Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Nine-One-one

anakpatirsa's picture

Kata orang, tandanya bakalan kehilangan sesuatu adalah bermimpi mendapatkan sesuatu. Tetapi malam itu aku tidak bermimpi mendapat hadiah apapun. Sama sekali tidak ada firasat, tidak ada mimpi aneh, bahkan tidurpun sangat nyenyak. Ini membuatku hanya bisa terpaku ketika melihat ruangan pendaftaran yang berantakan. Lemari arsip terbuka lebar, map dan kertas ujian berserakan di lantai. Tape combo yang terlalu sering mengalunkan lagu dangdut sudah lenyap dari atas meja. Kaca ventilasi di samping lemari sudah pecah dan berserakkan di lantai, memastikan tamu tak diundangnya memang tidak melewati pintu depan.

"Jangan sentuh apapun," kataku kepada Dani, satu-satunya peserta kursus yang sudah ada di tempak ini saat kantor masih sepi.

Sudah sering membaca cerita detektif sehingga merasa tahu apa yang seharusnya dilakukan semua orang saat berada di lokasi kejahatan. "Jangan menyentuh apapun, jangan memindahkan apapun, dan jangan merusak barang bukti. Biarkan keadaannya tetap seperti itu sampai polisi datang," kira-kira begitulah kesimpulan yang bisa kutarik dari buku-buku itu. Katanya ini memudahkan petugas polisi atau detektif melacak pelaku kejahatan.

Aku datang ke kantor pagi-pagi, bukan karena ingin menjadi employee of the month, tetapi memang tugasku untuk sementara membuka pintu tempat kursus komputer ini. Tugas yang tidak benar-benar bisa 'kuhayati', beberapa kali teman-teman harus menjemput saat aku mengalami kesulitan menamatkan mimpi.

Dani, pria tiga puluhan bertubuh tinggi kurus yang ikut melongokkan kepalanya di pintu, adalah peserta kursus yang menurutku sangat menjengkelkan. Tidak terlalu pintar tetapi juga tidak terlalu bodoh. Seperempat jam sebelum kantor buka, ia sudah duduk manis di kursi teras. Kalau boleh jujur, aku tidak menyukai tipe ini. Tipe orang yang waktu sekolah membuat guru ingat ada PR, tipa murid yang dengan perut keroncongan tetap mengancungkan tangan saat guru berkata, "Ada pertanyaan?"

Ia selalu tersenyum menyambutku, tidak tahu dirinya memberi senyum pada orang yang dari jauh sudah kehilangan mood saat melihat sebuah motor jelek yang parkir di depan teras. Aku selalu membalas senyum ini dengan senyum yang menurutku masam, tetapi tetap saja ada yang berkata "Itu bukan senyum masam, orangnya memang begitu. Kebiasaannya saja kalau harus bangun pagi-pagi."

"Ini kenapa?" tanya Dani dari belakangku, membuatku sadar ada orang di belakang. Menurutku ini hanya pertanyaan basa-basi, ia tahu apa yang telah terjadi.

Aku hanya diam, benar-benar yakin ia sudah tahu jawabannya. Sebuah pikiran baru muncul di kepala, pikiran yang pasti tidak benar, "Mungkinkah si Dani ini pelakunya?" sadar kalau ini hanya pikiran jahat yang sedang mencari-cari kesalahan orang yang tidak disukai.

Tempat kursus ini merupakan bekas aula sebuah perguruan tinggi swasta. Setelah kampusnya pindah, kantorku menyewanya. Menyekatnya menjadi beberapa ruangan menggunakan tripleks. Ada dua ruangan yang dinding atasnya sengaja dipasangi kaca supaya segala kegiatan di dalamnya bisa dilihat dari luar, keduanya menjadi ruang komputer. Lalu sisanya, tiga ruang tanpa kaca, menjadi ruang teori.

Dari tempatku terpaku, bisa kulihat bagian dalam ruang komputer. Ruang pertama, ruang DOS, isinya benar-benar berantakan. Semua CPU terbuka. Ruangan ini berisi sepuluh komputer Pentium MMX tanpa hardisk. Tamu tak diundangnya pasti kecewa menemukan kenyataan ini, mereka tidak tahu komputer di ruangan ini hanya dipakai untuk belajar Wordstar 6.0 dan Lotus 123 yang hanya membutuhkan sebuah disket. Tetapi tetap saja mereka mendapatkan sesuatu, printer tua EPSON LX-800 yang bunyinya seperti penyanyi opera kejepit pintu sudah lenyap.

Ruang kedua, ruang Windows bernasib saja. Namun tidak ada CPU terbuka, karena semuanya sudah lenyap. Tiga komputer Pentium II di ruangan ini hanya tersisa bekasnya. Komputer-komputer ini dipakai untuk belajar Windows 3.11 dan Microsoft Office 6.0 serta AmiPro 3.0. Hanya itu.

Panik? Sangat! Seolah-olah dunia mau runtuh. Terlalu banyak menonton film detektif di televisi sehingga sadar, orang pertama yang dicurigai adalah pemegang kunci. Apalagi baru beberapa hari tidak ada penjaga malam. Bos memintaku tidur di kantor, tetapi aku menolaknya, sudah saatnya mencari penjaga malam profesional. Dulu aku memang tidur disini, tetapi akhirnya menyadari kantor bukanlah tempat tidur yang menyenangkan. Seorang teman bersedia menggantikan, tetapi hanya bertahan seminggu. Ia juga merasakan hal yang sama.

Kemalingan setelah seminggu tidak ada penjaga malam membuatku sedikit takut. Bisa-bisa aku yang dituduh. Hanya orang tertentu, termasuk si Dani, yang tahu tempat ini tidak dijaga. Memang sengaja kami rahasiakan, supaya orang tetap mengira ada orang di dalam, termasuk juga dengan tetap menyalakan beberapa lampu.

Di film, polisi biasanya menanyakan siapa yang pertama kali masuk ruangan, lalu siapa-siapa yang punya kunci. Terakhir bertanya dimana semua orang pada saat kejadian. Namanya mencari alibi. Alibiku? Aku bingung apa yang terjadi saat mereka menanyakan alibiku.

"Kamu tadi malam di mana?"

"Aku di rumah."

"Bersama siapa?"

"Sendirian."

"Mengerjakan apa?"

"Nonton televisi."

Artinya aku tidak punya alibi. Tidak ada saksi yang menguatkan alibiku. Sendirian di rumah, dan tidak beranjak dari depan televisi sampai tengah malam. Lalu masuk kamar hanya untuk tidur, tanpa mimpi mendapat rejeki nomplok. Aku pasti akan masuk daftar orang yang dicurigai!

Telepon kantor terkunci sehingga tidak bisa langsung menghubungi Pak Untung, bosku. Aku meminta Dani untuk mengantarku ke telepon umum, tidak jauh dari situ.

Menghubungi bosku, berkata kantor kemalingan.

"Apa-apa saja yang hilang?" tanyanya setelah aku bercerita tentang tamu tak diundang tadi malam.

"Semua komputer Windows, tape, printer. Komputer DOS aku tidak tahu, tetapi semuanya berantakan. Aku belum masuk ke dalam ruang komputer," jawabku.

"Makanya kenapa aku minta tolong kalian tidur di sana," ada nada menyalahkan, "sekarang semuanya sudah hilang. Bagaimana ini?"

"Aku telpon polisi, ya?" kataku, tidak peduli apa yang ia katakan.

"Untuk apa?" katanya pendek. Heran dengan jawaban ini. Bukankah hal pertama yang harus dilakukan adalah melapor ke polisi?

"Kita perlu menelpon polisi." kataku sedikit menegaskan, bisa merasakan nada mendesak dalam suaraku sendiri.

"Kalau kamu mau, silahkan saja," katanya, "aku segera ke kantor. Liburkan saja semuanya hari ini."

Aku menghubungi 110.

"Hallo, Pak. Saya mau melaporkan pencurian di jalan Yos Sudarso, ..." aku tidak ingat semua yang kukatakan waktu itu.

Terdengar jawaban yang tidak jelas, lalu tiba-tiba telepon ditutup, membuat kaget. Ini tidak seperti yang di televisi.

Aku menelpon nomor yang sama, dan berkata cepat tentang sebuah pencurian. Mungkin karena suara panikku, si penerima tidak mengerti apa yang didengarnya, sehingga kembali langsung menutup pesawat telpon.

Mungkin juga ia mengira ada orang main-main, atau mungkin sambungan telponnya yang tidak bagus. Aku tidak tahu. Aku akhirnya memutuskan ke wartel saja, ada wartel sekitar setengah kilometer dari kantor.

Dani mengantarku ke sana, aku bicara lebih pelan di wartelnya. Menjelaskan siapa aku dan mengapa menelpon.

"Kalau mau melapor, langsung datang kesini, Dik," kata penerima telpon. Baru tahu prosedurnya, datang langsung ke kantor polisi kalau kecurian. Terpikir, mungkin saja di telpon umum tadi aku sudah diminta datang langsung, hanya aku tidak mendengarnya.

"Kemana melapornya?" tanyaku.

Ia menyebutkan alamat yang sudah aku tahu, dua kilometer di luar kota. Dulu, waktu SMA, hampir setiap sore melewatinya bersama sepupu. Kami mengambil kayu bakar dari luar kota, langsung mengantarnya ke rumah pelanggan. Selalu ingat, hanya di depan kantor polisi ini dan di depan markas tentara yang terletak empat kilometer setelah itu, sepupuku mematuhi tanda kecepatan maksimum, 30 km/jam.

Kembali menelpon bos, berkata aku harus ke kantor polisi. "Kamu boleh mengambil keputusan sendiri yang berhubungan dengan polisi," katanya, sekalian berkata sebentar lagi ia berangkat ke kantor.

Kembali kuminta Dani mengantar ke kantor Polisi. Sudah jam 8 lewat, pasti sudah banyak orang di kantor, tetapi aku tidak peduli. Aku harus langsung berangkat, sebelum orang yang tidak pernah menonton film detektif merusak TKP.

Kantor polisi sudah sibuk, apalagi sudah hampir jam sembilan. Petugas di gerbang menunjukkan tempat yang harus kami datangi. Sudah banyak orang disana, semuanya antri seperti di ruang tunggu dokter gigi. Giliranku tiba 45 menit kemudian.

Polisi didepanku mengingatkanku pada Pak Sofian, polisi di kampung yang terkenal karena kumis melintangnya. Sebenarnya terkenal karena sebuah cerita burung. Katanya, suatu hari ia mencondongkan kepala sambil mengendus-ngendus, mencari sumber bau kotoran manusia. Ia baru menemukannya setelah seorang anak melihat kotoran manusia yang menempel di kumis melintang itu. Sepertinya hanya sebuah cerita burung karena petani yang iri karena tidak mampu memelihara kumis melintang seperti itu.

Betapa aku ingin ia bertanya apakah tempat kejadian sudah 'dirusak'. Supaya dengan bangga bisa berkata kalau sudah tahu aturan standarnya. "Tidak boleh menyentuh apapun." Namun pertanyaan itu tidak kunjung muncul, ia hanya bertanya tentang barang-barang apa saja yang hilang dan kisaran harga masing-masing barang.

Seperempat jam wawancara ini selesai, ia menyuruh aku kembali duduk, berkata, "Sebentar lagi kami berangkat kesana."

Seperempat jam kemudian ia menyuruhku menemui regu polisi yang akan berangkat, "Mereka sudah di luar," katanya.

Akupun meninggalkan ruangan ini, melihat empat orang polisi sudah duduk di bagian belakang pickup polisi yang memang dari tadi sudah parkir di depan. Seorang bertubuh agak gemuk sudah duduk di belakang kemudi. Seorang lagi, tanpa kumis melintang, menghampiriku. Mengatakan sesuatu dengan sedikit berbisik, "Nanti bilang sama pimpinannya ya, kalau kita perlu uang bensin."

"Ya," kataku, baru tahu mobil polisi perlu uang bensin.

Dani memboncengiku mengikuti mobil ini. Sama sekali tidak berharap mereka membunyikan sirine. Sekitar jam sebelas sampai di kantor. Seperti yang sudah kuduga, banyak orang disana, apalagi setelah melihat sebuah mobil polisi. Lebih banyak lagi orang yang datang.

"Katanya mereka minta uang bensin, Pak" bisikku sama bos ketika mendapat kesempatan berbicara tanpa orang lain bisa mendengar. Bosku seorang pria empat puluhan, beranak tiga dan beristeri satu yang sedikit pecemburu. Istrinya suka datang ke kantor hanya untuk memastikan suaminya tidak kemana-mana, betapa kami sangat direpotkan olehnya ketika suaminya menerima janda langsing sebagai resepsionis.

"Ya!" jawab Pak Untung singkat, sepertinya sama sekali tidak kaget.

Aku sangat kaget dan kecewa ketika memasuki tempat kursus ini lagi. Semuanya sudah rapi, sudah tidak ada kertas berserakan di lantai, bahkan pecahan kaca sudah dibereskan, kantor sudah disapu, bahkan kedua ruang komputer sudah dibuka.

"Tidak akan ada lagi sidik jari," kataku dalam hati, sedikit kecewa.

Polisi melihat-lihat sebentar, terutama di jendela ventilasi yang bolong, serta masuk ke ruang komputer, mencatat apa yang mereka lihat. Lalu sepuluh menit kemudian pamit. Aku bisa melihat bosku menyelipkan kertas bergambar Pak Harto di tangan polisi yang sepertinya berpangkat paling tinggi.

Waktupun berlalu, semua barang yang dicuri itu hilang untuk selamanya.

Rusdy's picture

Kebanyakan Nonton Pelm

""Tidak akan ada lagi sidik jari," kataku dalam hati, sedikit kecewa Itu namanya kebanyakan nonton pelm CSI kalii :). Apalagi kalo mao ngitung-ngitung gaji polisi, ples budget buat pelm-style 'Crime Scene Investigation', walah, para pejabat nggak bisa korup lagi dong? Wong uang bensin aja nggak ada :P Catetan: sambil ngomen di atas, sambil sedih sendiri, betapa bobroknya penegakan hukum, karena masalah kekurangan dana, yang karena dikorupsi
hotmida lubis's picture

so?

gitu doank? kaga ada kelanjutan gimana2nya? semua berlalu gitu ajah?
__________________

GBU

smiley girl's picture

Pak Pencuri dan Pak Polisi

Semua Pencuri terbesar di negera kita?

 

PolisiĀ 

anakpatirsa's picture

Semua Berlalu Begitu Saja

He.. he.. Sebenarnya ada kelanjutan ceritanya, tetapi tentang nasib barang-barangnya sama sekali tidak ada kabar berita lagi. Siang itu aku diminta mengantar istri bosku ke dukun, disana kami juga antri. Di sana banyak mendengar cerita tentang kehebatan dukun ini, beberapa kali ia membuat malingnya mengantar kembali apa yang dicuri. Ia memberikan sejumput beras yang sudah dimanterai, lalu aku harus mengantar istri bosku ke empat jalan terbesar di kota itu, menabur beras itu di tengah jalan, kata dukun suatu saat pasti malingnya melewati beras ini, dan akan mengembalikan barang yang dicuri. Saat pulang istri bosku juga memberi beberapa lembar gambar Pak Harto untuk si dukun. Mungkin ada ayam yang mematuk beras itu sehingga ketika malingnya melewatinya, beras itu sudah tidak ada.
Penonton's picture

Polisi indonesia kagak perlu sidik jadi...

Hii semua,

Pernah melihat polisi-polisi indonesia, terutama yang bertugas di kota-kota kecil (atau malah mungkin juga sering terjadi di kota-kota besar)mencoba memeriksa lokasi perkara?

Khususnya untuk kasus-kasus pencurian... Saya tidak tahu apakah, hanya saya saja yang tidak beruntung atau orang lain juga mempunyai pengalaman yang sama, karena mendapatkan pelayanan yang seperti itu (polisi hanya berlagak memeriksa...tidak sampai 10 menit...), atau mungkin polisi Indonesia tidak mempunyai file yang menyimpan rekord sidik jari?

Yang pasti untuk kasus-kasus pencurian polisi Indonesia jarang sekali, menggunakan metode sidik jari.

Kalau anda melihat drama-drama seperti CSI,LAPD,City Homeside,Dll akan terlihat memang, bahwa polisi kita sangatlah minim dalam kwalitas, tapi sebaliknya paling jago dalam urusan memungut biaya penyelidikan dan uang bensin/rokok.

Polisi Indonesia, terkenal sebagai salah satu yang paling brengsek dan gak tau malu...

Maafkan saya untuk mengatakan ini, akan tetapi kebanyakan dari mereka (tidak semua) hanyalah polisi-polisi yang lebih terkesan haus darah (uang), daripada haus untuk membongkar kasus.

Pokoknya ,coba hindari berurusan dengan polisi deh..... itu saran yang sering saya dengar dari banyak orang......

Hal itu membuktikan bahwa untuk di Indonesia khususnya, polisi tidaklah mendapat kepercayaan di lingkungan masyarakat, dan juga mempunyai image yang buruk,yang tidak sesuai dengan tugas kewajiban utama polisi sebagai pekerja dan pelindung masyarakat.

Akhirnya kembali kepada diri kita sendiri......memilih untuk berurusan dengan polisi yang sering kali juga meminta uang yang tidak sedikit, atau selalu waspada agar kita terhindar dari pencurian....semuanya terserah anda....

From OZ....far...far...away..

 

__________________

xxx