Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

KAU lah segalanya bagiku.

Purnomo's picture

Sebenarnya apa sih perlunya Tuhan menyuruh kita memberi persembahan persepuluhan (selanjutnya disingkat ppsp)? Tuhan itu Mahakaya. Tidak benar seorang konglomerat minta uang dari pemulung sampah yang miskin.

 
Dulu lebih dari 600.000 keluarga Israel merantau antara Mesir dan Kanaan selama 40 tahun (Keluaran 12:37, 16:35). Setiap pagi kepada setiap keluarga Tuhan membagi gratis manna dan sorenya burung puyuh. Organisasi mana yang mampu beramal kepada lebih dari 2 juta orang (ada yang bilang 3.5 juta orang) ini selama 40 tahun? Jika Indonesia berpenduduk 200 juta orang, maka dana setara ini bisa menghidupi seluruh penduduknya selama 146 hari, hampir 5 bulan! Jika kota Anda berpenduduk setengah juta orang, maka dana sebesar ini bisa untuk menghidupinya selama 160 tahun! Satu kota selama 4 generasi!
 
Jika sekarang 1 gomer (kira-kira 3.6 liter) manna dan daging burung puyuh itu harganya setara 5 kg beras @ Rp.5.000 = 25 ribu rupiah, berarti setiap keluarga menerima bantuan senilai 750 ribu rupiah setiap bulan. BLT jauh di bawahnya. Jika selama 40 tahun itu tidak ada penambahan jumlah keluarga, biaya hidup mereka adalah 600.000 kk x Rp.750.000 x 12 bulan x 40 tahun = Rp. 216.000 milyar.
 
Bila kemudian setelah bangsa ini tiba di Tanah Kanaan, Tuhan meminta ppsp dari mereka yang telah diberi makan gratis selama itu apakah Ia ingin investasinya kembali? Dalam ilmu matematika kita belajar bahwa sebuah bilangan bila ditambahkan ke bilangan yang tak terhingga tak akan menambah apa pun kepadanya. Permukaan air laut tidak akan bertambah tinggi apabila kita tambahi air 1 jirigen. Jadi, Allah tidak akan bertambah kaya dengan ppsp kita. Lalu buat apa kemudian Tuhan repot-repot membuat SK tentang ppsp?
 
Tiga proposal penguasa dunia
Sewaktu Israel berjuang meninggalkan negeri perbudakan, penguasa dunia memberi sebuah tawaran, “Pergilah menyembah Tuhan Allahmu, tetapi jangan pergi jauh dariku” [Keluaran 8:28]. Tawaran kepada kita untuk “sembahlah Tuhan Allahmu, tetapi tetaplah tinggal di negeri perbudakan” dengan mudah kita tolak. Kita tak mau memegang Firman Tuhan di tangan kanan, sementara tangan kiri tetap menggenggam astrologi, rajah tangan, teluh, santet, pesugihan.
 
Penguasa dunia menawarkan proposal kedua, “Pergilah menyembah Tuhan Allahmu, tetapi jangan membawa anggota keluargamu” [Keluaran 10:9-11]. Mana tega melihat ayah, ibu, adik, abang tetap tinggal di negeri kegelapan sementara kita bahagia menikmati terang kasih Tuhan? Mana enaknya pergi ke gereja sendirian?
 
Muncullah proposal ketiga, “Pergilah menyembah Tuhan Allahmu beserta dengan seluruh keluargamu, tetapi jangan bawa harta bendamu” [Keluaran 10:24].Nah, ini baru proposal paten. Apa enaknya bawa dompet tebal ke gereja? Apa gunanya membawa harta benda dalam menyembah Allah? Urusan mencari uang lebih baik tidak dihubung-hubungkan dengan 1001 undang-undang dalam Alkitab. Repot! Uang dan Tuhan harus dipisahkan. Karena itu sangatlah manusiawi meninggalkan harta di rumah ketika kita masuk ke dalam Gereja, dan meninggalkan Tuhan di dalam Gereja ketika kita pergi mencari harta.
 
Keteguhan hati bangsa Israel untuk pergi menyembah Tuhan Allah beserta dengan semua hartanya akhirnya membuat penguasa dunia menyerah. Bahkan Tuhan “membuka tingkap-tingkap langit” dengan membuat penduduk Mesir juga memberikan sebagian harta mereka kepada bangsa ini [Keluaran 12:36]. Namun kemudian Tuhan menunjukkan nilai sesungguhnya harta itu dalam kehidupan mereka. Mereka tidak bisa mempergunakan harta itu untuk membeli makanan. Mana ada supermall di padang gurun yang siap melayani 2 juta orang sekaligus? Di Amerika saja belum ada. Mereka harus bergantung kepada belas kasihan Tuhan.
 
Sering orang mengira uang yang telah ada di rekening bank atas namanya; tanah yang disetripikat dengan namanya; kendaraan yang BPKB-nya mencantumkan namanya mutlak menjadi miliknya dan tak ada yang bisa menggugatnya. Sepuluh prosen buat Tuhan, 90% mutlak milik saya. Keserakahan manusia atas harta telah membuatnya lupa bahwa Tuhan punya hak atas seluruh kekayaannya itu. Bahkan rasa aman yang timbul karena besarnya tabungan bisa membuat kita menyepelekan kemahakuasaan Allah. Kita menepuk dada dan berkata: “Hai jiwaku, tenang dan damailah. Aku sudah punya beberapa perusahaan. Aku sudah menanam deposito di bank luar negeri yang tak terjamah inflasi. Mari berpesta, mari berdansa” [adaptasi Lukas 12:19].
 
Kapan-kapan datanglah ke rumah sakit dan pasanglah telinga. There are some things that money cannot buy! Jika Tuhan menjentikkan jarinya sehingga kita harus rajin mencuci darah, masih bisakah kita menepuk-nepuk surat deposito dollar kita? Jika sel-sel tumor mendirikan kondominium di otak kita, masih terasa nyamankah mobil BMW kita ? Bila seisi rumah sudah tak lagi bertegur sapa, masih terasa teduhkah rumah kita yang bernilai 1 milyar rupiah? Banyak orang menangis di atas tumpukan hartanya.
 
Karena itu perintah ppsp diturunkan untuk mengajar umat-Nya untuk menjadi tuan, bukan budak atas hartanya. Untuk mengingatkan umat-Nya agar selalu bersandar kepada Allah, bukan kepada hartanya.
 
Menguji diri sendiri
Siapakah aku ini dan siapakah bangsaku, sehingga kami mampu memberikan persembahan sukarela seperti ini? Sebab dari pada-Mu sendirilah persembahan yang kami berikan kepada-Mu,” kata Daud menjelang akhir hidupnya (1 Tawarikh 29:14) “Ya Tuhan, Allah kami, segala kelimpahan bahan-bahan yang kami sediakan ini untuk mendirikan bagi-Mu rumah bagi nama-Mu yang kudus adalah dari tangan-Mu sendiri dan punya-Mulah segala-galanya. Aku tahu, ya Allahku, bahwa Engkau adalah penguji hati dan berkenan kepada keikhlasan, maka akupun mempersembahkan semuanya itu dengan sukarela dan tulus ikhlas.”
 
Ujian hati dan keikhlasan adalah dua hal yang menjadi dasar utama dari persembahan. Memberi persembahan adalah sama halnya dengan menguji diri sendiri untuk melihat di manakah kita memposisikan Tuhan dan harta. Apakah letak Tuhan di atas harta, atau sebaliknya, atau sama tingginya?
 
Suatu ketika tim pelawatan jemaat lanjut usia meminta saya ke rumah seorang wanita miskin. Perempuan ini tinggal dengan suaminya yang baru saja sembuh dari stroke. Atap rumahnya bocor. Perempuan ini menyuruh suaminya naik ke genteng, tetapi suaminya tidak berani karena ia tidak lagi sekuat dulu ketika masih belum sakit. Karena atapnya rendah saya bisa jelas melihat talang sengnya sudah banyak berkarat sehingga bocor. Bila talang itu saya ganti dengan karpet talang sepanjang 4 meter, saya taksir biaya perbaikannya tidak lebih dari 125 ribu rupiah. Saya bertanya kepada mereka, “Sebetulnya, talang ini belum diperbaiki karena Bapak-Ibu belum punya uang, atau belum bisa mencari tukang?” Setelah agak lama mereka terdiam, baru perempuan itu menjawab, “Kami tidak punya uang.” Sekarang gantian saya yang terdiam. Mengapa?
 
Karena sebelum berangkat saya telah meneliti data diri mereka di komputer gereja. Saya ketik nama jemaat ini ke komputer untuk melihat apakah ia masih terdaftar sebagai anggota gereja kami. Ini untuk menghindari “benturan” dengan gereja lain. Begitu nama ini dimasukkan, layar monitor otomatis memunculkan nama dan alamat lengkapnya, tanggal lahirnya, kapan ia dibaptis, siapa nama ortunya dan nomor induk anggotanya yang ternyata masih aktip. Juga ditayangkan jumlah kehadirannya di kebaktian Perjamuan Kudus selama 4 tahun terakhir. Dia tidak pernah membolos. Saya klik ikon Persembahan Bulanan. Deretan angka yang dimunculkan komputer inilah yang membuat saya bengong ketika ia berkata “kami tidak punya uang”.
 
Jemaat miskin yang pekerjaannya berjualan mi dengan gerobak dorong ini selama 2 tahun terakhir selalu memberikan persembahan bulanan di atas 100 ribu rupiah! Kalau ia mau “memarkirkan”nya satu kali saja, pasti ia tidak perlu repot membariskan ember bodol di bawah talang rumahnya. Tentu saja ide “efisiensi tingkat tinggi” ini hanya dalam benak saya. Saya tidak berani mengucapkannya kepada orang yang menempatkan Tuhannya di atas kenyamanan hidupnya. Bagi mereka, Tuhan adalah segalanya dan patut didahulukan dalam segala hal.
 
Taat sampai mati
Mudahkah mengembalikan sebagian yang telah kita terima dari Tuhan apabila kita masih membutuhkannya? Alkitab tidak menulis pergolakan batin Abraham ketika Tuhan memintanya mengorbankan Ishak anaknya. Mudahkah Abraham mentaati perintah ini? Anak yang puluhan tahun didambakan, dimintanya dalam doa berkepanjangan, ketika telah lahir, disayang dan menjadi harapan masa depannya, mendadak Tuhan meminta ia menyembelihnya sebagai korban persembahan. Abraham tidak menceritakan perintah ini kepada pembantunya atau pun Ishak. Pasti ia tidak mau orang mengejek Allahnya sementara ia sendiri tidak tahu apa sih maunya Tuhan. Tuhan telah berlaku semena-mena, mempermainkan nasib umat-Nya demi menunjukkan kekuasaanNya. Bahkan Tuhan menentukan tempat penyembelihan itu 3 hari jauhnya dari rumah. Mengapa tidak yang dekat saja? Seolah-olah Ia ingin menyiksa Abraham dengan memberinya waktu panjang sehingga ia berkesempatan menolak perintah itu.
 
Saya membayangkan selama 3 hari itu Abraham berjalan jauh di belakang rombongan. Ia menggumankan keheranannya, menyerukan kekecewaannya, meneriakkan kemarahannya kepada Allah. Pasti ia merasa dikhianati oleh Allah yang pernah memberikan jaminan "Keturunan yang berasal dari Ishaklah yang akan disebut keturunanmu." Patutkah ia meneruskan kesetiaannya kepada Allah? Apakah Allah sedang mencari kebahagiaan melalui penderitaan umat-Nya? Tetapi Allah tidak menjawabnya. Allah yang sebelumnya kerap berbicara kepadanya sekarang bersembunyi. Ia dibiarkan sendirian untuk membuat keputusan. Bisa saja ia menolak perintah ini. Tetapi akhirnya Abraham menaati perintah Allah yang tidak bisa dimengerti oleh akal sehat manusia.
 
Mengapa Abraham menaati perintah yang teramat berat itu? Karena ia telah melihat akibat ketidak-taatan kepada Allah pada kota Sodom dan Gomora. Ia harus menaati perintah itu walaupun ia tidak menyetujuinya sama sekali. Lalu Ia berfirman: "Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepadaKu" (Kejadian 22:12). Ia menaati perintah itu karena takut kepada Allah.
 
Allah dalam Perjanjian Lama adalah Allah yang menakutkan. Bangsa Israel selalu hanya diberi 2 pilihan: taat dapat berkat atau menolak dapat celaka. Begitu angkernya Allah sampai mereka tidak berani mengeja Nama-Nya dalam Kitab Taurat. Allah-yang-tak-boleh-disebut-nama-Nya ini tinggal di ruang mahasuci dalam Bait Allah. Setiap tahun sekali seorang imam dipilih untuk masuk ke ruang ini. Ia memakai jubah dengan giring-giring yang berbunyi gemerincing bila ia bergerak. Untuk apa? Agar rekan-rekannya di luar tahu ia masih bergerak, masih hidup, karena tidak melakukan kesalahan dalam membersihkan ruang mahasuci ini. Bagaimana bila giring-giringnya tidak berbunyi? Ada seutas tali yang diikatkan dipergelangan kakinya, yang ujungnya dipegang para iman di luar. Dengan demikian tubuhnya dapat ditarik keluar. Senangkah seorang imam yang terpilih untuk melayani ruang ini? Pasti mereka ketakutan. Dan ketaatan yang berawal dari ketakutan tidak bertahan lama. Ketika Allah sedang membacakan deretan perintah-Nya kepada Musa, Israel malahan menyembah anak lembu emas. Ketaatan yang mengagumkan juga sering lenyap dalam diri 3 raja pilihan Allah: Saul, Daud dan Salomo.
 
Karena itu saya tidak suka Maleakhi 3:10 dibacakan penatua menjelang kantong kolekte diedarkan. Apalagi bila ditambahi ayat 11. Mengapa? Karena saya melihat Allah Perjanjian Lama dalam ayat itu. Jika Anda memberi ppsp tingkap langit dibuka, bila tidak memberi ppsp belalang pelahap dikirim menghabiskan semua harta yang Anda sembunyikan. Ini pemerasan! Ini perampokan! Jelas sudah siapa merampok siapa.
When I am falling in love
Saya tidak tahu apa yang terjadi antara akhir jaman Perjanjian Lama dengan awal jaman Perjanjian Baru yang berjarak 400 tahun karena Alkitab tidak mencatatnya sama sekali. Pasti telah terjadi sesuatu yang luar biasa sehingga Allah merubah “cara mengasuh” umat-Nya. Ia bukan lagi Allah yang menakutkan. Dengarlah cerita Yesus tentang anak bungsu yang kurang ajar. “Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia” (Lukas 15:20). Mengapa ayahnya tidak menyuruh satpam mencari anak ini, menyeretnya pulang, lalu menghajarnya agar ia kapok jadi preman?
 
Allah yang digambarkan oleh Yesus adalah seorang Bapa yang penyabar. Ia memberikan anak-Nya kebebasan. Tetapi setiap saat dibalik genangan air mata-Nya Ia berharap melihat anak-Nya dengan kesadarannya sendiri, kembali ke rumahNya. Bahkan, Ia tidak menyambut anak-Nya dengan hukuman, tapi dengan pesta. Wow, mana ada allah seperti Allah kita ini? So nice!
 
Karena itu bila kita memberi ppsp, janganlah karena ketakutan akan ancaman hukuman Allah atau iming-iming berkat-Nya. Tetapi karena mengamini perkataan Yesus “Manakah lebih mudah, mengatakan Dosamu sudah diampuni, atau mengatakan Bangunlah dan berjalanlah?” (Matius 9:5). Kita memberi ppsp karena Tuhan Yesus telah memberikan anugerah yang luar biasa – “dosamu sudah diampuni” – yang jauh lebih berharga daripada pemulihan kesehatan atau ekonomi kita – “bangunlah dan berjalanlah.
 
Saya sering tercengang ketika mengarsip data persembahan jemaat gereja. Tidak sedikit orang yang menurut akal sehat seharusnya tidak memberikan persembahan sebesar itu karena masih berada dalam kondisi yang kurang memungkinkan. Ada jemaat yang mendapat santunan diakonia setiap bulan 50 ribu rupiah, mempersembahkan 8 ribu rupiah. Pemulung mempersembahkan 25 ribu rupiah. Remaja puteri yang berhenti bersekolah untuk bekerja demi membantu ekonomi orang tuanya tidak pernah lupa memberikan ppsp. Bahkan seorang jemaat penderita kanker terminal tetap memberikan ppsp-nya sampai hari kematiannya. Saya yakin bagi mereka ppsp bukan lagi sebuah perintah atau kewajiban, tetapi hak. Hak untuk mengungkapkan syukurnya kepada Allah yang berkenan disapa “ya Abba, ya Bapa” (Roma 8:15) dalam doa pribadi mereka.
 
Hak yang tidak boleh diperdebatkan jumlahnya oleh orang lain. Seperti seorang pemuda yang jatuh cinta kepada seorang gadis, tanpa peduli protes orang tuanya ia mengambil kredit sepeda motor agar dapat mengantar-jemput kekasihnya ke tempat kerja. Biar cicilan plus BBM-nya mencapai 25% gajinya, ia tidak sedih. Malah ia hepi banget bisa membuat kekasihnya tidak lagi berdesak-desakan dalam angkutan umum setiap hari.
 
Hak yang tidak boleh dilecehkan sementara banyak orang telah membuang hak itu. Biar banyak pendeta dan penatuanya tidak memberippsp, tetap saja mereka melakukannya. Dan mereka melakukannya bukan berdasarkan ketakutan, tetapi karena cinta. Seperti seorang suami yang tidak mau berselingkuh bukan karena takut ketahuan, tetapi karena ia amat sangat mencintai isterinya.
 
Bagi mereka, Tuhan adalah segalanya. Semoga Anda dan saya ada di antara mereka. Hari ini dan pada hari-hari mendatang walaupun topan kehidupan melanda.
 
(selesai bagian ke-3 “Memberi itu tidak gampang”)

Memberi itu tidak gampang,
bag.1 – Derma untuk Gereja
bag.2 – Titah Kadaluwarsa
bag.3 – Kau lah segalanya bagiku
bag.4 – Mengebiri Kitab Maleakhi

 

Samuel Franklyn's picture

Ini baru pelajaran memberi dalam konteks PB

Ini baru pelajaran memberi dalam konteks PB (Perjanjian Baru). Memberi itu bagian dari mengasihi. Mantap.

joli's picture

DIA-lah segalanya..

Ketika memberi, apakah itu persembahan kolekte atau persembahan perpuluhan atau persembahan diakonia..  terkadang terpikir untuk melihat apa motivasinya, seperti tulisan purnomo diatas.. apakah karena menginginkan  berkat 90%, atau takut kutuk segala jenis belalang, atau karena cinta dan ucapan syukur..

melihat dan mengevaluasi motivasi.. memerlukan waktu, hingga tiba giliran kantong kolekte udah di depan mata, jadilah mengisi kantong "sak-suka rela dan sak tulus" nya

Sebenarnya siapa tho kita? apa yang kita punya? sehingga berani berhitung-hitung dan menimbang-nimbang dengan alih-alih memberi dengan bijak....  Itu yang sering aku tanyakan kepada diri sendiri.. 

Seperti judul blog ini ... Ya.. DIA-lah segalanya, DIA pemilik, DIA pemberi, dan untuk DIA-lah segalanya..

 

Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya? 1 Ko4 :7

kardi's picture

Persembahan syukur

Setelah membaca tulisan serial memberi itu tidak gampang dari bapa, saya sangat diberkati, sehingga tanda syukur atas pemeliharaan Tuhan hari lepas hari dapat diberikan berupa persembahan yang diberikan dengan ikhlas dan suka cita.Kemudian lebih ditingkatkan lagi bahwa persembahan yang diberikan sebagai ungkapan kasih terhadap Tuhan yang sudah fall in love before.Terima kasih pa, GBU