Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kim Sanders yang Memesona

Indonesia-saram's picture

Solo International Ethnic Music Festival and Conference yang belum lama berakhir, meninggalkan sejumlah kesan bagi saya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup, saya berkesempatan menjejakkan kaki di sebuah benteng peninggalan Belanda. Menikmati pagelaran seni yang luar biasa pula.

Kata benteng pada Benteng Vastenburg memang bermakna denotasi. Pertunjukan kesenian etnis yang diikuti oleh beberapa delegasi internasional itu memang diadakan di sebuah benteng yang dibangun pada tahun 1745 oleh Jenderal Baron Van Imhoff. (Sedikit ulasan tentang tempat bersejarah ini dapat dibaca di sini.)

Sayangnya, saya baru bisa menikmati pagelaran ini pada hari ketiga. Akibatnya, pertunjukan dari Korea tidak dapat saya nikmati karena mereka justru tampil pada hari Minggu, 2 September 2007. Meski demikian, saya yang sebenarnya tidak mengerti musik ini benar-benar terhipnotis oleh serangkaian pertunjukan. Hasilnya, saya sempat menyaksikan sejumlah komposisi musik yang disuguhkan oleh Dwiki Darmawan dan grup The Next Generation--ini grup musik yang dibina olehnya sendiri dengan personil berusia antara 17 dan 19 tahun. Saya juga bisa menikmati suguhan musik dan tarian asal Yunani yang sangat unik.

Pertunjukan yang paling berkesan bagi saya justru ada pada hari keempat. Meski untuk kedua kalinya saya harus berdiri untuk menyaksikan pertunjukan demi pertunjukan--animo masyarakat sangat tinggi, terbukti dari jumlah pengunjung yang hadir lebih banyak daripada malam sebelumnya, dan bertambah banyak pada malam terakhir--saya toh masih bisa menikmati berbagai komposisi yang sejak awal banyak didominasi oleh tetabuhan.

Malam itu Gilang Ramadhan juga dapat giliran manggung. Meski penampilannya beserta dua sobatnya juga sangat menawan, saya sangat terkesan oleh penampilan delegasi asal Australia. Semula saya kira ada beberapa personil yang akan tampil. Namun malam itu, yang tampil hanya seorang kakek. Dialah Kim Sanders.

Seniman satu ini disebut pernah jadi tukang daging. Namun, kecintaannya pada musik membawanya melanglang buana untuk mempelajari beragam alat musik. Malam itu, ia mempertunjukkan kebolehannya memainkan sejumlah alat musik. Kalau tidak salah, ada yang berasal dari Thailand dan ada yang berasal dari Bulgaria. Semuanya alat musik tiup.

Monopoli Panggung?
Lebih dari lima komposisi yang tidak pendek disuguhkan oleh Kim Sanders. Kalau tidak salah enam atau tujuh malah ia perdengarkan kepada pengunjung. Hal ini tentu saja memakan waktu yang tidak pendek. Padahal masing-masing penampilan diharapkan selesai dalam tempo setengah jam.

Kala itu, ia sempat menyelingi penampilannya dengan memberi komentar terhadap komposisinya. Tentu saja sembari menyebutkan alat musik yang ia bawakan. Semua itu ia tuturkan dalam bahasa Indonesia yang terpatah-patah.

Anggapan bahwa beliau memonopoli panggung mungkin bisa muncul kala komposisi musik terakhir ia suguhkan. Mayoritas pengunjung, termasuk protokoler dan pengatur panggung mungkin mengira ia akan mengakhiri penampilannya. Layar saja sudah sempat menunjukkan logo SIEM pertanda peralihan pertunjukan. Namun, Kim malah kembali memainkan alat musik tiup asal Bulgaria, kalau tidak salah namanya gaia, yang mirip bagpipe yang asal Skotlandia itu. Kontan saja semua terkejut. Layar pun kembali menyorot beliau.

Ramon Santos Jadi Korban
Setelah Kim Sanders, gilirannya Gilang Ramadhan dan grupnya. Penampilan yang tak kalah memukau dipertontonkannya. Tampaknya kebanyakan pengunjung memang menantikan kemunculan penggebuk drum ini.

Tapi yang menarik bagi saya justru ketika ia mengajak Kim Sanders untuk berkolaborasi. Ini benar-benar spontanitas! Spontanitas yang bagi orang biasa tentu akan membuat grogi dan malah bermain berantakan. Namun, hal itu tidak terjadi! Sebaliknya, permainan mereka benar-benar mengalir dan kompak. Seperti sudah terbiasa saja. Dasar seniman, masing-masing bisa mencocokkan tempo dan menutup komposisi dadakan itu bersama-sama.

Sebenarnya, kolaborasi juga telah ditunjukkan pada malam sebelumnya. Kala itu, delegasi asal Bengkulu, Dwiki Darmawan dan The Next Generation-nya, plus kelompok asal Karagouna, Yunani, sudah menunjukkan kolaborasi yang indah. Itu menunjukkan kemampuan tinggi masing-masing untuk bisa menangkap irama satu dengan yang lain.

Meski demikian, penampilan kolaborasi Gilang dan Kim itu memakan waktu yang banyak. Belum lagi Kim Sanders menghabiskan waktu yang tidak sebentar. Alhasil, penampilan terakhir yang disuguhkan oleh musisi asal Filipina, Ramon Santos, sudah sepi penonton. Saat memulai, jam sudah menunjukkan hampir setengah dua belas. Banyak yang sudah pulan karena lelah. Saya sendiri, meski akhirnya bisa duduk di deretan depan, sempat terkantuk-kantuk. Untungnya masih bisa menikmati komposisi yang disusun Ramon Santos khusus untuk kegiatan ini.

Adapun suguhan beliau, meski hanya satu komposisi, merupakan perpaduan alat musik Filipina berupa sebuah alat musik pukul yang disebut-sebut biasa dipakai untuk mengusir hantu, dengan sebuah alat musik tiup yang bunyinya seperti siulan burung. Ternyata ia telah membagikan alat musik tiup itu kepada pengunjung yang ada di barisan depan. Bersama-sama mereka, ia memimpin komposisi tersebut.

Malam itu tidak ada aksi kolaborasi atau yang disebut sareng rawit. Soalnya sudah sangat larut dan pengunjung sudah mulai berpulangan. Semua mulai menuju pintu keluar.

Tanggung Jawab Seniman
Sambil masih terkantuk-kantuk, saya pun mengikuti arus pengunjung yang sudah sangat sedikit ketimbang awal saya datang, menuju pintu keluar.

Belum sampai di luar, saya kaget juga mendengar ada bunyi-bunyian yang dimainkan dengan irama yang familiar. Ternyata itu si kakek tukang tiup tadi. Ya, Kim Sanders beserta dengan beberapa orang yang bermain tetabuhan, sembari berjalan keluar, asyik memainkan alat musiknya. Mereka berhenti tak jauh dari parit yang saya sebut di awal tadi, di dekat stan-stan yang meramaikan pagelaran musik etnis ini--stan kuliner juga ada, namun karena saya selalu datang dengan perut berisi, saya nggak ikutan jajan.

Dasar seniman, pikir saya. Dia benar-benar tidak puas hanya dengan penampilan panggung. Kali ini ia bermain musik langsung di tengah sekelompok orang yang mengerumuni. Luar biasa! Kalau orang berpikir beliau terlalu memonopoli waktu penampilan, saya malah berpikir, dia begitu ingin membagikan musik yang selama ini ia pelajari. Ia ingin semua yang hadir menikmati indahnya musik, sampai tanpa ambil pusing ia memainkan musiknya di jalanan.

Bagi saya, apa yang dipertunjukkan Kim Sanders merupakan gambaran bahwa seorang seniman memang tidak boleh di atas panggung. Ia harus turun, berada bersama-sama masyarakat memelihara budaya. Kita berkarya tidak di atas orang lain. Tapi berkarya di tengah masyarakat dalam kesejajaran sehingga semua orang bisa menikmati hasil yang kita kerjakan. Prinsip Kristen jelas sekali di sini: menjadi berkat bagi sesama lewat karya yang dikerjakan.

Saya jadi teringat acara Murid Bertanya Sastrawan Menjawab tahun 2001 yang lampau. Kala itu sekolahan saya kedatangan sejumlah sastrawan. Ada Rendra, Taufiq Ismail, Cak Nun, Damiri Mahmud, Jajang C. Noor, dan Rosihan Anwar. Mereka malah menolak panggung yang sudah disediakan panitia dan memilih berada di tengah siswa-siswi SMU.

Ya, seniman memang harus membangun di tengah masyarakat, bersama masyarakat. Apalagi seniman Kristen, tugasnya lebih mulia lagi, yaitu memperkenalkan karya keselamatan dalam Kristus lewat karya-karya mereka. Bagaimana dengan Anda? Ini tantangan bagi seniman Kristen.

__________________

_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.

hai hai's picture

Thanks Indonesia Saram

Ha ha ha .....

Thanks bung Indonesia-saram! Tadinya saya berencana ke Solo untuk menyaksikan festival ini, namun karena berbagai kesibukan, tidk sempat. Sejak awal, saya yakin, festival ini akan bagus, karena dipersiapkan dengan baik dan yang akan tampil adalah seniman-seniman kondang yang mempersiapkan diri dengan baik pula.

Kim Sanders memang sejak semula telah dijadikan andalan begitu juga dengan dwiki Darmawan. Di luar itu, sebenarnya saya juga mengharapkan untuk menikmati penampilan para seniman lokal (Solo dan sekitarnya).

Walaupun tidak dapat menyaksikannya sendiri, namun sangat terhibur membaca tulisan anda. Bung Indonesia-saram, kepiawaian menulis anda sudah tak perlu diragukan, namun ternyata kemampuan anda untuk mengapresiasi seni, terutama musiknya Kim Sanders dan Ramon Santos.

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

Indonesia-saram's picture

Ah, Terlalu Nyanjung

Waduh, Bung Hai terlalu menyanjung saya. Apresiasi saya itu sebenarnya masih sangat dangkal. Saya hanya menggunakan kata-kata seperti luar biasa, unik, memukau, bisa menikmati, dan kata-kata yang mengacu pada alat musiknya. Semua itu tak lebih dari sekadar pengamatan lapangan belaka. Tapi saya senang bisa membagikan pengalaman tersebut. Kalau ada kesempatan hari ini, saya akan tulis sedikit lagi tentang festival tersebut. Oh, ya! Tampaknya penyelenggaraan kegiatan ini masih akan dipertahankan pada tahun-tahun ke depan, setidaknya tahun depan, sebagaimana sambutan Walikota Solo, Joko Widodo seusai memberi penghargaan kepada panitia. Jadi kalau ada waktu, Bung Hai bisa datang dan menyaksikan. Saya sendiri penasaran, negara mana lagi yang akan berpartisipasi tahun depan.

Karena bahasa Indonesia dahulunya adalah lingua franca

__________________

_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.

Ari_Thok's picture

Denger dari Rumah

Wah, saya sebagai warga Solo justru gak menonton gelaran tersebut, hehe, tapi saya bisa denger dari rumah, musik maupun kemeriahan penontonnya, ya letaknya gak cukup jauh sih dari tempat kediaman saya hehe. Dalam beberapa hari kemaren baru bisa tidur tenang setelah pukul 12 malam, maklum acara tersebut selesai setiap jam 12 malam. Mmm .. membaca cerita Bang Raka diatas, tahun depan tidak boleh ketinggalan acara ini, harus nonton. Gimana Bung Hai, mau ikut?
__________________

*yuk komen jangan cuma ngeblog*


*yuk ngeblog jangan cuma komen*

hai hai's picture

Nggak Terlalu Mas

Bukan menyanjung mas Indonesia saram, saya cuman bilang thanks. Semoga tahun depan jadwal kerja saya lebih senggang, jadi bisa ikutan nonton ke solo. Bukan kata-kata luar biasa, unik dan memukau yang membuat saya terpana, tetapi cara anda menceritakannya, membuat saya seolah ikutan hadir di sana, mendengarkan suara musik kim sanders, badan saya ikutan bergetar ketika dwiki dermawan memainkan perkusinya dan rasa gregetan ketika keduanya saling nge-jams. disamping itu, merasa merinding ketika mendengar musik Ramon Santos. Mas Ari, ikut nonton mas indoneisa-saram atau ikutan mendengarkan dari rumah anda?

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

Ari_Thok's picture

Nyesel juga nih

Saya hanya mendengarkan dari rumah, sudah cukup keras sih, tidak ikut Bung Saram ke Festivalnya. Mungkin jika saya tahu ada banyak tamu asing baik musisi atapun seniman lainnya, saya pasti datang. Duh, nyesel juga sih, kenapa gak cari tahu perihal acara ini waktu kemaren-kemaren, saya pikir hanya acara biasa, seputar Solo, ternyata se"heboh" itu. Di televisi pun gak ada gembar-gombor perihal acara ini.
__________________

*yuk komen jangan cuma ngeblog*


*yuk ngeblog jangan cuma komen*