Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Mencabut Paku-paku dari 95 Dalil Luther: 31 Oktober itu bukan Hari Reformasi Gereja

Risdo M S's picture

“Dapatkah suatu kejadian pada masa ini menunjuk pada masa lalu dan memberi arti yang sama sekali baru, terhadap sesuatu yang telah terjadi?”

Jostein Gaarder dalam Maya.

Tanggal 31 Oktober diperingati kaum Protestan sebagai Hari Reformasi. Hari dimana pada tahun 1517 Martin Luther, seorang doktor teologi Universitas Wittenberg dan imam dari Ordo Agustinian “memakukan” 95 dalilnya di pintu Gereja Kastil Wittenberg dan mengirimkannya pada Uskup Mainz, Paus Leo X serta rekan-rekan se-universitasnya.

Ada perdebatan kecil muncul soal, benarkah 95 dalil itu dipakukan di pintu gereja. Namun yang lebih penting tentu menanggapi wacana terkait perlukah hal itu masih tetap terpaku di hati umat, setelah hampir lima ratus tahun berlalu. Sebab yang kini masih tetap terasa adalah paku-pakunya. Bahkan orang-orang Protestan sendiri mungkin tidak ada lagi yang tahu persis seperti apa bunyi kesembilan puluh lima dalil Luther, dan kebanyakan langsung menggeber pendapat tentang kesesatan Gereja Roma kala itu. 

Umat Protestan merasa telah menjungkirbalikkan seluruh kelaliman dan menegakkan seluruh kebenaran asali, dengan tetap tak mau tahu bahwa kini Gereja Katolik Roma sendiri telah dan terus mengalami pembaruan. Lebih naif lagi kebanyakan umat Protestan mengira 31 Oktober 1517 itu adalah “reformasi gereja” (dalam pengertian seluruh Gereja Yang Am terreformasi olehnya). Padahal yang disebut reformasi tadi sebenarnya hanya melanda gereja di Eropa dan gerakan itu sendiri tidak sepenuhnya rohani, namun sering bias dan tersarat oleh kepentingan (ingat mulai dari Perang Rakyat Jerman 1524 hingga Perjanjian Westphalia 1648, itu adalah sisi politik kekuasaan dari gerakan reformasi yang tak boleh dipungkiri).

Memang demikianlah adanya pendapat-pendapat itu, bahkan untuk umat kristiani di negeri Indonesia yang padahal tidak pernah terlibat langsung dalam konflik teologis terbumbu kepentingan itu, yang toh umumnya mendengar injil selepas semua kejadian itu, jadi seharusnya tidak bias oleh emosi dan kepentingan seperti orang-orang Eropa. Tapi itulah yang terjadi, para pendakwah Injil dari Eropa mungkin saja menambahkan injil dengan kebencian yang tidak perlu terhadap saudaranya, sama seperti mereka juga menambah-nambahi injil dengan bungkus budaya Eropa.

Tak ingin menafikan kebaikan peristiwa reformasi protestan, kita tentu tak menampik dampak baiknya bagi kehidupan manusia, terutama manusia Eropa kala itu, baik dalam hal yang nyata secara duniawi (perkembangan pengetahuan, sistem pemerintahan, etika kerja, dll.) maupun dalam hal-hal spiritual (kerinduan untuk menggali dan menyebarkan pemahaman akan Kitab Suci, keterlibatan kaum awam dalam kegiatan pelayanan kristiani, pemberian contoh kehidupan berkeluarga yang baik oleh imam yang menikah, pelepasan umat dari tahayul-tahayul, dll.). Namun kita tak boleh menutup mata atas berbagai kekurangannya. 

Sedikit yang mau mengakui bahwa gerakan reformasi justru amat rawan perpecahan dan penyesatan (setidaknya klaim sesat dan menyesatkan) sejak awal gerakan itu dimulai. Marthin Luther adalah seorang imam yang sangat konservatif, ia sangat hati-hati dalam menghapus tradisi-tradisi Katolik. Sedikit pengikutnya yang sadar bahwa ia, selaku biarawan, masih percaya posisi primat Paus, kehadiran tubuh Kristus dalam missa, devosi pada Bunda Maria dan mempraktikkan doa rosario selagi ia menulis dan mempertahankan dalil-dalilnya. Calvin yang berlatar belakang Ilmu Hukum mungkin lebih radikal dalam bertindak, jika Luther hanya membuang tradisi yang dianggapnya bertentangan dengan firman Tuhan, maka Calvin (sebagaimana Zwingli) mengambil jalan keras, menghapus semua tradisi yang tidak tercantum dalam Al Kitab. Dalam menegakkan disiplin di Geneva, Calvin bahkan mengusir seluruh warga Katolik Roma dan menghapus semua simbol-simbol keagaamaannya dengan paksa. Sebagaimana Zwingli juga menekan kaum Baptis dengan kekerasan. 

O ya omong-omong sedikit juga yang sadar kalau selama 200 tahun Calvinisme, hampir tak ada penekanan untuk pekabaran injil.  Zwingli, Menno Simons, dan gerakan-gerakan setelah Calvin adalah ciri yang lain lagi, ada yang menolak negara, memaksa membaptis ulang, menganggap perjamuan kudus hanya sebagai simbol, melarang pemakaian alat musik dalam kebaktian atau bahkan membuang kitab-kitab Perjanjian Lama. Sedemikian beragam dan bertentangannya mereka sampai Martin Bucer, mantan rahib Dominikan, yang sedari awal ingin menjembatani kelompok-kelompok pro-reformasi (terutama kelompok Jerman dan Swiss) akhirnya lebih memilih mengabdikan hidupnya untuk menulis dan mengajar di Inggris ketimbang melakukan misi itu. 

Saat tradisi yang baik perlahan lepas dan makin banyak orang yang seenak udelnya menafsirkan Alkitab, maka muncullah berbagai macam penyesatan berikutnya. Penafian terhadap keotentikan Al Kitab sebagai wahyu Allah, pelecehan institusi keagamaan, dan rekonstruksi “ilmiah” untuk meruntuhkan semua inti ajaran dan tradisi kristiani semakin bermunculan sebab seringkali orang Protestan (bahkan sampai kini) limbung akan asal-muasal gerejawi dan segala hal baik sebelum era 1500-an itu. Sekedar contoh kalau Anda (umat Protestan) adalah orang yang mengaminkan bahwa Perayaan Natal adalah semata-mata adaptasi dari ritual pemujaan Dewa Matahari, percaya bahwa PB teks kritis adalah yang paling otentik, meyakini bahwa perayaan hari St. Valentin awalnya adalah ritual kasmaran atau mengira salib terbalik di belakang tahta Vatikan adalah lambang setan, mungkin saja Anda tergolong orang yang mudah dilimbungkan karena tak punya acuan tradisi. Anda mungkin bisa menyusun apologia kritis tapi melupakan satu hal yang sangat berguna, kesinambungan tradisi dalam menjelaskannya.

Sisi spritualitas pribadi dalam disiplin rohani juga agak dilupakan di gerakan protestan awal. Walhasil warisan ibadah umat dan pribadi yang begitu kaya tereduksi menjadi doa dan pembelajaran firman monoton yang lebih banyak memuaskan rasionalitas. Doa khusuk berdzikir seperti Doa Puja Yesus di Timur atau Doa Rosario di Gereja Latin, disiplin meditasi doa, puasa, penghayatan akan kehadiran Allah, sikap tubuh dalam memuja, sisi emosional dalam beribadah, keyakinan atas dunia non-materi adalah hal-hal yang mungkin terlupakan dalam khasanah iman protestan ala reformasi, dan mungkin baru sedikit bisa terekspresikan saat muncul gerakan Methodis, Pentakosta dan Kharismatik yang terkadang justru kebablasan, salah satunya karena tak ada tuntunan akannya.

Seperti disebut sebelumnya, Gereja Katolik Roma tidak melulu kekeuh mempertahankan posisinya dalam menghadapi arus reformasi. Gereja Latin ini juga berubah, namun tidak dengan menerima semua tesis kaum reformator protestan (sebab jika demikian bisa jadi GKR hancur lebur). Jalan pembaruan GKR ternyata lebih terarah dan tidak terlalu bergejolak. Mempertahankan posisi, mempertahankan tradisi sembari mengoreksi kekurangan. Hasilnya sampai kini kita masih diwarisi satu institusi keagamaan yang terbesar dengan entitas tunggal dan kompak bernama Gereja Katolik Roma (bandingkan dengan puluhan atau mungkin ratusan ribu denominasi Protestan yang sangat sering saling gontok-gontokan) yang sedikit banyak tetap punya kesinambungan dengan asal-muasal kekristenan. 

Sementara itu saudara-saudara tua di Timur (Gereja Ortodoks Timur, Gereja Ortodoks Oriental, Gereja Katolik Timur dan Gereja Assiria Timur) sama sekali tak tahu-menahu soal perdebatan itu. Bagi mereka bahkan konyol rasanya jika ada perbedaan sebegitu sengitnya antara kedaulatan dan karunia Allah seperti di Barat. Jadi apa yang membuat mereka harus mengaminkan reformasi protestan sebagai reformasi mereka (baca reformasi gereja) juga?

Nah, niat awal tulisan ini sebenarnya tidak sekedar mengganti istilah “refomasi gereja” untuk 31 Oktober dengan “reformasi protestan,” namun lebih berupa sebuah seruan untuk menggagas dialog internal umat Al-Masih yang lebih terbuka dan tidak melulu dibumbui cap-mencap sesat apalagi kebutaan akan sejarah. Syukur-syukur di tempat yang seharusnya bebas bias emosi dan kepentingan akan reformasi protestan, seperti di negeri ini, kita bisa menggagas “pemulihan luka” atas paku-paku skisma gereja. Tidak hanya atas pakunya Marthin Luther, tapi juga untuk paku-paku yang lain. Bahkan sebagai mana ditanyakan Gaarder tadi, mungkin kita bisa melihat kembali sejarah gereja dengan cara yang baru, sebagai orang yang kini lebih dewasa dan penuh damai.

Kaum Protestan kini memang punya pe-er lebih besar. Gereja Katolik Roma denga Gereja-gereja Timur sudah semakin mempererat diri dalam kesalingpahaman. Gereja Protestan sendiri mungkin masih limbung akan sejarah dan kebersatuannya. Tapi semoga memang kita perlahan bisa semakin mengarah ke kesempurnaan perwujudan doa Al-Masih, hina pantes en osinut omnes unum sint – supaya mereka semua menjadi satu. Selamat Hari Reformasi duhai Kaum Protestan!

 

 

__________________

Eirene Humin.

manguns's picture

protestan dan prosetan

Sedemikian banyak aliran, semuanya saling mengklaim paling benar, kayak kecap nomor satu. Menafikan sensasi ketimbang prestasi, beribadah bagi kemuliaanNya.

 

Risdo M S's picture

pro Tuhan aja lah, hehe

Semoga semua nanti berlomba-lomba untuk rendah hati dan berlomba berbuat kasih, huehehehehe

__________________

Eirene Humin.