Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Menyampahkan talenta

Purnomo's picture
    Panggung berukuran 4 x 3 meter di depan mimbar menyulitkan gerak anak-anak. Tapi ini gereja kecil. Mau apa lagi? Yang penting anak-anak gembira. “Bila mereka melakukan kesalahan, jangan memarahinya,” begitu pesan saya kepada sutradaranya sesaat sebelum acara ini dimulai. “Anggap saja ini gladi resik dengan pakaian lengkap.” Dan memang, para pemainnya gembira karena tidak ada gurunya berwajah masam bila mereka salah gerak walaupun penonton ramai menyoraki. Saya juga gembira, bahkan sangat gembira sehingga hampir menangis. Bukan karena sayalah pengarang seluruh lagu operet Natal anak itu. Tetapi karena hari ini hukuman Tuhan yang harus saya tanggung selama sekian belas tahun, telah dinyatakan-Nya selesai.
                                         - o -
Suatu ketika saya ditunjuk menjadi Sie Nyanyian dalam panitia Natal Anak dengan tugas menentukan lagu-lagu untuk kebaktian dan perayaan Natal anak Sekolah Minggu. Saya tidak suka dengan lagu-lagu Natal anak yang selama ini dipergunakan karena terasa tidak pas untuk mereka. Karena itu saya berdoa kepada Tuhan untuk meminta talenta kedua: mengarang lagu anak untuk kemuliaan Nama-Nya, bukan nama saya. Ini permintaan nekad, karena di paduan suara gereja saya adalah orang yang paling sering kena marah. Saya tidak pernah bisa membaca notasi angka dengan benar. Ibarat tidak pernah bisa naik sepeda tetapi minta bisa mengemudikan motor Harley Davidson.
 
Tuhan memang baik hati. Seminggu kemudian Tuhan meluluskan permintaan saya. Enam lagu Natal anak berhasil saya buat dengan mengandalkan gitar dan keyboard mainan. Ketika saya mendemokan lagu-lagu itu di depan sekitar 75 guru SM, banyak yang mengritiknya. Syair terlalu puitis, melodi duniawi, tempo terlalu cepat. Voting terpaksa dilakukan. Dengan kemenangan tipis, lagu-lagu saya boleh jalan terus. Bangga sekali hasil karya saya dinyanyikan oleh sekitar 1100 mulut anak-anak.    
 
Natal berikutnya pos SM tempat saya mengajar mendapat giliran tugas mementaskan Kisah Natal Pertama. Ada tradisi dalam SM kami yang mengharuskan pementasan kisah itu di setiap Natal Anak. Biasanya kisah ini dipentaskan dalam bentuk sandiwara atau gerak dan lagu. Saya melihat ketika mata acara ini berlangsung anak-anak tidak memerhatikannya. Mereka bosan karena sudah tahu alur ceritanya bahkan hafal dialoknya. Karena itu saya mau menyajikan dalam bentuk lain. Operet – opera kecil – di mana seluruh dialok dan narasi dinyanyikan. Tidak lebih dari 2 minggu naskah operet itu selesai saya tulis. Ketika saya mendemokan kepada beberapa rekan guru SM, komen yang saya terima miring semua. Singkat kata, lagu-lagunya jelek. Tetapi karena “better something than nothing” akibat tidak adanya waktu untuk mencari penggantinya, mereka sepakat menerimanya. Saya malu. Karena itu saya tidak mencantumkan nama saya di naskah operet itu. Saya malu bila orang tahu sayalah penulis lagu-lagu jelek itu.
                                                – o –
Panggung itu memang sempit. Ketika beberapa anak yang memerankan petani dan peternak bergerak, anak-anak balita yang merangkak di sekitarnya dengan topi domba terdesak ke tepi panggung. Ricky yang masih imut-imut terlalu ke pinggir sehingga terguling. Untung guru yang ada di dekatnya sigap menangkapnya sehingga ia tidak jatuh ke lantai. Beberapa ortu terlanjur menjerit. Operet terhenti. Ketika Ricky bersiap-siap menangis karena terkejut, gurunya berkata, “Ricky sedang jadi domba. Jadi kalau mau menangis, menangisnya harus seperti domba. Tahu bagaimana domba menangis? Embeeeeek.” Ricky tertawa dan segera bergabung dengan domba-domba lainnya. Semua penonton ikut tertawa.
 
“Musiiiiiiiik, mulai dari awal!” teriak sang sutradara. Musik dari sebuah organ, gitar, botol-botol galon kosong sebagai kendang dan botol-botol plastik kosong yang diisi kerikil terdengar kembali. Petani dan peternak yang mengenakan pakaian daerah Tapanuli kembali bergerak dan bernyanyi bersahutan. Tetapi suara yang keluar dari pengeras suara bukan suara mereka. Kami hanya punya 3 mike dan semuanya dipegang oleh para penyanyi di bawah panggung. Para pemain menyanyi dengan cara dubbing. Karena sudah berlatih, gerak bibir mereka sesuai.
 
Aku beternak kambing domba,
aku menanam sayur dan gandum,
Hidup bahagia di tanah perjanjian,
Karna ‘ku taat, Tuhan memberkati.
 
                                                 – o –
Tuhan juga telah memberkati saya dengan sebuah talenta baru. Tetapi talenta itu tidak istimewa. Bahkan tidak dapat dibanggakan. Seperti bila saya mendapat baju baru dari ayah dan karena teman-teman mengejeknya ketika saya mengenakannya, saya menyembunyikannya dalam gudang.
 
Saya tidak melihat pementasan pertama operet itu karena mendadak kantor menugaskan saya keluar kota untuk beberapa hari. Saya tidak merasa rugi, bahkan bersyukur karena tidak mendengar bila ada yang mengejeknya. Saya tidak merasa kehilangan ketika selesai Natal saya tidak menemukan naskah operet itu di lemari buku saya.
 
Beberapa tahun kemudian saya ditugaskan ke Surabaya. Di sana saya bertemu dengan seorang teman dan ia mengajak saya ke rumahnya. “Waktu aku pindah ke Surabaya, ada barangmu yang terbawa,” katanya sambil mengulurkan sebuah buku tulis kumal dan sebuah kaset audio. Tanpa membukanya saya tahu itulah naskah asli operet yang saya tulis dengan pinsil. Di buku itu juga teman saya ini menggambar gerak tari para pemainnya karena dialah koreografernya pada pementasan pertama.
 
“Tanpa ijinmu aku sudah mementaskannya di gerejaku. Lalu tahun-tahun berikutnya aku diundang 2 gereja lain untuk melatih anak-anak SM-nya. Minggu depan remaja sebuah gereja akan mementaskannya untuk perayaan Natal umum. Kamu datang ya.”
 
Sayang, saya sudah harus kembali ke kota kelahiran sebelum tanggal pementasannya. Dalam kereta malam yang membawa saya pulang, saya membuka buku tulis itu. Saya tidak menyangka operet yang telah saya campakkan ini dipentaskan di Surabaya berulang kali. Saya tidak menduga apa yang saya nilai jelek ternyata dinilai lain oleh orang lain. Tetapi, bagian manakah yang membuat orang-orang menggemari naskah ini? Saya menggumankan lagu-lagu itu. Ketika sampai pada lagu yang menggambarkan kesulitan Yusuf dan Maria mencari tempat menumpang, ritme lambat lagu itu membuat saya larut dalam kesedihan.
                                                      – o –
Tiga penduduk telah menolak Yusuf dan Maria. Mereka perlahan melangkah di panggung. Musik mengalun dengan tempo lambat. Maria berhenti di tengah panggung. Perlahan ia melipat lututnya dan duduk bersimpuh dengan wajah sendu.
 
Yusup, kini tak ada lagi tempat untuk berteduh.
Maria, jangan bersedih hati, kuatkanlah dirimu.
Yusup, aku merasa sudah, Putra Allah ‘kan lahir.
Slalu Tuhan beserta kita, tempat tentu diberi.
 
Dua anak bergegas ke tepi panggung. Masing-masing memegang sebilah bambu yang ujung-ujung atasnya dihubungkan dengan tali untuk menggambarkan sebuah pintu rumah. Doni yang tubuhnya bulat berdiri di antara 2 bilah bambu itu. Yusuf dan Maria bergerak mendekati. Yusuf dalam bahasa tubuh menanyakan apakah ada tempat bagi mereka untuk menginap.
 
Tempo musik berubah dari lambat menjadi cepat dan masuk ke intro sebuah lagu. Tetapi Doni tidak bergerak ke tengah panggung. Ia masih saja berdiri di pintu. Ia senyum-senyum melihat bulatan perut Maria bergeser ke samping dan berusaha memberi tanda agar Maria menggesernya kembali ke depan. Seorang pemegang bambu tidak sabar. Ia mendorong pantat Doni sehingga ia terlompat ke depan. Doni mulai bergoyang mengikuti ritem musik.
 
Tak ada tempat,
rumahku kecil.
tapi di belakang, ada kandang, tempat binatang,
jikalau kau mau boleh saja engkau menumpang.
 
                                                    – o –
Talenta yang Tuhan beri juga saya tempatkan di belakang agar tidak dilihat orang. Mungkinkah menempatkannya kembali ke ruang tamu? Buku tulis kumal itu saya buang setelah menyalinnya di atas kertas baru. Beberapa baris syair dan melodinya saya perbaiki.
 
Ketika penduduk Kristiani di komplek perumahan di mana saat itu saya tinggal berencana mengadakan perayaan Natal bersama, saya melatih anak-anak mereka untuk mementaskan operet itu. Pada hari perayaan itu, pagi harinya di kantor saya diperintahkan untuk segera berangkat ke sebuah kota untuk mengatasi sebuah masalah. Kembali saya tidak bisa melihat operet itu dipentaskan walaupun saya sendiri yang melatih para pemainnya.
 
Kemudian saya bersama keluarga pindah ke Jakarta. Di kota ini ketika saya duduk dalam panitia Natal anak, saya mengajukan naskah operet ini. Rapat panitia menolaknya dengan alasan tema operet ini tidak pas dengan tema Natal yang telah ditetapkan. Saya sedih. Apakah Tuhan sedang menghukum saya karena pernah malu mengakui operet ini ciptaan saya?
 
Beberapa tahun kemudian adik saya menelepon untuk minta ijin mementaskan operet itu di gerejanya. Ia menemukan salinan naskah itu di rumah saya yang saat itu didiami oleh orang tua saya. Panitia Natal Anak gerejanya telah menyetujui untuk mementaskannya di sebuah gedung olah raga. Natal Anak tahun itu dipusatkan di satu tempat. Ini berarti sekitar 2400 anak akan menyaksikannya. Untuk acara akbar ini mereka menyewa koreografer, guru musik untuk membuat aransemen lagu dan guru vokal untuk melatih para penyanyinya. Saya senang sekali. Saya mencatat tanggal perayaan itu. Kemudian jauh-jauh hari saya mengajukan permohonan cuti Natal agar saya bisa kembali ke kota kelahiran dan menyaksikan pementasan operet itu.
 
Sehari sebelum tanggal itu saya telah kembali ke kota kelahiran. Saya telepon adik saya yang tidak tinggal serumah dengan orangtua saya untuk menanyakan perayaan Natal Anak gerejanya dimulai jam berapa. “Ya ampun!” teriaknya. “Aku memang keterlaluan. Saking sibuknya aku lupa memberitahu kamu. Tanggal perayaan itu mendadak dimajukan karena bertabrakan dengan acara lain. Acaranya diselenggarakan 2 hari yang lalu.” Kalimat-kalimat berikutnya tidak dapat saya dengar karena kesedihan yang teramat sangat melingkupi jiwa saya. Tuhan betul-betul sedang menghukum saya! Keesokan harinya adik saya datang. Sambil berulang-ulang meminta maaf ia menunjukkan foto-foto pementasan operet itu.
 
“Yang hadir sekitar 3200 anak karena anak-anak SM dianjurkan mengajak tetangganya,” katanya. “Mungkin dengan orangtua yang datang mengantar anaknya, jumlah seluruhnya mencapai 4000 orang.” Saya tidak berkomentar. Saya membalik-balik album itu dengan hati perih.
                                                     - o -

               Di atas panggung 4 malaikat berpakaian Jawa dengan selendang panjang yang ujung-ujungnya dikaitkan ke jari mereka untuk menggambarkan sayap, mendekati seniornya. Mereka mendapat tugas untuk turun ke bumi mengabarkan pintu surga telah terbuka bagi manusia. Mereka mempertanyakan mengapa manusia yang tidak suci diperbolehkan masuk ke tempat suci.
Kepala malaikat itu menjawab,
 
Karunia Allah ini, tidak mudah dimengerti.
Besar agung kasih Allah, hingga Putra-Nya dikirim ke dunia.
Di Betlehem Dia tlah lahir, jadi manusia tanggung dosa dunia.
 
Karunia Allah ini, hanya dapat diimani.
Besar agung kasih Allah, utus Putra-Nya mati ganti manusia.
                                                - o -

              Sejak peristiwa itu saya menyimpan naskah operet ini. Saya tidak lagi menyodorkan kepada gereja tempat saya berjemaat. Ketika saya berdomisili di Palembang, juga ketika saya tinggal di Padang. Tetapi setiap malam Natal, dalam kesendirian di rumah, saya membuka kembali naskah itu. Sendirian menyenandungkan di malam sunyi sambil meratapi dosa saya yang telah menyampahkan talenta yang Tuhan karuniakan itu.
 
Karunia Allah memang tidak mudah dimengerti. Seharusnya ia mencabut total talenta itu. Tetapi Tuhan tidak melakukannya. Kemampuan mengarang lagu tidak Tuhan ambil kembali. Saya masih bisa membuat beberapa lagu baru untuk anak-anak SM. Saya juga dimampukan untuk mengoreksi operet itu dan melengkapinya dengan beberapa lagu baru.
 
Pada tahun 1998 ketika tinggal di Medan, saya mendengar panitia Natal SM tidak berhasil mendapatkan naskah sandiwara untuk mereka pentaskan. Lalu saya menyodorkan naskah operet itu. Mereka setuju untuk memakainya. Tetapi saya tidak mau menanganinya karena saya tidak bisa memastikan apakah pada hari pementasannya saya tidak keluar kota. Saya betul-betul tidak berani berharap bisa melihat pementasannya. Bahkan berdoa meminta Tuhan mencabut hukuman ini pun saya sudah tidak berani lagi. Sudah sepantasnya saya dihukum.
 
Karena itu ketika tanpa terduga saya bisa menghadiri pementasan ini, saya senang luar biasa. Biar pun pementasannya dilakukan dengan sarana yang amat terbatas, saya melihat dengan mata basah. Hari ini Tuhan telah mencabut hukuman saya. Hari ini untuk pertama kalinya saya melihat operet ini dipentaskan. Sebuah operet yang saya buat atas karunia Tuhan hampir dua puluh tahun yang lalu. Sebuah operet yang saya tulis di sebuah kota yang jauhnya ribuan kilometer dari panggung sempit ini.
 
“Terima kasih, Tuhan,” saya berdoa dalam hati. “Inilah kesukaan besar yang Kau berikan kepada saya pada Natal tahun ini. Hari ini Engkau telah menyatakan hukuman saya telah berakhir.”
 
Doa syukur saya terputus ketika semua orang di gereja kecil itu berdiri. Di atas panggung para pemain dan penyanyi berjajar rapi. Mereka telah sampai ke bagian penutup operet. Sang sutradara meminta semua yang hadir bersama-sama menyanyikan sebuah lagu, yang telah diajarkan di kelas-kelas Sekolah Minggu beberapa minggu yang lalu.
 
“Musiiiiiik, go!” ia berseru lantang. Botol-botol galon ditabuh bertalu-talu merangkai ritme dangdut. Sang sutradara menggoyang tubuh. Yang lain mengikuti sambil bertepuk tangan. Organ memainkan intro. “Ayo anak-anak kita bergembira. Kita menyanyi sambil bergoyang,” teriaknya.
 
Aku senang Yesus mau datang untuk semua.
Tak memandang kulit badanku apa warnanya.
Tak peduli wajahku tampan ataupun seram.
Tak bertanya aku di sekolah rengking berapa.
Ku bahagia (Akupun juga)
Yesus datang slamatkan kita
dari dosa yang hina ke dalam sorga mulia
 
                                        (the end)
PS:
1* Lagu-lagu operet selengkapnya klik di sini.
 

2* Seorang blogger SABDAspace, Madiarti_11, memberitahu tanggal 8 Desember 2008 operet ini dimainkan dalam Natal Sekolah Minggu GKI Bintaro Utama di Pulau Situ Gintung dengan judul “Yesus datang untuk siapa?”Kisah di balik pementasan ini selengkapnya dapat dibaca disini.