Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Damage Control

PlainBread's picture

Ada yang menekan panic button. Malam-malam begini, di saat aku sedang tertidur lelap. Suaranya cukup keras, wajar kalau seisi rumah terbangun. Aku segera menelepon bagian keamanan.

"Ada apa?" Tanyaku sambil memakai baju.

"Ini siapa?" Tanya orang di sana.

Aku mengenal suaranya. Jack Morris. Dia sudah bekerja di sana sebelum aku menjadi pegawai di sana. Tetapi masih saja saja suaraku tidak dikenalnya. Apa harus diadakan training untuk mengenal suara orang di telepon?

"Q", kataku singkat.

"Ada apa, Q?" Dia bertanya. Sesuatu yang seharusnya tidak ditanyakan.

Setiap departemen, kepala bagian, dokter, setiap gedung, setiap lantai, dan setiap Q memiliki akses ke dan dari panic button. Kenapa dia malah bertanya ada apa. Apakah dia tidak tahu kalau ada seorang pegawai yang menekan tombol darurat tersebut?

 

"Di sini tidak menyala, pak." Jawabannya terdengar gugup. Wajar kalau dia gugup. Karena radio dia seharusnya menyala jika tombol tersebut ditekan. Aku mau bertanya mengapa dia tidak mengecek radionya sewaktu dia memulai pekerjaannya di malam hari. Tapi aku tahu dia sudah tahu kelalaiannya.

"Baiklah." Aku menjawab singkat.

Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali pergi ke sana. Kode nomornya terus berkedip di radioku. Kode ini lokasinya 10 miles dari tempat tinggalku. Berarti kira-kira 10 menit dalam waktu normal. Sekarang jam setengah dua pagi. Ada 4 lampu lalu lintas terakhir di mana lampu-lampu tersebut akan berubah menjadi lampu kuning berkedip-kedip jika sudah di atas jam sebelas malam. Aku bisa sampai di sana dalam waktu lebih kurang 6 menit. 

 

Tiga menit lagi aku sampai.

"Jack, berapa orang di rumah itu?" Aku kembali menelepon keamanan.

"Saya tidak tahu, Q." Ungkapnya jujur. 

Kali ini lebih baik. Dia mengenal suaraku.

"Coba telepon bagian sensus. Setiap gedung, institusi rumah selalu memberikan laporan sensus harian. Kalau tidak, coba periksa di komputer." Jelasku.

"Saya tidak punya akses ke komputer, Q" Jawabnya lagi. Jujur.

"Coba telepon ke sensus, tanya berapa orang di sana. Lalu telepon ke saya lagi." 

Aku harus meminta dia untuk melakukannya. Sementara pada waktu yang sama aku bisa menghubungi Q yang lain.

"Saya tidak punya nomor telepon anda."

"5567" Aku berharap dia memiliki pensil di situ sehingga bisa mencatatnya dengan cepat atau kalau tidak terpaksa dia harus menghapalnya.

"Berapa nomor di depannya?" Pertanyaan yang aku tidak harapkan.

"Jack. Itu bukan nomor pribadi saya. Itu nomor radio saya."

"Oh, maaf. Loh ini ada kok nomornya di meja saya." Katanya polos.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala.

Setiap radio yang kami pegang memang bisa ditelepon dengan hanya empat nomor, berbeda dengan jika harus menelepon ke land line atau ke cell phone kami.

 "Cepat, Jack. Saya sebentar lagi sampai." Langsung aku matikan.

Aku menelepon Q2. Teman sejawatku yang juga malam itu statusnya juga on-call. Nada sambung. Radio diangkatnya.

"Berapa lama lagi?" Dalam situasi ini, basa-basi tidak diperlukan.

"Lima menit. Anda?" Dia balik bertanya.

"Dua. Kita ketemu di sana."

Dokter dan perawat pasti juga dalam perjalanan. Kalau hitung-hitunganku tepat, aku yang akan sampai duluan, lalu Q2, lalu dokter dan perawat beserta pihak keamanan. Entah kenapa, mereka selalu tiba paling akhir.

Radioku berbunyi. Dan suara Jack terdengar lagi begitu aku angkat. Jumlah pasien ada 10 orang, katanya.

 

Rumah terkunci dari luar dan dari dalam. Yang di dalam kemungkinan tidak bisa membukanya. Apalagi jika ada incident terjadi. Mungkin itu sebabnya siapa pun yang bertugas di dalam menekan panic button. Rumah ini seharusnya dipasang alarm dari dalam dan juga alat pengaman lainnya. Tapi tidak pernah dilakukan. Alasannya? Tidak ada budget. Tapi biar pun begitu, sekarang alarm tidak akan membantu mengatasi masalah dalam situasi ini. Apapun situasinya.

 

Aku ketuk pintu rumah tersebut. 

Tidak ada jawaban.

Aku ketuk lagi.

Terdengar suara cukup keras dari dalam.

"Clear!"

Itu adalah policy institusi untuk mengatakan bahwa tidak ada orang di balik pintu. Semua pasti tahu itu. Tidak ada yang melupakan bagaimana dahulu seorang pegawai wanita membuka pintu salah sebuah rumah, dan disambut dengan terjangan salah seorang pasien dari balik pintu.

Tapi ada yang janggal.

Dysprosody?

Aku ketuk lagi.

"Clear!" Kata suara yang sama.

"Not clear!" Kata suara  yang berbeda. Kali ini bukan lagi menjawab, melainkan berteriak.

Darn it! 

 

Q2 tiba-tiba berada di belakangku.

"Coba kamu ketuk lagi. Aku lewat pintu belakang."

Dia mengetuk pintu.

"Clear!"

Q2 menatapku. Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. Dan memberikan isyarat kepadanya dengan kepalan tanganku untuk tetap mengetuk pintu.

Aku berjalan cepat sambil mengendap-ngendap, menuju pintu belakang.

 

Aku membuka pintu emergency di belakang. Pintunya terkunci. Tapi aku pernah bertugas di sini selama dua bulan beberapa tahun yang lalu. Ada sesuatu yang aku tahu dan banyak orang tidak tahu. Kaca kedua dari bawah pintu bisa digeser jika caranya tepat. 

Dugaanku benar. Kacanya masih belum diganti. Tanganku masuk ke dalam, membuka kunci di gagang pintu. Pintu berderit pelan ketika aku coba mendorong daun pintu tersebut. Melewati kamar 10, 9, 8, 7, 6, 5. Semua pintu kamar tersebut tampak tertutup. Aku coba membuka semua pintu tersebut dengan memutar gagang pintunya, memastikan bahwa semuanya terkunci.

Lorong belakang sudah aku lewati. Siapa pun yang memiliki ide untuk menaruh rear view mirror di atas pojok pangkal lorong ini patut mendapatkan kredit. Di kaca tersebut aku melihat dua orang pasien berdiri di tengan ruang TV, dan seorang pegawai dicengkram lehernya oleh salah satu dari mereka.

"Kenapa mereka mengirimkan seorang wanita untuk bertugas di sini?" Aku berkata dalam hati.

Ini bukan persoalan sexist, tapi terkadang bagian staffing tidak peduli latar belakang pasien di setiap rumah. Ada hal-hal tertentu yang seharusnya bisa dicegah jika hal kecil bisa dipedulikan. 

Malam ini akan begitu panjang, pikirku dalam hati.

Kaki kananku melangkah agak ke samping, menghindari jika keberadaanku di sana diketahui. Dan pada saat aku melangkah, aku seperti menginjak sesuatu. Sesuatu yang terasa licin dan basah.

LieL's picture

@PB: bersambung?

ini ceritanya bersambung ya bred? Penasaran neeee.. :p

PlainBread's picture

@LieL tubi kontinyut

Iya Liel, Sabar yah. Sebentar lagi juga keluar kok ... 

.... sambungannya :)

minmerry's picture

Bread...,

Cepetan sambungannya

__________________

logo min kecil

ronggowarsito's picture

@pb, saya sarankan

udah segitu aja ceritanya. Ga usah disamnbung lagi. :)

__________________

salam hangat,
rong2

helloworld's picture

.

biar bikin pada penasaran. seperti ciri khas film2 horor yg menyebalkan. ^^!

__________________


TGBTG (Yoh 3:30 - IA harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.)

KEN's picture

Cool

Mirip-mirip pelem produksi Hollywood. Sambungannya bro...

helloworld's picture

Yah... kok

Yah... kok bersambung???

Kapan dibikin film layar lebarnya nih :D

__________________


TGBTG (Yoh 3:30 - IA harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.)

PlainBread's picture

Sambungan

@ron and all: sambungan memang sudah ada. Tp memang menarik kalo ceritanya diputus begitu saja. Kalo saya kepikiran sampe ke sana, mungkin judulnya bukan damage control.

@helloworld: iya, pekerjaan saya memang seperti film horror, tidak pernah tahu apa yang akan menanti. Maklum, mengurusi orang2 special.

dReamZ's picture

plain, sambungannya dunk huhu

penasaran ne =)