Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

LOTENG

anakpatirsa's picture

Loteng bisa berkisah tentang seribu satu cerita. Orang zaman dulu menyimpan barang tak terpakai itu di sana agar kisahnya tidak hilang; orang zaman sekarang menyimpan barang bekasnya di bilik kecil bernama gudang sehingga tidak perlu repot-repot saat tukang loak langganannya datang. Apa yang tersimpan di loteng, akan tetap di sana, kenangan yang sayang dibuang. Tidak ada yang tahu nilainya kecuali sang empunya. 

Loteng memberi kenangan tersendiri bagiku, kenangan tak terlupakan.

Rumah masa kecil. Rumah tertua di kampung. Satu dari sekian rumah tertua provinsi kami. Rumah Panjang, tetapi bukan seperti rumah panjang yang Anda lihat dalam tayangan film dokumenter budaya masa lalu kami. Bukan! Rumah panjang zaman dulu dihuni oleh orang sekampung. Rumah kami, hanya dihuni keluarga yang terdiri dari kakek, ayah, ibu dan delapan anak.

Loteng, dari lantai tingginya enam meter. Aku tahu pasti karena papan empat meter yang berdiri tegak menjadi dindingnya itu tidak cukup sampai ke langit-langit. Masih ada tambahan papan lagi di atasnya. Orang Belanda sepertinya telah mengajari kami cara membangun rumah yang sejuk -- Langit-langit tinggi dan pintu serta jendela raksasa.

Rumah sekarang, lantai loteng berarti plafond dan tripleks. Harus berjalan hati-hati di atasnya, hanya boleh menginjak balok kasaunya saja. Orang naik ke sana hanya kalau sudah dua hari mencium bangkai tikus. Loteng kami, tidak perlu takut berjalan di atasnya. Anda tahu kayu ulin? Deretan balok ulin 10x10 sentimeter yang melintang di bawah papan loteng itu sudah cukup. Tidak perlu kata-kata untuk menjelaskan kekuatannya.

Kakek tahu ia mempunyai dua cucu laki-laki yang selalu penasaran. Tangga tinggi itu selalu dipindahkan ke sudut setelah dipakai. Kami hanya boleh melihat orang naik ke loteng membawa senter, lalu turun sambil memegang sesuatu -- atau sebaliknya. Sepupu suka menakut-nakuti kami yang berada di bawah dengan memperlihatkan sebuah topeng setan yang ada di loteng.  Topeng yang orang pakai dalam upacara mengantarkan arwah orang mati.

Suatu sore, sekelompok orang bersuara aneh datang. Sudah sering orang seperti  ini datang ke rumah. Mereka memotret sana-sini, tetapi tidak pernah naik ke loteng. Kata ayah, mereka ini turis, orang-orang yang bosen tinggal di luar negeri. Kakek naik ke  loteng lalu turun sambil memegang topeng itu.  Topeng itu dari dekat lebih mengerikan lagi, itulah wajah setan yang paling jelek yang pernah kulihat. Dua taring seperti taring babi hutan itu benar-benar mengerikan. Kata ibu, kakek memberikan topeng ini sebagai cenderamata.  Aku benar-benar senang, karena topeng mengerikan itu akhirnya pergi.

Mengingat betapa seringnya orang seperti ini datang dan memotret kami di depan rumah, maka sampai sekarang, setiap kali menemukan National Geographic edisi 80-an, aku selalu berharap menemukan foto kami sekeluarga di sana.

***

Loteng ini mengundang rasa ingin tahu. Membuatku mengerti rasa penasarannya Diaz, saat melihatku menaiki tangga loteng ruang tengah. Mata penasaran itu malah membuatku makin menggodanya; makin ia penasaran, makin sering aku menaiki tangga.  Ini bukan tangga yang dulu membuatku penasaran, lotengnya juga lebih rendah. Loteng tambahan yang baru ada setelah aku kelas satu SMP. Kakek meminta ayah membuat loteng tambahan di atas ruang tengah serta di atas kamarnya, karena  rumah yang sedikit terpengaruh arsitektur Belanda ini tidak lagi cocok untuknya. Langit-langit tinggi serta pintu dan jendela raksasa membuat rumah menjadi terlalu dingin buat kakek.

 “Sekarang lebih hangat kalau malam,” kata kakek, tetapi sebenarnya masih dingin baginya. Setiap malam ia selalu memakai jaket tebal dan kaus kaki tebal.

Tangga itu sekarang tangga permanen, dan bukan tangga tiang. Diaz hanya bisa memandang dengan penuh harap saat melihatku menaikinya. Setelah aku turun, ia selalu menyambut dengan memeluk pinggangku. Mungkin senang karena aku bisa turun dengan selamat.

“Lihat, Mah. Caranya merayuku supaya bisa naik ke atas,” kataku pada Ibu.

Ibu hanya bisa tersenyum penuh arti.

Begitu penasarannya ia, sampai beberapa hari kami melihatnya diam-diam mencoba menaiki tangga itu. Ia pasti melihatku selalu membawa senter kalau naik ke atas, sehingga ikut membawanya. Kami menonton dari dapur tanpa ia sadari. Aku hanya menahan senyum melihat caranya menoleh ke arah dapur. Ia menoleh dulu untuk memastikan tidak ada yang melihatnya.

Kami hanya diam, melihat apakah ia berani. Tangan kirinya sudah memegang pagar tangga dan tangan kanan memegang senter menyala. Kaki kirinya lalu naik -- Orang kota tahu kaki mana yang harus turun duluan kalau turun dari bis, keponakanku tahu kaki mana yang harus naik duluan di tangga -- Ia menoleh ke dapur sebentar, lalu kaki kanan menyusul naik. Menoleh lagi lalu melihat ke  atas, diam agak lama. Sepertinya mengumpulkan keberanian. Tetapi ia memutuskan sesuatu -- menyerah. Kaki kiri itu kembali turun lalu kaki kanan menyusul.

 “Coba kamu bawa dia ke atas,” kata ibu akhirnya. Tidak tega melihat cucunya selalu mematung di anak tangga pertama, hanya kepalanya yang bergerak untuk mendongak ke atas atau menoleh ke kiri.

Ibu membuatku teringat pada almarhum kakek, tetapi belum ada waktu untuk bernostalgia. Akupun ke ruang tengah dengan langkah keras. Ia pasti cepat-cepat turun, karena ketika aku sampai di pintu ruang tengah, ia sudah mendatangiku sambil menyerahkan senternya.

Aku memeluk lalu menggendongnya. Mengambil sandal kecil yang tergeletak begitu saja di ruang tamu. Tidak bisa kulupakan teriakan senangnya saat menyadari aku membawanya menaiki tangga itu.

Sampai di atas, aku menurunkan lalu memasangkan sandalnya. Membiarkannya bermain dengan barang-barang berdebu. Ada alat tukang, televisi rusak, radio rusak, dan  tumpukan antena televisi serta kabelnya yang menumpuk jadi satu dengan puluhan kaset. Tidak terlalu gelap, karena waktu SMP, aku melepas beberapa sirap dan menggantinya dengan kaca. Ini pernah menjadi ruang baca kami, bahkan ada jendelanya.

Inilah saat pertamanya Diaz melihat loteng kami. Entah mengapa ia menyukai bor kayu, aku juga tidak tahu darimana ia belajar memakainya. Alat ini ia tekan ke lantai dan gagangnya ia putar. Aku tidak bisa membaca apa yang ada dalam hatinya. Keponakanku ini masih berumur tiga tahun, bahkan berbicarapun masih sulit. Kata kakakku, Diaz tidak punya teman bermain, sehingga tidak bisa berbicara lancar. Ia lebih suka bermain sendiri.

Aku membiarkannya melubangi papan lantai itu. Siapa tahu kalau kesini lagi, ia bisa ingat siapa yang melubangi lantai loteng itu. Besoknya, aku harus membuat papan penghalang di tangga. Karena setelah itu Diaz sudah berani sendiri ke atas. Kami tidak mau mengambil resiko dengan membiarkan langkah-langkah kecil itu di atas loteng.

 Saat ibu tadi berkata, “Coba kamu bawa dia ke atas,” aku teringat almarhum kakek. Saat melihat Diaz mengaduk-aduk isi loteng, aku teringat pengalamanku sendiri ketika mendapat kesempatan seperti dia.

Aku teringat saat pertama kalinya aku naik ke loteng.

***

Paman datang. Ada acara di rumah mereka, ia mau meminjam katabong, sejenis alat musik pukul. Pagi itu, aku melihat paman bersama anaknya yang hanya beberapa tahun lebih tua dariku itu menaiki tangga. Kakek duduk di kursi tua sambil melihat menantu dan cucunya ini menaiki tangga.

Aku menoleh ke arah kakek, ia hanya diam saja melihat cucunya itu ikut naik. Akupun memberanikan diri, pura-pura menahan kaki tangga supaya tidak jatuh. Tanganku lalu pindah ke anak tangga ke dua; kakek hanya diam. Kunaikkan kaki kiri; kakek hanya diam. Tanganku sedikit menarik tubuh sehingga kaki kanan sedikit terangkat, siap menurunkannya kapanpun.

“Hati-hati, jangan sampai jatuh,” kata kakek.

Maka kedua kakikupun mendarat di anak tangga pertama.

Aku sedang mengangkat kaki kiri di tangga kedua saat kurasakan kakek memegangku. Berkata, “Biar mereka naik dulu.”

“Ayo naik lagi,” kata kakek setelah paman dan anaknya sudah di atas loteng. Akupun naik, kakek selalu berada satu anak tangga di bawahku sampai aku berada di atas.

“Pegang dia,” kata kakek saat aku sampai di ujung tangga. Kedengar pemilik tangan kuat yang memegang tanganku itu berkata, “Ayo injak lantainya.”

Loteng itu agak gelap, hanya remang-remang.  Tetapi tidak segelap yang kukira sebelumnya.

Aku mencium bau yang asing. Dari semua bau yang pernah kucium, ini bau yang sedikit aneh. Kemudian aku tahu, bau seperti ini selalu muncul di setiap loteng yang banyak barangnya. Bau kayu kering, besi, kaca dan kertas bercampur debu. Bau barang tua yang lama tak tersentuh tangan manusia dan air.

Samar-samar kulihat barang-barang yang tergeletak begitu saja. Melalui cahaya senter paman, kulihat sebuah sepeda tergeletak begitu saja. Bentuknya aneh, ada palang melintangnya, tidak seperti sepeda ayah. Kemudian kulihat botol-botol minyak, baling-baling kapal, ban bekas, tangkai cangkul, kaleng, dan masih banyak lagi. Paman berjalan ke arah setumpuk gong, mengambil gong paling atas dan membawanya ke dekat tangga. Kakek menuntunku agak ke tengah, ke sebuah tumpukan kayu. Dari balik keremangan, kulihat senapan kayu. Aku tidak akan bisa memakainya untuk main perang-perangan. Panjangnya pasti dua kali lebih tinggi dari tubuhku. Kulihat  juga barang-barang tua yang sudah tidak terpakai dan beberapa kopor tua.

Paman menemukan semua yang ia perlukan, lalu menumpuknya di pinggir loteng, dekat tangga. Kakek membawaku ke situ, tepat di tempat sepupuku dulu menakut-nakuti kami. Kakek membiarkanku melihat ke bawah, memandang ruang tengah tempat kami bermain. Sedikit merasa takut, tetapi karena kakek menahanku, aku merasa aman. Mungkin ini yang membuatku tidak pernah lagi merasa gamang, walau berada di tempat setinggi apapun. Waktu kecil aku pernah melihat ke bawah, dari pinggir loteng tanpa pagar pengaman, dengan seorang kakek menahan tubuhku.

Tidak butuh waktu lama untuk menurunkan sebuah gong, sebuah ketabong dan dua buah dayung besar. Baru aku tahu beberapa tahun kemudian, alat ini, seperti topeng dulu, digunakan untuk mengantar orang mati ke dunianya.

Aku benar-benar boleh naik sendiri beberapa tahun kemudian, setelah mampu memindahkan tangga itu. Beberapa kali aku mencobanya, selalu aku harus menyerah. Sampai suatu ketika, sedikit-demi sedikit, aku mampu memindahkannya. Tiba-tiba saja ayah muncul di belakangku dan berkata, “Hati-hati, Nak. Di atas sangat kotor.”

***

Aku membuka koper-koper itu. Isinya tidak terlalu banyak, ada kertas-kertas dalam bahasa yang tidak kumengerti. Ingin sekali bisa membacanya, membuatku menjadi tertarik dengan bahasa asing.  Aku juga menemukan beberapa buku yang sudah kumal, membuatku sekarang menyukai pasar buku bekas, menyukai aroma buku tua di situ.  Aku menemukan barang-barang dari kapal kakek serta sebuah timbangan kuno. Lalu ada alat berbentuknya aneh, banyak lingkaran berangka 0 sampai 9. Baru setelah kuliah ilmu komputer, aku tahu alat ini bernama Pascal's Arithmetic Machine. Sebuah ‘kalkulator’ kuno yang ditemukan oleh Blaise Pascal tahun 1642.  Lalu ada barang-barang yang kakek pakai waktu sekolah, kertas yang sudah berwarna kuning dan batu tulis.

Senapan kayu itu, kemudian aku tahu, orang Jepang melatih orang pribumi dengan senapan kayu seperti itu. Aku melihat gambarnya di buku sejarah. Aku juga menemukan sebuah koper tua yang isinya kertas-kertas yang terikat dan tersusun rapi. Baru lima belas tahun kemudian, kertas-kertas ini dibongkar lagi. Isinya ternyata dokumen sebuah kongres pada tahun 1953. Sebuah pertemuan mempersiapkan pendirian propinsi kami. Aneh, sejarah hanya tergeletak begitu saja di atas loteng. 

Di sudut, aku menemukan barang-barang yang lebih berantakan. Koper-koper di situ tergelatak tanpa aturan. Isinya kertas-kertas dan buku-buku tulis serta album foto. Aku tahu yang ini milik ayah.

Kenangan, mereka menyimpan benda-benda ini entah untuk apa. Mereka tidak tahu telah meninggalkan sebuah kenangan bagiku. Kakek dan menantunya tidak membuang begitu saja kertas atau buku yang pernah mereka pakai. Mungkin ada jeleknya, karena aku jadi tidak pernah membuang kertas-kertas yang pernah kupakai. Entah mengapa, aku merasa sayang membuang tumpukan kertas di meja atau di laci kerjaku. Entah mengapa, aku juga merasa sayang membuang tumpukan kertas atau botol deodoran kosong dari kamarku.

Betapa dulu aku sangat berat harus meninggalkan tumpukan kertasku ketika pindah dari Jogja. Sejak semester pertama aku menumpuknya sehingga setelah lulus, semuanya memenuhi empat kardus besar. Aku terpaksa meninggalkannya di gudang kos, berharap bapak kos tidak membakarnya. Juga di lab tempatku tinggal di tahun terakhir, aku meninggalkan sekardus kertas. Berpesan kepada kepala kepala lab agar tidak membuangnya. Suatu saat aku akan kembali mengambilnya.

Sampai sekarang, sudah hampir tiga tahun, aku belum sempat kesana untuk mengambilnya.

*****