu diterimaNya.”Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya.(Mat 12:20)”

Sedih itu ternyata boleh. Marah pun boleh. Namun bagaimana kita mengekspresikan kesedihan itulah yang selayaknya tidak membuat orang lain justru sedih ataupun marah atas cara kita. Bicara saja padaNya yang melihat ke dalam hati bukan hanya sebatas wajah. Niscaya, ketika IA telah memberikan kelegaan, senyum itu tak akan lagi palsu meskipun badai masih menderu.

***
 Saya tak berani bertanya lebih lanjut apa yang sedang meresahkannya. Bila ia mau tentu ia akan menceritakannya kelak. Tak perlu dipaksa.

”Hey, kamu tuh selalu cantik buatku. Mau marah, mau nangis, mau apaaaa aja... kamu tetep cantik,” kataku genit. Menggodanya.

”Hi..  nggilani. Aku masih normal. Santai teman...,” jawabnya sambil tertawa kecil. Kali ini tidak palsu. Sedikit geli mendengarku bicara layaknya pada pacar.

”Yakin?” tanyaku menggoda. Tentu saja kami sama-sama bukan penyuka sesama jenis. Dan tentu saja dia tahu aku hanya sekedar menggoda untuk sekedar membuatnya melihat mentari yang tersenyum buatnya pagi itu.