Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

KARENA TERLALU PINTAR?

anakpatirsa's picture

Ia muncul entah darimana. Mungkin dulu bumi menelannya dan sekarang ia memuntahkannya -- seperti kata ungkapan, Lenyap bagai ditelan bumi; muncul bagai dimuntahkan bumi. Tiada angin tiada hujan, tiba-tiba saja ia muncul di depan rumah anaknya. Membuat heboh bukan saja anak istri, tetapi juga orang sekampung.

"Ayahnya Duhung pulang," kata Deni, adik perempuanku, sambil masuk ke rumah. Tiada angin tiada hujan, entah darimana ia mendapat kabarnya. Bukan dia sumber berita di rumah ini. Mungkin kali ini hanya kebetulan lagi main bersama anak-anak perempuan di sudut jalan.

Ayahnya Duhung? Membuatku sadar kalau Uncil, teman sepermainan itu seharusnya memang punya ayah.

“Tidak mungkin,” kata kakek.

"Jangan macam-macam," bentak ibu.

Tetapi akhirnya semua orang percaya. Orang sekampung datang melihatnya. Bukan karena merindukannya atau karena ingin menghakiminya. Bukan! Dari ujung kampung ke ujung kampung, cerita itu beredar. Bapaknya si Duhung sekarang sudah cas cis cus bahasa Inggris. Membuat orang penasaran, mungkinkah selama ini ia pergi ke luar negeri dan sekarang, setelah sekian lama, sudah tidak bisa bahasa kami lagi?

Bapaknya Si Duhung, orang tua memang dipanggil berdasarkan nama anak tertua. Ia bapaknya Si Duhung, dipanggil Pa' Duhung. Aku tidak terlalu mengenal Duhung, anak tertua. Selisih usia kami terlalu jauh, Duhung sudah bisa berenang saat aku baru lahir. Adik bungsunya, Uncil, itu baru teman sepermainan. Tidak pernah aku bertanya-tanya siapa bapaknya Si Uncil. Bahkan tidak pernah terlintas sedikitpun apakah ayahnya masih hidup atau tidak. Urusanku dengan Uncil hanyalah sebatas apakah ia mau kuajak bermain, atau sebaliknya. Tidak pernah aku bertanya-tanya, mengapa ayahnya tidak pernah kelihatan. Mungkin karena aku tidak butuh ayahnya untuk menemaniku bermain.

Jadi wajar kalau aku kaget mendengar Uncil punya ayah. Saat mendengar ayahnya datang, tidak ada yang sempat mencegahku menuruni ketujuh anak tangga itu dalam tiga lompatan.

Aku bukan yang pertama sampai disana. Rumah itu hanya tiga rumah dari rumah kami -- Tiga rumah jarak kampung, bukan tiga rumah jarak kota. Sudah banyak yang berkumpul di halaman tanpa pagar itu, orang-orang yang tidak mendapat kesempatan ikut berjejel di depan pintu. Entah berapa yang sudah berhasil masuk ke dalam rumah panggung berbentuk aneh itu. Rumah lain berbentuk panggung memanjang ke belakang, rumah ini berbentuk kotak. Tidak ada terasnya, dan tangganya seperti undukan, bukan tangga bertiang seperti rumah kami.  Sama sekali tidak ada tempat kosong di atas tangga ulin itu, tetapi aku ikut menjejelkan tubuh kecilku di situ. Aku juga ingin melihat seperti apa sih bapaknya si Uncil.

Betapa sulitnya menaiki tangga ini, padahal baru dua hari lalu kakakku mengadu karena melihat aku dan adikku main kejar-kejaran sampai ke rumah ini. Dein mengejarku, dan aku melarikan diri melewati tangga ini dengan kecepatan kilat lalu dalam hitungan detik sudah keluar dengan meloncati tangga dapur.

"Pantas teman-teman kalian berani berlari masuk rumah kita, lalu keluar dari pintu dapur tanpa mengucapkan sepatah katapun," kata ibu waktu itu, "kalian berdua yang memulainya."

Terdengar cas cis cus yang tidak jelas, entah apa yang ayahnya Uncil ucapkan.

"Hei panggil ayah kamu," kata ayahnya Ican, ketua RT kami. Ia melihat sebuah kepala kecil nongol di antara pinggang orang dewasa yang saling berjejal di depan pintu.

"Ya," kata ayahnya si Lali yang ikut menoleh ke arah pintu, "biar ayahmu bahasa Inggris dengannya."

Aku terpaksa mundur, tetapi sekarang semua orang langsung menyingkir memberiku jalan.  Tidak perlu aku pulang ke rumah. Tampak ayah sudah di jalan sambil menggandeng tangan adikku. Kulihat kakek berdiri di teras. Ia pasti penasaran juga, tetapi sifatnya memang aneh. Tidak bakalan ia mau ikut melihat jika belum yakin bapaknya si Uncil benar-benar ada. Ia akan menunggu sampai ayah pulang dan berkata Pa' Duhung benar-benar sudah pulang.

Orang menyemangati ayah. Tidak tahu aku apakah bangga atau malu saat itu. Mengingatnya lagi sekarang, aku mulai bertanya-tanya apakah ayah memang benar-benar sepintar yang orang katakan. Ini sebuah kampung kecil, baru ada SMP, beberapa orang mempercayakan pelajaran bahasa Inggris kepada ayah. Ini sebuah kampung kecil di tahun 80-an akhir yang menganggap orang yang bisa bahasa Inggris itu pintar.

Tetapi aku ikut menggunakan kesempatan ini. Aku ikut masuk dan berjalan di belakang ayah. Semua orang menyingkir memberi kami jalan.

Hau, Nak!” kata ayah begitu menyadari ada anaknya yang lain yang ikut duduk di sampingnya.

Tidak tahu aku apa yang mereka bicarakan. Ayah berbicara dengan suara yang aneh. Lawan bicaranya membalas dengan cas cis cus yang makin cepat, setengah berteriak. Lalu entah mengapa, tiba-tiba ia bangkit dan berteriak-teriak seolah-olah mau menyerang kami. Beberapa orang segera memegang tubuhnya.

"Ia gila," kata ayah.

Tetapi orang benar-benar yakin ia gila setelah sampai tengah malam, cas cis cus itu tidak berhenti. Tadi sore semua orang mengira ia terlalu lama di luar negeri sehingga lupa bahasa daerah. Setelah kejadian penyerangan itu, orang mulai ragu. Tetapi baru setelah tengah malam, orang benar-benar yakin, bapaknya si Duhung memang gila.

Besoknya, beredarlah kabar, bapaknya si Uncil sangat pintar dulunya. Sekarang ia gila karena terlalu banyak belajar.  Sekarang ia bisa bahasa Inggris, tetapi karena terlalu banyak menghafal kata, otaknya jadi gila. Lalu beberapa hari kemudian, aku ikut menonton orang memotong sebuah balok ulin, lalu menakik bagian tengahnya.  Ketika kedua balok itu disatukan, ada lubang bundar di tengahnya.

Hari itu aku belajar kata baru, pasung.

Ayahnya si Duhung gila karena terlalu pintar, itu kata orang. Tetapi ada cerita lain. Tidak semua orang boleh mendengarnya. Hanya sedikit yang tahu, akupun seharusnya tidak boleh mendengarnya.  Mereka tidak mengira, anak kecil yang sibuk membongkar radio rusak yang ia temukan di loteng itu punya masalah dengan inderanya. Semua yang ia dengar dan lihat, masuk begitu saja tanpa ia sadari, semuanya tersimpan secara otomatis.

***

Tamu itu bercerita, sepuluh tahun lalu, Pa' Duhung pergi bersama wanita lain. Kawin lari, katanya. Jarang aku mendengar cerita seperti ini. Seringnya mendengar cerita orang utan membawa lari istri orang. Suatu hari, menurut sebuah cerita, seorang pemburu melihat wanita itu duduk berduaan di atas pohon bersama seekor orang utan. Iapun berlari pulang memberitahukan orang sekampung. Semua orang lalu pergi membawa berbagai macam senjata. Sayang orang utannya lagi pergi, meninggalkan wanita itu sendirian di atas pohon. Sang suami berteriak, meminta istrinya turun.

“Turun sayang,” teriaknya dari bawah.

Istrinya berteriak juga, menjawab, “Tidak mau. Aku lebih suka tinggal di sini,”

“Mengapa kamu tidak mau pulang, sayang?” tanya sang suami.

“Karena di rumah ibumu galak.”

Ini hanya cerita, kampungku punya banyak cerita. Bermainlah ke rumah teman yang ada neneknya, maka Kau akan mendengar banyak cerita.

"Ia pergi waktu anak bungsunya masih bayi," kata tamu kakek, membuatku melupakan si orang utan. Anak bungsu yang ia maksud pasti si Uncil. "Kakakku tidak terima. Ia sakit hati. Kami sudah memperingatkannya jangan main dukun, tetapi ia tidak mau mendengarkan."

Kakek hanya diam, ia memang seorang kakek pendiam bagi yang belum begitu mengenalnya. Ia banyak diam kalau ada tamu, tetapi kalau tamu itu seumuran dengannya, terutama bekas teman sepermainan, ia lupa makan.

"Kakak terlalu sakit hati. Ia sebenarnya tidak mau suaminya kembali," lanjut pamannya si Uncil, "kakak hanya ingin suaminya menjadi gila. Hatinya benar-benar membara dengan dendam dan cemburu."

Hari itu, waktu membongkar radio tua, aku belajar kata baru. ‘Dendam membara’ dan ‘cemburu’. Kata ‘dendam membara’ itu akhirnya menjadi akrab di telinga setelah menonton film silat.

Tamu kakek melanjutkan ceritanya. Setelah mendatangi dukun, tidak ada kabar berita tentang suami kakaknya. Tidak ada yang tahu dimana ia berada, tetapi kehidupan tetap berjalan terus dan Uncil tumbuh tanpa ayah. Ketika beberapa minggu lalu suaminya datang, kakaknya ini bersembunyi di rumah tetangga. Tidak mau melihat suaminya, lelaki ini baginya sudah mati. Sama sekali tidak tahu ia kalau suaminya sudah gila.

"Kakak tidak tahu santetnya itu ampuh," lanjutnya, "kami juga sama sekali tidak menyangga akibatnya seperti ini. Suaminya gila, tetapi sekarang kakak sendiri yang kena batunya. Kami harus menanggung orang gila. Sekarang kami sedang mencari orang pintar yang bisa membatalkan santet itu."

Lalu ia melanjutkan dengan suara yang sedikit aneh, "Orang yang dulu melakukannya sudah mati."

Setengah berbisik ia bertanya apakah kakek mengenal orang yang bisa mengalahkan santet seperti itu. Menambahkan, betapa baiknya jika kakek sendiri yang bisa mengalahkan santet itu, karena ada yang bercerita kalau kakek sakti.

“Aku tidak bisa melakukan apa-apa,“ jawab kakek. “Jangan percaya kalau ada orang bilang aku ini bisa mengalahkan santet. Apalagi kalau ada orang berkata aku ini sakti.”

Sebelum pulang, pamannya Uncil berpesan, biarlah rahasia itu dipegang. Kakek menjawab, dirinya bisa dipercaya, ia tidak akan bercerita kepada siapapun.

Sayang orang itu tidak melirik anak kecil yang sedang membongkar radio tua rusak itu. Anak kecil itu juga sebenarnya tidak pernah bercerita pada teman-temannya. Tetapi beberapa hari kemudian, adik lelakinya masuk ke rumah sambil berlari, berkata, “Ayahnya si Uncil tidak gila karena pintar.”

"Jangan macam-macam," kata kakek kepadanya. Tetapi ia menambahkan, "tidak ada orang yang bisa gila karena terlalu pintar."

Ternyata itu bukan rahasia lagi. Semua orang sudah tahu rahasia itu. Bahkan adikku mendapat cerita, bapaknya si Uncil tidak muncul begitu saja. Ada orang tidak dikenal yang mengantarkannya melalui jalan setapak yang menuju sungai. Orang itu langsung pergi setelah meninggalkan ayahnya si Uncil tangga teras dapur.

Empat tahun kemudian, suatu malam, orang yang heran karena tidak mendengar Pa’ Duhung ber cas cis cus menemukannya meninggal di pasungan.

kardi's picture

@AP ceritanya memikat,

Wah ruarr biasa, cerita yang menyentuh kalbu, karena dendam membara, membuat suaminya merana dan akhirnya mati di pasungan. Apa yang ditabur, itu yang dituai. Saya dapat mengambil hikmahnya dari cerita itu (fiktif apa kenyataan?), yaitu janganlah menyakiti insan yang lemah(istri) tapi hormati dan hargai dia sebagai teman pewaris kasih karunia. Dalamnya laut dapat diduga, dalamnya hati perempuan (istri) siapa yang tahu.Bangunlah keluarga dengan dasar kasih Kristus, yang mau menerima segala kekurangan dan kelebihan pasangannya.

anakpatirsa's picture

Tagging

Terima kasih kawan.

Melalui PM, beberapa blogger menanyakan apakah cerita-cerita itu fiktif atau kenyataan.

Cerita apapun yang tidak saya beri tagging cerpen atau cerita adalah cerita yang saya alami sendiri. Seringkali, di bagian akhir, saya mengatakan cerita mana yang fiksi dan sudah saya tambah-tambahkan.

Akhir-akhir ini, saya menulis cerita yang saya alami sendiri di masa kecil dengan tagging cerita nostalgia