Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Menyiapkan Diri

simon nugroho hadikusuma's picture
Mazmur 90:10
Masa hidup kami tujuh puluh tahun
dan jika kami kuat, delapan puluh tahun,
dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru,
dan kami melayang lenyap.
 
“Pak, tempat duduk-duduk  itu tolong diberi sandaran pengaman.”  
 
Kata seorang ibu muda, anak seorang pasien rumah orang tua pada salah seorang pengurus. Tempat duduk dari pasangan batu bata setinggi 80 cm, difinishing keramik itu memang tempat duduk-duduk sore hari para orang tua yang menghuni rumah orang tua di pinggiran kota berhawa dingin.
 
Dia mendengar cerita, kalau minggu yang lalu ada seorang nenek yang duduk, sandaran pada tiang kayu penyangga genteng teras, tiba-tiba terdengar suara seperti ada benda berat jatuh. Ternyata nenek itu, jatuh! Dia kuatir, kalau nanti mamanya yang jatuh, karena tak ada sandaran pengamannya.
 
Saat kejadian, rombongan kami sedang bercanda bersama dengan beberapa nenek, termasuk dengan mak Lasmi, begitu biasa aku mengundang dia. Ha..ha..ha… tiba-tiba ‘buk’ dan seorang nenek hilang dari hadapan kami. Ternyata mak Lasmi telah terjengkang kebelakang, kakinya di atas tembok, badannya di lantai, dan kepalanya membentur bibir selokan dan berdarah.
 
Kami angkat bersama, kami baringkan di tempat tidurnya, matanya menatap kosong. Oleh perawat yang bertugas, darahya dibersihkan dan lukanya dirawat.
 
Sebulan setelah kejadian itu.
Kami biasa datang 1 bulan 1x untuk mengajak mereka melakukan aktifitas memotong, menempel, melipat, menggambar sebagai kegiatan setelah Firman Tuhan disampaikan. Membiarkan mereka beraktualisasi, seorang nenek menyanyi dengan suara yang betul-betul (betul-betul) merdu, seorang yang lain bernyanyi dengan suara fals (fals betul) dalam bahasa belanda, atau hanya sekedar cerita keahliannya masak ketika dia masih muda dan membagikan resep masakan seingatnya.
Mak Lasmi berkata:
 
            “Cuk, terimakasih ya. Waktu mak jatuh sudah ditolong,” kata mak Lasmi padaku.
            “Mak Lasmi kalau ngantuk tidur, jangan duduk di situ lagi,” balasku.
            “Aku tidak ngantuk, cuk. Seperti ada yang ndorong kepalaku kebelakang,” balasnya.
 
Mak Lasmi tak pernah tahu siapa yang menolong, dia tak ingat apa-apa saat itu, tetapi teman-teman usia lanjutnya memberitahunya.
 
Orang lanjut usia, sering mudah jatuh.
Hal ini disebabkan oleh karena kehilangan reflek, kekakuan otot / sendi, terburu-buru mau kencing / berak. (BUKU PEDOMAN MEDIS PENYELENGGARAAN PELAYANAN LANSIA BERBASIS MASYARAKAT – PPLM – PSK SEMARANG JUNI 2001, halaman. 2)
 
Seorang om usia 70 tahun, dalam sebuah kelompok usia lanjut sharing:
 
            “Aku tahu kalau kaki kesrimpet itu mau jatuh, tapi tangan terlambat pegangan jadinya ya
tetap jatuh,” sambil terbahak menertawakan dirinya sendiri.
 
Lain lagi dengan mak Tio, 79 tahun, dia masih bisa keman-mana sendiri. Suatu kali dia mandi, menggosok kakinya dengan sabun dengan menaikan sebuah kakinya ke atas closet. Karena licin kena busa sabun, kakinya yang di atas closet terpeleset. Jatuh, beberapa tulang rusuknya patah.
 
“Tahu-tahu badanku seperti dibanting, tidak bisa kutahan,” ceritanya sambil menahan sakit.
 
Mak Tio yang biasanya masih aktif, tiba-tiba harus berbaring. Dia harus opnam untuk beberapa lama. Kelima anak dan mantunya bergantian menemani 24 jam. Ketika kami visit, mak Tio bilang:
 
            “Aku bilang sama Tuhan Yesus, kalau boleh sembuh. Tapi kalau ndak boleh aku siap kok
dipanggil Tuhan Yesus,” tetap dengan wajah cerianya diusia lanjut.
“Kalau gini terus, ngrepoti anak-mantu,” suaranya bergetar menahan tangis.
 
Lain lagi kata anaknya:
 
            “Dah 2 hari mami tak bisa buang air besar, tadi keluar semua, wah aku ndak tahan  baunya, aku
mual, aku panggil suster untuk urus mami.”
 
Si anak menyambung ceritanya dengan penyesalan:
 
            “Lha ya, dulu mami bisa urus 5 anak, dari lahir sampai dewasa. Sekarang 5 anak urus 1
mami kok ndak bisa.”
 
Tuhan meluluskan permintaan mak Tio yang pertama, mak Tio sembuh.
Tapi sekarang harus dengan bantuan perawat dan sehari-harinya di kursi roda, tidak seleluasa sebelum mak Tio terpeleset. Aktifitas keluarga, anak, menantu jadi berubah. Ada mak Tio yang butuh perhatian secara khusus.
 
Seorang teman lain bercerita dengan nada marah, jengkel. Aku sekarang aku tak bisa ikut latihan paduan suara, tidak bisa shopping. Papiku minggu yang lalu jatuh. Papiku memang usil, keluar masuk rumah terus, tengok ke luar rumah. Katanya ada banyak orang yang mau loncat pagar, mau mencuri.
 
“Papi, usil! Papi sok berani! Sekarang rasakan akibatnya, semua jadi repot. Tidak ada orang, bilang banyak orang mau loncat pagar. Sekarang jatuh, tulang belakang retak, semua repot, ” katanya pada pembezuk karena beberapa kali latihan paduan suara dia tidak hadir.
 
Sebaliknya pada para pembezuknya, papi teman-ku bilang dengan bangga:
 
“Banyak orang yang mau loncat pagar, mau mencuri. Aku menjaga rumah anak-ku, biar tidak kemasukan pencuri. Tahu-tahu aku sudah di rumah sakit.”
 
Cerita yang membuat anak-nya malu, tapi cerita yang membanggakan buat papi-nya.
 
Aku bilang pada diriku sendiri:
 
“Tak akan kuhancurkan kebanggaan orang tua-ku dengan caci maki kejengkelan dari mulut-ku;
Tak akan kuhancurkan kebanggan orang tua-ku dengan tingkah laku ketidak sukaan-ku.”
 
MENYIAPKAN DIRI, lebih dari sekedar memahami kemunduran otot dan otak para usia lanjut, tapi bagaimana kita menyambut datangnya perilaku para lanjut usia dalam kasih Kristus.