Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Hati seluas lautan

mujizat's picture

Hulu sungai biasanya berukuran kecil, mungkin itu sebuah selokan kecil di puncak bukit, barangkali juga terhubung ke sumber mata air di lereng gunung. Lalu mengikuti kontur permukaan tanah, ditarik gravitasi bumi, kerumunan air terus berjalan ke tempat yang lebih rendah. Pepohonan yang cabangnya menjulur di atas selokan menggugurkan dedaunan kering dan juga ranting-ranting lapuk dan jatuh ke permukaan air lalu hanyut mengikuti aliran air, bagaikan sampan-sampan mikro dan mereka terus berjalan walau tidak tahu entah kemana. Beberapa "selokan" bergabung, semakin banyak dan semakin banyak, beberapa diantaranya adalah saluran pembuangan limbah rumah tangga yang membawa sampah-sampah cucian, ada detergent, sabun colek, dan lain sebagainya. Setelah cukup jauh dari pangkal start point, jalan air itu sudah sedemikian besar, disebut: sungai, dan mencapai ukuran terlebarnya ketika bertemu lautan lepas. Maka berhentilah "rombongan" aliran air sungai beserta penumpang-penumpangnya di tepian lautan lepas.

Ajaibnya, Tuhan memberikan kandungan garam kepada air laut dengan sifat-sifat khasnya, yang antara lain dapat mempercepat proses pembusukan pada bahan-bahan sampah tertentu sehingga normalnya proses pembusukan tidak mengganggu harmoni alam untuk waktu berabad-abad. Tetapi ulah manusia yang memungkinkan terbawanya sampah-sampah berbahaya yang mungin sulit diurai secara alamiah bahkan oleh air laut, maka hal seperti inilah yang dapat menggoncang kesetimbangan ekosistem.

Dapat dibayangkan jika muara sungai merupakan sebuah danau kecil yang terpisah dari lautan lepas dan yang tidak mengandung garam dan tidak ada sistem pengurai sampah, maka danau itu dapat menjadi tempat sampah raksasa.

Kembali ke soal lautan lepas. Ukuran luas dan volume air laut yang relatif sangat besar jika dibandingkan volume sampah memungkinkan proses penguraian sampah di tepian lautan tidak terlambat. Itulah hebatnya mekanisme daur sampah yang diciptakan Tuhan.

Hal senada dapat kita terapkan dalam wilayah kerohanian.

Hati seseorang diibaratkan tempat penampungan. Informasi visual yang masuk lewat mata dicerna oleh pikiran dan akal budi sehingga jiwa seseorang memperoleh pengertian dan mungkin mencapai tingkat pemahaman. Informasi yang telah teridentifikasi oleh mekanisme akal budi itu lalu masuk ke bilik memory, atau sederhananya: masuk ke "hati" (saya rasa bukan dimaksudkan sebagai liver atau hepar, tetapi sistem memory manusia). Demikianlah, hati menjadi gudang penyimpanan informasi dan juga data. Masukan lain (input) juga datang lewat telinga, lewat lidah, lewat kulit juga, atau mungkin lewat "indera keenam" dan "indera ke tujuh", dan semua itu terekam dan tersimpan di hati.

Data atau informasi negatif saya kategorikan sebagai sampah.

Sama seperti jika muara sungai masuk ke laut kecil berkemungkinan bahwa sampah-sampah yang masuk akan merusak kesetimbangan laut itu, maka hal serupa dapat terjadi jika seseorang tidak memiliki keluasan hati tetapi ia menampung terlalu banyak informasi negatif, misalnya keluhan-keluhan, cacian-cacian, umpatan, kata-kata kotor, perkataan yang menghina, perkataan yang meendahkan dan hal buruk lainnya, maka besar kemungkinan hal itu akan "mengotori" hati.

Jika suatu hari Anda mengalami hal yang membuat Anda depresi, lalu Anda kelelahan kemudian tidur, maka jika di saat tidur Anda seolah begitu lupa dengan masalah Anda, maka itulah istirahat yang baik buat Anda, tetapi kalau Anda sudah bangun, biasanya mekanisme otak Anda akan segera mengingatkan Anda - sebagai reminder - atas masalah yang kemarin, dan Anda kembali "bergumul" dengan masalah yang kemarin. Itulah bagaimana "sampah" dapat mengotori hati.

Yesus bersabda, yang bermakna: "Yang terbesar diantaramu hendaklah menjadi pelayanmu". Siapakah yang terbesar atau yang dianggap terbesar secara rohani di sebuah gereja? Normalnya dia adalah gembala jemaat atau gembala lokal, dan saya bicara dalam konteks gereja lokal.

Seorang gembala lokal yang tahu tugasnya, ia akan sadar bahwa dia bertugas menampung semua "sampah" jemaat dan mengolahnya dengan hikmat Allah, sehingga dengan pertolongan Roh Allah dapat menyediakan solusi bagi jemaat. Gembala lokal perlu memiliki hati seluas lautan, dimana segala sampah yang masuk tidak sampai merusak kesehatan rohani dianya sendiri, tetapi dia disanggupkan Tuhan untuk menguraikan "sampah-sampah" dan menjadi berkat rohani buat jemaat. Untuk gembala yang bertanggung jawab, maka dia memang pantas untuk menerima "berkat materi" dari gereja atau jemaat. Sebaliknya, untuk gembala yang tidak menyadari tugasnya, atau yang sadar tugasnya tetapi tidak lakukan tugasnya itu, maka yang seperti itulah yang berpotensi memproduksi sampah yang lain.

__________________

 Tani Desa