Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kasih membuat kita bersedia diinterupsi

andryhart's picture

Salah satu hal yang paling tidak disukai dokter adalah interupsi. Ketika
sedang sibuk memeriksa pasien di klinik dan tiba-tiba handphone berbunyi untuk
memberitahukan adanya pasien baru di bangsal yang menghendaki kehadiran dokter
dengan segera, maka biasanya dokter yang sibuk akan menolak permintaan itu dengan mengatakan “Saya akan visite nanti setelah semua pasien
di klinik selesai saya periksa.
Pasien
atau keuarganya yang tidak mau tahu akan kesibukan dokter sering
marah-marah dan akhirnya timbul permasalahan di rumah sakit.

Ada seorang pasien stroke
dengan gangguan napas berat yang salah seorang anaknya merupakan tokoh penting.
Pasien tersebut sebetulnya sudah diperiksa oleh dokter spesialis saraf ketika
akan masuk ruangan (kamar tempat dia dirawat). Namun, anaknya tetap menuntut
kehadiran dokter spesialis paru untuk segera menangangi gangguan napasnya.
Padahal saat itu sore hari ketika para dokter spesialis sedang sibuk dengan
praktek kliniknya masing-masing. Ketika perawat memberitahukan bahwa dokter
spesialis paru tidak bisa segera datang memeriksa ayahnya, tokoh penting
tersebut marah-marah dan mengancam akan menuntut dokter dan rumah sakit apabila
ayahnya meninggal karena gangguan napas yang tidak ditangani. Padahal gangguan
napas itu sudah ditangani dengan pemberian oksigen dan obat-obatan yang
diinstruksikan oleh dokter spesialis paru lewat telepon. Namun, keluarga pasien
menghendaki kehadiran dokter itu sendiri.

Semua
kejadian di atas mungkin pernah kita alami ketika menjadi pasien atau
menemani seseorang sebagai pasien yang memerlukan pertolongan medis
segera. Tetapi, apa yang dilakukan Yesus ketika ada orang yang meminta
pertolongan-Nya? Mari kita lihat sendiri.

Dalam Injil diceritakan bahwa Yesus bersedia diinterupsi sekalipun dia tengah sibuk mengikuti jadwal kerjanya.
Dalam Markus 1:21-28 dikisahkan bahwa pada saat Yesus sedang berbicara dalam
rumah ibadat dan membuat takjub orang-orang yang mendengar-Nya, tiba-tiba ada
orang yang kemasukan roh jahat menginterupsi-Nya. Bayangkan Yesus diinterupsi
oleh orang gila yang seharusnya bisa dicegah oleh murid-murid Yesus untuk tidak
masuk ke rumah ibadat itu. Namun, Yesus mau berhenti berkhotbah dan menangani
kasus ini secara efektif dengan mengusir roh jahat dalam tubuh orang itu. Semua
orang yang hadir di sana merasa kagum kepada kemampuan Yesus.

Dalam Markus 5:21-43, Yesus sekali lagi tidak
menunjukkan kemarahan-Nya ketika diinterupsi. Pertama-tama, Dia diinterupsi
oleh wanita yang menderita perdarahan dan menjamah jubah Yesus. Kemudian Dia
juga diinterupsi oleh orang dalam rumah ibadat yang berkata kepada Yairus yang
mengundang Yesus untuk menyembuhkan anak perempuannya dengan perkataan, “Anakmu sudah mati, apa perlunya lagi engkau
menyusah-nyusahkan Guru?
” Yesus bukan hanya diinterupsi tetapi juga
diragukan kemampuan-Nya dalam menyembuhkan orang. Bahkan mereka
menertawakan-Nya ketika Yesus mengatakan, “Mengapa
kamu ribut dan menangis? Anak ini tidak mati tetapi tidur!

Ketika menuju Yerusalem untuk perayaan bangsa
Yahudi—sebuah perjalanan yang sudah lama dijadwalkan dan dinantikan—Yesus juga
bersedia diinterupsi dengan singgah pada kolam Betesda untuk menyembuhkan orang
sakit sebagaimana dikisahkan dalam Yohanes 5:1-9.

Dari
semua kisah ini terlihat
betapa besarnya perbedaan antara Yesus dan dokter di zaman modern
ini. Sebenarnya dokter harus membiarkan dirinya diinterupsi jika
persoalan
yang harus ditangani di tempat lain itu sungguh-sungguh mendesak.
Apalagi bila
klinik tempatnya berpraktik berada dalam satu rumah sakit tempat pasien
kritis
membutuhkan pertolongannya. Interupsi pada saat seorang dokter bekerja
dapat
ditolerir karena ketidaksediaan dokter untuk diinterupsi kadang-kadang
membawa
akibat yang tidak dikehendaki seperti tuntutan hukum.

__________________

andryhart