Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Legalisme

Stephen's picture
LEGALISME:
Kritik Fletcher dan relevansinya




Fletcher menyebutkan 3 pendekatan dalam pengambilan keputusan etis
yaitu : legalisme, antinomianisme dan situasionisme. Legalisme menurut
Fletcher memiliki pengertian sebagai berikut.

1. Legalisme menjadikan
seseorang memiliki seperangkat aturan dan
peraturan yang siap pakai. Kepentingan utamanya bagaimana yang tersurat
dalam suatu produk hukum diikuti dan diberlakukan. Dalam setiap
persoalan telah tersedia jawaban yang tepat tanpa perlu diragukan lagi
keabsahannya.

2. Fletcher menilai bahwa Protestantisme dan
Katolikisme telah menjadi agama legalistik sama seperti Yudaisme.
Orang-orang Yahudi hidup dalam Taurat dan tradisi lisannya (halakah).
Tafsiran dan aplikasi dari keduanya menghasilkan 613 (atau 621)
peraturan yang harus ditaati tanpa terkecuali. Undang-undang dan
perintah hukum bertumpuk-tumpuk, peraturan diatas peraturan dan
membentuk piramida hukum: Pentateukh ke Midrash dan Mishna ke Talmud.
Akibatnya kematian tragis bagi pathos (perhatian kasih Allah untuk
berbagi) dan ethos (hidup dengan kasih sebagai norma, bukannya program
kerja) yang disuarakan nabi-nabi. Pemahaman atas situasi merupakan
kepekaan para nabi.

3. Orang Katolik mengembangkan sistem hukum
moral yang disebut dengan kasuistri (daftar apa yang boleh dan tidak).
Dengan kasuistri, seseorang dapat mengasihi sesamanya dengan benar.
Sementara orang Protestan sekalipun tidak memiliki sistem hukum yang
rumit, mereka menjadi orang-orang puritan dalam norma moral dan agama.


4. Legalisme telah buta dalam melihat faktor keraguan dan kebingungan
yang dialami seseorang dalam hidupnya. Legalisme lebih mudah menghukum
daripada menolong seseorang yang mengalami kesulitan dalam hidup.
Orang-orang katolik dan Protestan bertanggungjawab terhadap kematian
orang-orang homoseksual yang dibakar pada abad pertengahan. Orang
legalis dapat memahami dan menerima jika keputusan hukum mendatangkan
malapetaka atau tidak menunjukkan kasih, sebab bagi mereka ”Tegakkan
hukum sekalipun langit akan runtuh!” (Fiat justitia, ruat caelum!).


5. Legalisme dalam kekristenan memuat dua bentuk. Moralis Katolik
menekankan pertimbangan (akal) legalistik (legalistic reason) yang
berdasarkan hukum kodrat. Mereka membayangkan peraturan etis yang dapat
digunakan menghadapi kenyataan alam dan pengalaman sejarah. Serupa
dengan itu, moralis Protestan menggunakan Alkitab sebagai hukum
moralnya. Hukum moral alkitabiah yang didasarkan firman dan perkataan
(words and sayings) Hukum dan Nabi, penginjil dan rasul. Moralis
Protestan menekankan penyataan legalistik (legalistic revelation). Yang
satu rasionalis, yang lain biblistik; yang satu alamiah (natural), yang
lain alkitabiah (scriptural). Keduanya sama-sama legalistik. Selain itu
dapat dikatakan bahwa moralis Katolik pun setuju dengan hukum yang
diwahyukan (revealed law), seperti hukum positif ilahi 10 perintah
Allah dan moralis Protestan mengunakan akal budi dalam menafsirkan
perkataan-perkataan Alkitab (hermeneutik).




Legalisme: Ketaatan buta tanpa hati nurani


Fletcher menguraikan dengan taktis betapa legalisme tidak menolong
manusia dalam mengambil keputusan etis yang tepat. Legalisme tidak
menyediakan ruang yang berbeda bagi tindakan etis tertentu. Keseragaman
bagi semua orang dalam bertindak diutamakan meskipun harus ada yang
dikorbankan. Fletcher dengan negatif menilai orang Yahudi, Katolik dan
Protestan telah menjadi pelaku legalisme. Fletcher sama sekali dan
tidak sedikit pun memberikan penghargaan positif terhadap keberadaan
dan fungsi hukum dan peraturan dalam kehidupan manusia. Banyaknya
produk hukum dan peraturan serta ketidakmampuan dalam mempraktekkannya
sudah jadi alasan kuat bagi Fletcher untuk menolak legalisme dalam
pengambilan keputusan etis.
Saya tidak setuju dengan pendapat
Fletcher bahwa Katolik dan Protestan mempraktekkan legalisme dalam
kehidupan beriman sebagaimana agama Yahudi. Pendapat Fletcher terlalu
subjektif karena tidak mempertimbangkan kenyataan kekristenan yang kuat
ketika menjadi agama negara. Peraturan agama tidak dapat berfungsi
dengan baik jika tidak didukung kekuasaan politik yang stabil.




Hukum: kepastian etis dan roh yang membebaskan


Hukum dan peraturan pada dirinya sendiri menurut saya sangat bermanfaat
dalam mengatur dan menata segala bidang dan perkara dalam hidup manusia
termasuk dalam kehidupan beragama. Hukum dan peraturan itu diperlukan
untuk kelancaran hidup, misalnya hukum perkawinan; untuk keabsahan
hidup bersama, misalnya hukum perkawinan; untuk menjaga dan melindungi
kehidupan, misalnya Undang-undang Anti Aborsi. Hukum dan peraturan
memberikan kepastian dan keamanan hidup sehingga seseorang ada dalam
jalur hidup yang benar serta hidup dan perilakunya dihormati
masyarakat. Hukum dan peraturan dapat memudahkan seseorang untuk
bersikap dan bertindak di tengah kehidupan yang kompleks dan
membingungkan2.
Orang beriman memandang hukum dan kewajiban moral
yang universal berdasarkan karakter Allah yang tidak berubah. Allah
adalah kudus dan perintah itu, benar dan baik (Rm 7:12). Ketaatan
kepada hukum mendatangkan kebaikan sebagaimana yang Musa katakan kepada
orang Israel ”agar berpegang pada perintah dan ketetapan Tuhan yang
kusampaikan kepadamu pada hari ini, supaya baik keadaanmu.” (Ulangan
10:13) Yesus sendiri menghormati kewibawaan hukum Allah seperti yang
dikatakan, ”Janganlah kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan
hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk
meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” (Matius 5:17) Yesus
bahkan memberi pujian kepada mereka yang taat hukum, ”Sebab itu
turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu ”
(Matius 23:3). Jelas memelihara hukum dan perintah Allah adalah
pengungkapan praktis dari kasih3. Hidup bebas dari tuntutan-tuntutan
hukum berarti bertentangan dengan hubungan dengan Allah yang telah
dibangun oleh anugerah. Orang beriman mengemari hukum Allah menurut
manusia batinnya (Rm 7:22) dan taat kepada peraturan-peraturan
pemerintah (Rm 13; 1 Ptr 2:13-14)).


Legalisme menjadi berbahaya
ketika ketaatan kepada hukum terjadi secara harafiah, mutlak dan
statis.4 Legalisme cenderung mengabaikan roh dari hukum agar dapat
menghindari pelanggaran huruf di dalam hukum itu5. Yesus mengkritik
tajam sikap legalisme, ”Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan
manusia untuk hari Sabat.” (Mrk 2:27) Yesus mengutamakan yang tersirat,
tetapi tidak menyampingkan yang tersurat. Yesus menghendaki bahwa belas
kasihan diutamakan ketimbang mencari kesalahan dan mengadili sesuai
hukum yang berlaku6. Hukum, bagi Yesus bukanlah Tuhan. Ketaatan Yesus
bukanlah kepada hukum sebagai instansi terakhir, tetapi kepada Tuhan
sang Pemberi hukum, ”Karena Anak manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.
(Mat. 12:8) Hukum tidak dapat dipraktekkan di segala waktu dan tempat
secara ketat. Ada situasi khusus yang dialami manusia sehingga dapat
diambil sikap khusus pula. Sikap khusus ini adalah kekecualian dan
tidak berlaku umum, misalnya ”Barangsiapa yang menceraikan isterinya,
kecuali karena zina, lalu kawin dengan perempuan lain ia berbuat zina
(Matius 19:9).7




Dilema moral: kekecualian sebagai alternatif etis


Dilema moral perlu dipertimbangkan secara khusus dan karenanya ada
kekecualian. Atau meminjam istilah Karl Barth, suatu ”possible
immpossibility”. Sesuatu yang pada hakikatnya tidak mungkin, tetapi
dalam kenyataannya mungkin terjadi, misalnya peperangan, penyakit dan
perceraian. Yang jelas adalah salah bila ”kekecualian” dianggap sebagai
”aturan umum” untuk diberlakukan dalam semua situasi dan tempat8.


Kekeliruan yang dipraktekkan orang Yahudi, Katolik dan Protestan di
masa lampau berkenaan dengan hukum dan peraturan tidak dapat
dipertahankan dan diteruskan pada masa sekarang. Memang legalisme di
satu pihak mendatangkan kebaikan bagi manusia, namun di lain pihak
dapat mencelakakan hidup manusia itu sendiri jika seluruh dimensi hidup
manusia diatur sedemikian rinci seperti yang dipraktekkan ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi, di mana ”Mereka mengikat beban-beban
berat lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri
tidak mau menyentuhnya.” (Mat. 23:4)
Akibatnya, kepatuhan kepada
hukum menggantikan kepatuhan manusia kepada Allah. Legalisme berakibat
bahwa seseorang dapat mengganti Allah yang hidup dengan buku hukum yang
tidak bernyawa. Implikasinya bahwa pengambilan keputusan etis menjadi
proses penafsiran dan penerapan hukum saja dan bukannya cara mencari
kehendak Allah. Legalisme mengabaikan pentingnya iman dan bimbingan Roh
Kudus dalam pengambilan etis9. Legalisme hanya menghasilkan etika yang
kaku dan sempit serta tidak menjawab masalah moral terdalam manusia
dalam konteksnya.10 Di sinilah perlunya sikap kasih dan kepekaan kepada
kebutuhan sesama dikembangkan sehingga pengambilan keputusan etis tidak
cenderung menghakimi dan membelenggu kebebasan manusia.11






Salam etis,
SGR Sihombing

Catatan kaki.

1. Joseph Fletcher, Situation Ethics, The New Morality, (Philadelphia: The Westminster
Press, 1966), hlm. 18-22.
2. A. Mangunhardjana, Isme-isme: dari A sampai Z, (Yogyakarta: Kanisius, 1997),
hlm. 144-145.
3.
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I, A-L, terjemahan oleh Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF, cet. Ke-7, (Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina
Kasih/OMF, 2002), hlm. 408.
4. C. Kiswara, Dasa Firman Allah: Makna dan Penerapannya, cet. Ke-3, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm.19-20.
5. Norman Geisler, Etika Kristen: Pilihan dan Isu, cet. ke-4, (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2003), hlm 118.
6. J.J. de Heer, Injil Matius: Pasal 1-22, (Jakarta BPK-Gunung Muria, 2001), hlm. 227
7. Eka Darmaputera, Etika Sederhana untuk Pemula: Perkenalan Pertama, cet. ke-3, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), Hlm. 64-65
8. Eka Darmaputera, Sepuluh Perintah Allah: Museumkan saja? (Yogyakarta: Gloria Graffa, 2005), hlm. 179-180.
9. Harold H. Rowdon, Hukum Taurat dan Kasih, (Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab,
1992), hlm. 17.
10. Bernard T Adeney, Strange Virtue: Ethics in a Multicultural World, (Illinois: InterVarsity Press, 1995), hlm 35.
11. Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di
dalamnya, cet. ke-5, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), hlm. 214-215.

DAFTAR PUSTAKA

Adeney, Bernard T, Strange Virtue: Ethics in a Multicultural World, Illinois: InterVarsity Press, 1995.
Brownlee, Malcolm, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di
dalamnya, cet. ke-5, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989.
Darmaputera, Eka. Etika Sederhana untuk Pemula: Perkenalan Pertama, cet. ke-3, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989, Hlm. 64-65
Darmaputera, Eka. Sepuluh Perintah Allah: Museumkan saja? Yogyakarta: Gloria Graffa, 2005.
Fletcher, Joseph, Situation Ethics, The New Morality, Philadelphia: The Westminster Press, 1966.
Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini Jilid I, A-L, terjemahan oleh Yayasan Komunikasi Bina
Kasih/OMF, cet. Ke-7, Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2002.
Geisler, Norman. Etika Kristen: Pilihan dan Isu, cet. ke-4, Malang Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2003.
Heer, J.J. de, Injil Matius: Pasal 1-22, Jakarta BPK-Gunung Muria, 2001.
Mangunhardjana, A. Isme-isme: dari A sampai Z, Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Kiswara, C. Dasa Firman Allah: Makna dan Penerapannya, cet. Ke-3, Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Rowdon, Harold H. Hukum Taurat dan Kasih, Jakarta: Persekutuan Pembaca
Alkitab, 1992.