Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Mendelegasikan Tanggung Jawab Rohani dalam Keluarga

sarlen's picture

Tugas Suami dalam Mendelegasikan Tanggung Jawab Rohani

Aku seorang diri tidak dapat memikul tanggung jawab atas seluruh bangsa ini, sebab terlalu berat bagiku.
(Bilangan 11 : 14)

Ketika
mertua Musa datang mengunjungi Musa di padang gurun dan melihat
bagaimana Musa seorang diri mengadili diantara bangsa itu dari pagi
sampai petang, ia memberi nasihat kepada Musa tentang pendelegasian
tugas (Keluaran 18).

Musa mendengarkan nasihat mertuanya itu.
Menurut penilaian manusia, nasihat mertua Musa untuk mendelegasikan
tugas, memang cukup masuk akal. Tetapi setelah jangka waktu tertentu,
kembali Musa merasa terbeban dan tidak sanggup menghadapi tanggung
jawab yang
harus dipikulnya.

Mengapa demikian ?

Kita harus menyadari bahwa persoalan yang dihadapi Musa bersifat
spiritual. Musa harus memikul tanggung jawab atas seluruh persoalan
bangsa Israel dihadapan Allah.

Dalam
perkara spiritual, nasihat mertua Musa mengenai mendelegasikan tugas,
tidaklah cukup. Tuhan yang harus memberi jalan keluarnya agar seluruh
tugas yang diemban Musa tersebut dapat diselesaikannya.

Pada
akhirnya, Tuhan mengambil sebagian Roh yang hinggap pada Musa. Tuhan
memberikan sebagian dari Roh yang ada pada Musa tersebut kepada 70
tua-tua Israel, sehingga Musa dapat memikul tanggung jawab rohani atas bangsa Israel secara bersama-sama.

Apa
yang dilakukan Tuhan tersebut, membuat Musa dapat sehati, sepikir, dan
satu roh bersama dengan ke-70 tua-tua Israel tersebut.

Jadi,
dalam memikul beban rohani, tidak hanya pendelegasian yang perlu
dijalankan, tetapi juga diperlukan kesehatian dan kesamaan roh.

Tanggung jawab dalam memikul beban rohani dalam keluarga, memang
haruslah dipikul oleh kepala keluarga. Tetapi, suami sebagai kepala
keluarga, dapat membagikan Roh yang hinggap padanya kepada isteri dan
anak-anaknya, sehingga mereka dapat memikulnya secara bersama-sama.

Dengan demikian, suami, sebagai kepala keluarga, tidak akan merasa sendiri dan merasa berat dalam memikul tanggung jawab itu.

Tetapi, bagaimana caranya seorang suami dapat memberikan sebagian Roh yang hinggap padanya, kepada isteri dan anak-anaknya ?

Memang
hanya Tuhan yang dapat melakukannya. Namun dalam hal ini, ada bagian
yang harus dilakukan oleh seorang suami. Kepala keluarga harus belajar
menyediakan banyak waktu untuk bersama-sama berdoa dan berbagi beban
dengan isteri dan anak-anaknya.

Seorang suami harus belajar
membagikan tujuan, misi dan visinya serta mendoakannya secara
bersama-sama dengan isteri dan anak-anaknya.

Bisa dibilang,
tim inti bagi seorang suami adalah isteri dan anak-anaknya. Hal inilah
yang perlu disadari oleh seorang kepala keluarga.

Pada banyak
peristiwa, sering kali dalam mengemban misi pelayanan, seorang suami
justru menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membangun tim
pelayanan diluar keluarganya sendiri. Itu bukanlah sesuatu hal yang
salah karena pelayanan yang dilakukan sang suami, menjangkau banyak
orang.

Akan tetapi, pada akhirnya, seorang suami juga harus
memperhatikan kesejahteraan rohani keluarganya, karena bagaimanapun,
seorang suami akan kembali kepada keluarganya dan ia harus bisa
menyampaikan hal yang sepatutnya tentang Kerajaan Sorga kepada isteri
serta anak-anaknya.

Bukankah sesuatu hal yang menyedihkan
apabila tugas pelayanan iman yang dilakukan seorang suami diluar
anggota keluarganya sendiri, mencapai keberhasilan sedangkan dalam
lingkup keluarga, ada kepahitan yang tertanam?

Dari sini kita
dapat belajar, bahwa pelayan Tuhan itu harus menyampaikan kesetiaannya
kepada Tuhan kepada semua orang yang menjadi tanggung jawabnya, dan
juga kepada orang-orang terdekatnya, yaitu keluarganya sendiri.

Seandainya
ia dapat menyadari ini dari awalnya, tentu proses pembentukan sebuah
keluarga yang memiliki kekokohan iman yang baik, dapat dilakukan secara
berkesinambungan karena ada unsur perhatian dan upaya pendelegasian
iman kepada anggota keluarganya.

Apabila hal ini dilakukan oleh seorang suami, maka tidak akan ada kekecewaan dan luka hati
bagi anggota keluarganya.

Semoga para kepala keluarga menyadari hal ini sebelum terlambat.

Disadur dan dituliskan kembali berdasarkan Warta Jemaat Gema Sion Ministry, edisi April 2007.