Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

sakit TBC

dinarra's picture

Kalau bisa, sebenarnya dia ingin melesat terbang untuk segera tiba di rumah. Ya, dia sudah tidak sabar ingin segera menyampaikan kabar suka cita ini pada suaminya tercinta. Tentang kedatangan seorang dokter pria, dokter yang baru semingguan berpraktek di kota kecil mereka ini. Dokter yang berkompeten dengan spesialisasi sakit suaminya.

Apa daya, kodratnya sebagai manusia yang tidak memiliki sayap, memaksanya mentok pada usaha berjalan secepat dia bisa.

Dia tidak mahir pegang kendali kendaraan. Mulai dari sepeda, motor, mobil, apalagi pesawat terbang! Itulah sebabnya pulang pergi kantor yang berjarak kurang satu kilo meteran dari rumahnya, dia selalu mengandalkan jasa orang lain, atau terpaksa berjalan kaki.

Sebenarnya tadi ada Andi, teman satu kantornya, yang menawarkan diri untuk memboncengkannya. Tapi dia menolak. Selain sungkan karena tidak ingin merepotkan, dia juga ingin menjaga perasaan suaminya yang belakangan ini dia rasa kian meningkat rasa sensi nya.

Ya, sejak sakit, suaminya lebih cemburuan. Kadang, dia merasa jumawa juga dicemburuin. Namun harus dia akui, tidak jarang itu menyempitkan gerak langkahnya. Dan, memunculkan rasa sebal di ruang hatinya.

Apa mau dikata? Ini adalah konsekuensi dari pilihannya? Menikahi lelaki yang dalam hitungan genap jari-jari satu tangan, akan memasuki usia kepala enam. Sementara dirinya, empat tahun lagi baru genap forty.

Sekarang, memasuki tahun ketiga pernikahan mereka.

***

Akhirnya dia mencapai pintu pagar rumahnya.

'Aduh maak,' dia ngedumel dalam hati. Begitu matanya menangkap sosok sebuah mobil yang tidak asing menyesaki halaman parkir rumahnya.

Mobil Tono, anak tunggal suaminya dari istri terdahulunya, yang tinggal di lain kabupaten dengan mereka. 

Dalam hati dia ga habis pikir. Baru juga natalan dan tahun baru lalu Tono sekeluarga berlibur di rumah ini selama hampir dua minggu. Dan kini mereka datang lagi.

Enak juga jadi pegawai negeri. Menurut Tono, untuk ijin tidak sulit. Disiasati dengan diatur di dalam, begitu penjelasannya suatu kali. Jadi, hitungan cuti bisa elastis bagai karet.

'Dan orang lain yang ketiban imbasnya!' Dia menggerutu dalam hati.

Tentu saja. Dia merasa terganggu. Buyar sudah rencana yang telah dia susun dengan matang dan rapi di kantor tadi. Padam sudah semangat menggelora yang tersulut sejak dari kantor tadi. Sia-sia cemerlang usahanya membujuk kepala bagiannya memberi ijin pulang dua jam lebih awal dari jam biasa.

Gerak langkahnya berubah lambat.

"Oolee..., Nenek dataangng...!" Teriakan Della, cucu tirinya yang masih berusia empat tahun lebih menyambutnya begitu dia muncul di pintu rumah.

Dia tersenyum seraya menyambut Della untuk kemudian menggendongnya.

"Aloow cucu nenek yang cantiikk...! Wooww, kamu tambah gede yaa?" Katanya sambil menowel  lembut pipi Della.

Memeluk cucunya yang menggemaskan itu, untuk sesaat rasa senang menyiram hatinya.

Lalu, sambil ber hello ria, berturut-turut dia menyalami Tono, dan juga Dea, menantunya itu.

"Mama pulang lebih cepat? Ko ga sms ato telepon biar dijemput?" Suaminya bertanya. Mewakili rasa ingin tahu lelaki itu tentu.

"He eh, " dia mengangguk. "Tadi mau ada perlu, tapi nanti aja gapapa. Batere hapeku habis." Dia berusaha menyimpan rasa gondoknya tidak mencuat terbaca. Baik oleh nada suara, mau pun lewat mimik tubuhnya.

"Saya ganti pakaian dulu, ya."  Dia berlalu masuk ke kamar.

Suaminya mengikuti. Dia sudah menduga. Dua tahun hidup bersama, membuatnya merasa mengenal secara dalam karakter suaminya, yang selalu ingin menuntaskan rasa penasarannya.

"Ada apa sih, Ma...?" tanya suaminya ketika mereka duduk bersisian di tepi ranjang.

"Tadi aku mau ngajak Papa berobat jam empat ini. Soalnya aku dapat info dari temanku Rani ada dokter baru ke kota ini yang bisa mengobati sakit Papa. Tapi kalo ada mereka, pasti Papa ga mau?"

"Cowok?" Suaminya bertanya. Dia mengangguk. 

Semula dia memang heran. Suaminya tidak mau berobat dengan dokter wanita. Malu, katanya. Kebetulan, dokter spesialis yang berkompeten menangani sakit suaminya di kota kecil ini, selama ini baru ada dua dan kedua-duanya wanita.

Padahal bagi dia tidak ada masalah sama sekali bila suaminya diperiksa seorang dokter wanita. 

"Dia baru sebulan ini ditempatkan di sini dan baru seminggu ini mulai praktek. Jam lima sore dia udah buka." Dia memberi penjelasan.

"Katanya terapinya manjur, Papa nggak perlu makan obat sampe enam bulanan." 

Dia melanjutkan diselingi canda.

"Nanti deh, kalo Tono sudah pulang."

Tidak meleset sama sekali dugaannya. Suaminya pasti menolak. 

"Kapan mereka pulang?" tanyanya masih berusaha sabar.

"Tono ada pelatihan di kota ini. Katanya sih, tiga mingguan."

Usai mengucapkan hal itu, suaminya beranjak keluar kamar. Dia mengerti. Suaminya menghindari pecahnya perang.

Dia terhenyak. 'Aiih..., aaiiihhh...?? Menunggu tiga mingguan lagi...?? Bisa-bisa aku ketularan penyakit nih!' Geramnya di hati.

Sudah enam bulanan ini suaminya menderita TBC. Tak Bergairah C***us.