Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

NELANGSA

SAMMY SIGA's picture

Aku menyeruput sisa minuman di gelas untuk terakhir kali.

"Ok," aku menganggukkan kepala mengiyakan. Beriringan kami mengayunkan langkah menuju parkir.

Sampai di sana, karena lokasi mobil yang berbeda, kami saling melambai mengisyaratkan perpisahan.

***

 

Menghenyakkan tubuh di belakang setir, sembari memutar kontak, pikiranku melanglang ke masa-masa kuliah dulu.

Dia adalah sahabat karibku. Seorang yang sangat baik hati. Rendah hati, lemah lembut, suka menolong, meski juga kadang, memiliki kepala batu. Toh, itu  tak menggoyahkan penahbisan kategori orang yang sangat menyenangkan.

Namun, malang, dalam percintaan, dia selalu kurang beruntung. Ah, memang tidak ada formula pasti, bahwa orang baik, akan selalu beruntung, batinku nelangsa.

Sejak menjelang semester ketiga, dia telah jatuh hati pada seseorang dari fakultas berbeda. Enam bulan pedekate, diberanikannya nembak sang pujaan.

O ow.... Ajakan sang pujaan berteman saja, diterjemahkan sebagai, penundaan penerimaan. Dia, setia memupuk harap. Konyolnya, tidak berubah, meski di tahun ketiga kuliah kami, sang pujaan, kerap tertangkap akrab dengan seseorang yang lain. Aku sendiri meyakini, seseorang itu adalah pacarnya.

"Sudah, buka lembaran baru aja, bro." Saranku suatu ketika.

"Nanti dulu," balasnya.

Memasuki tahun keenam kuliah kami, dia bersikukuh menutup hatinya buat yang lain.

"Sori, bro, menurutku, elo cuma buang-buang waktu. Lagian, masih banyak yang jauh lebih baik dan cocok buatmu!" Aku protes karena gemas, di ketika yang lain.

"Sebelum dia menikah, aku masih punya kesempatan toh?"

Dia bergeming.

Kepala batu.

"Keras kepala. Ok, kita lihat saja nanti...." Aku mengalah sekaligus menyerah. Hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

***

 

Dua bulan kemudian, pujaannya berpindah kota mengikuti sang pacar, yang konon telah berpredikat 'calon misua'. Menurut info terpercaya, mereka menetap di sana. Tentu, sekaligus perencanaan masa depan.

Nah!

"Aku sudah memeringatkanmu." Kataku padanya.

Dia mengangguk. Kutangkap siluet kecewa di wajahnya.

"Don't worry man, masih banyak yang lebih baik darinya. Sekarang, buka lebar-lebar hatimu. Semangat!" Aku mendekap bahunya sembari mengguncangkannya.

Aku senang menangkap terbitnya berkas asa di mata dan senyumnya.

***

 

Dua tahun berlalu. Harapan satu ketika dia mengenalkanku pada seseorang yang menyandang sebutan pacar tak jua terwujud.

Meski dia seorang yang cerdas dan rendah hati, tak pelak, kadang aku juga kesal akan kekerasan hatinya memajang kriteria yang terus terang kuungkapkan padanya sebagai cermin ketidak-matangan.

Bagaimana tidak, sudah cakep adalah keharusan, masih diembel-embeli dengan seseorang yang berkulit putih dan berambut alami lurus-panjang.

Ampun dijeee...

"Cowok kan, berhak memilih. " Begitu pembelaannya.

"Tapi kedewasaan dan kematangan seseorang, itu jauh lebih penting. Si anu, dewasa dan cukup cantik ko. Atau si x, dia kan udah putusan dengan pacarnya yang di kota B. Kalian uda deket banget. menurutku, dia pas banget sama elo.Masa cuma gara-gara rambutnya ikal, elo ga mau?!" Istriku, yang kala itu masih pacarku, yang juga teman dekatnya, ikutan sewot.

"Mang makanan... pake matang segala." Godanya.

Dia pun menerima serbuan cubitan dari pacarku.

Aku cuma ketawa-ketiwi.

Tentang si x, kami berdua memang mendukung habis. Kami melihat betapa pas dan sepadannya mereka.

Mereka dekat, dan sering jalan bareng. Namun, dia memang pernah mengutarakan bahwa dia tidak punya rasa spesial kecuali rasa sayang laiknya seorang kakak terhadap seorang adik.

***

 

Setahun berlalu.

Suatu siang, di suatu rumah makan, aku benar-benar surprais ketika dia curhat padaku.  

Dengan berbinar-binar, dia mengungkapkan, bahwa setelah merenung secara mendalam dia telah menemukan sosok perempuan idaman.

Dan itu ada pada seseorang yang sangat dekat dengannya.

Si x! ya, si x!

"Yeesss...!"

Spontan aku berteriak, meski dengan suara tertahan, mengungkapkan kegiranganku.

Aku tak peduli dengan sekitar yang sepintas melirik kepada kami. Tak mengapa, toh mereka tidak kenal kami. Hehee...

Sungguh, aku ikut bahagia. Juga, diam-diam memuji diri, menyadari bahwa analisa kami, aku dan pacarku,  yang sekarang telah menjadi isteriku, tidak meleset. 

***

Namun satu bulan kemudian, tepatnya tiga puluh menit yang lalu. Aku tidak tahu bagaimana melukiskan perasaanku.

Hmmh, atau lebih tepatnya, betapa aku ikut trenyuh melihat kondisi sahabat terbaikku itu.

Dia bercerita, baru saja dia tahu, seseorang mantan teman satu kosnya dulu, yang terbilang karib dengannya telah lebih dulu menembak si x.

Dulu, kepada mantan teman kosnya itu, dia pernah menegaskan kalo dia tidak punya perasaan spesial terhadap si x.  Tepatnya  pada saat hatinya dia focuskan pada seseorang yang pertama.

Tapi kini, ketika hatinya mulai menyadari penemuan perempuan idaman, ada seseorang yang juga menaruh rasa yang sama pada si x.

Aku telah mengemukakan pendapatku agar dia tidak usah merasa bersalah. Nyatakan saja kepada si x, dan biar keputusan padanya.

Namun, sampai dua jam kami menghabiskan waktu di food court salah satu mall di kota ini, berbusa-busa aku memberinya pandangan, dia tetap pada kesimpulan: tak ingin menyakiti hati mantan teman kosnya yang juga dianggapnya sebagai saudara.

"Lebih baik aku mundur. Lagian aku kan mau pindah ke kota S," begitu katanya.

Sungguh, aku tidak tahu mau berkata apa lagi.

Mungkin, aku harus menunggu, waktu yang berbicara.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

__________________