Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Om Polisi

Love's picture

Saat aku masih kecil dulu, mendengar kata polisi bisa membuat aku
menghentikan perbuatan usilku. Hanya dengan mendengar Mama, adik,
teman, atau siapa saja mengatakan, "Kalau nakal gitu nanti dipanggilin
Polisi, lho!" itu sudah cukup membuat otak kecil ku berpikir untuk
tidak melanjutkan keusilanku ke tingkat yang lebih tinggi.

Seiring perkembangan tubuh dan kedewasaanku, polisi tidak lagi menjadi
momok bagiku. Tetapi mereka tetap cukup bisa membuat jantungku
berdegup makin kencang jika tiba-tiba mereka mengadakan pemeriksaan
surat-surat kendaraan bermotor. Walaupun surat-surat kelengkapan motor
yang aku bawa selalu lengkap, tetapi entah mengapa degupan jantung
tetap kencang saat tiba-tiba om polisi itu memeriksa surat-surat yang
aku bawa.

Jika saat tidak melakukan kesalahan apapun aku selalu takut jika harus
berurusan dengan mereka, apalagi saat jelas-jelas terjadi sebuah
pelanggaran. Terlalu banyak kisah mengenai polisi-polisi dalam
kehidupanku, paling tidak dalam kehidupan keluargaku. Yang paling
mengesankan seringkali terjadi pada ayahku. Setiap harus berurusan
dengan polisi lalu lintas pasti ada saja yang Tuhan lakukan sampai
ayahku dapat terlepas dari urusan tersebut tanpa mengeluarkan uang
sepeser pun atau mendapat hukuman apapun. Dan semua itu selalu membuat
kami tersenyum geli tapi bercampur heran juga.

Aku jadi ingat kejadian tepat 2 tahun yang lalu, hari Minggu, 10
Agustus 2005.

Karena terlalu asyik ngobrol tentang sesuatu hal, saat berada di sebuah
perempatan, lampu merah yang menyala dengan beraninya, tidak
diperhatikan oleh ayahku. Kami baru menyadarinya saat mobil- mobil
dari arah yang berlawanan dengan hebohnya mengeluarkan suara klakson
mereka yang jauh dari bunyi yang merdu. Tetapi karena sudah terlanjur
ada di tengah jalan, ayahku perlahan-lahan memajukan mobil. Saat sudah
dirasa aman, mobil pun dilajukan lagi dengan santainya. Aku baru saja
selesai bersorak kegirangan karena tidak ada polisi, saat sebuah
sepeda motor mendekati mobil ayahku. Di atasnya ada seorang pria
berseragam coklat dengan helm putih. Wuaahhhh ... ternyata polisinya
ada to?! Aku sempet protes dalam hati. Kok tiba-tiba dia muncul sih
... tadi kan tidak ada!

SIM ayahku diperiksa dan ditahan. Lalu kemudian om polisi itu minta
kami mengikutinya ke kantor polisi tempat polisi tersebut berkantor.

Saat masuk kembali ke dalam mobil, ayahku berkata, "Wah, gawat ini.
Mobil kita ini kan belum dipajak. Dan sudah terlambat beberapa hari.
Pelanggaran lampu merah sih gak terlalu berat, tapi belum bayar pajak
ini yang repot." Mendengar itu spontan aku berkata, "Moga-moga ya,
STNK-nya gak diperiksa-periksa amat."

Tiba di kantor polisi, ayahku mematikan mesin mobilnya. Lalu bergegas
turun dari mobil. Kuberikan pesan sponsor, "Minta disidang aja deh,
Pa...."

Dengan langkah mantap ayahku masuk ke kantor polisi itu. Tetapi belum
ada 10 menit, beliau sudah berjalan lagi dengan santainya ke arah
mobil. "Oh, mungkin ada yang kurang, jadi dia kembali ke mobil untuk
mengambil itu," pikirku. Tetapi ternyata dugaanku salah. Ayahku malah
langsung naik ke mobil, duduk di kursi kemudinya, memasang seat-belt,
menghidupkan mesin, dan melajukan kembali mobilnya sambil melambaikan
tangan ke arah para polisi yang ada di pos jaga. Ibuku dengan
penasaran bertanya, "Loh, Kok cepet? Kapan sidangnya?"

Dengan senyum khasnya yang sangat menawan itu ayahku berkata, "Lagi-
lagi Tuhan melepaskan kita dari urusan polisi. Pimpinan kantor polisi
itu kenal dengan Papa."

Ternyata ketika ayahku masuk ke kantor polisi, salah satu polisi yang
sedang duduk di ruang jaga menyapa ayahku, "Selamat siang Pak John.
Langsung saja masuk ke ruang dalam, di sana ada anak buah saya."

Begitu tiba di ruang yang dimaksud, polisi yang tadi menahan SIM
ayahku langsung berkata, "Pimpinan saya kenal dengan Bapak, jadi ini
SIM-nya saya kembalikan. Tetapi lain kali hati-hati ya, Pak. Jangan
melanggar lagi."

Kata terima kasih keluar dari mulut ayahku saat meninggalkan ruangan
tersebut, dan kata itu keluar lagi dari mulut ayahku saat berpapasan
kembali dengan om polisi yang katanya kenal dengan ayahku itu.

Saat kutanyakan, apakah ayahku mengenal pimpinan polisi tersebut,
ayahku berkata, "Jangankan kenal, ketemu saja baru sekali ini!"

Wuihh leganya diriku ....

Tetapi tidak begitu dengan ayahku. Dia justru merasa sangat malu, dan
merasa tidak pantas bersukaria dengan kejadian tersebut. Pimpinan
polisi itu pasti mengenal ayahku sebagai seorang pelayan Tuhan, itu
berarti seharusnya ayahku malah memberikan contoh yang baik dalam
kehidupan, salah satunya dengan menjadi warga negara yang taat hukum,
bukannya menjadi warga negara yang melanggar hukum.

Coba bayangin jika misalnya ayahku sedang berkhotbah di gereja om
Polisi itu dengan berapi-api mengenai "ketaatan" ... wuahh ... apa om
Polisi itu tidak akan terpingkal-pingkal karena ayahku sendiri tidak
taat sama peraturan lalu lintas.

Hmmm ... bener juga ya .... Walaupun selalu Tuhan lepaskan dari
urusan dengan polisi, tetapi bagaimana pun juga bisa saja itu menjadi
kesaksian yang tidak baik dari seorang hamba Tuhan. Dan itu mengajar
kami semua, yang ada dalam mobil saat itu, bahwa kesaksian kita
sebagai anak Tuhan harus selalu terpancar, tidak hanya dalam gereja
saja, tetapi dalam hidup sehari-hari. Bukan tingkah laku yang dibuat-
buat, tapi tingkah laku yang benar-benar keluar sebagai reaksi dari
pengenalan kita akan Allah.

Hmmm terus terang, ini pergumulan bagiku yang masih sering dikuasai
kedagingan .... bantu doa ya semuanya.

dennis santoso a.k.a nis's picture

amin

nice article ... bener2 down to earth

gue doain kalo inget yah Innocent

anakpatirsa's picture

Pak Polisi dan Mahasiswa

Sudah lama aku tidak membaca e-Humor, pagi ini iseng aku membaca edisi 15-12-2006. Aku jadi teringat pengalaman menarik dengan polisi karena masalah pelanggaran lalu lintas. Berhubung tadi tadi malam sudah mengerjakan salah satu tugasku, rasanya tidak apa-apa kalau pagi ini aku bercerita dulu. Selama di Jogja, dua kali aku berurusan dengan polisi, pertama di dekat Malioboro, karena melanggar lampu lalu lintas. Waktu itu aku membonceng seseorang dengan motor sewaan. Aku tidak pernah melupakan ramainya peluit polisi waktu itu. Pada awalnya, aku tidak menyadari kalau akulah penyebab keramaian tersebut. Hal ini baru kusadari setelah melihat beberapa polisi harus meniup peluit sekeras-kerasnya untuk menghentikan semua kendaraan lain, supaya kami bisa lewat dengan aman. Tentu saja setelah itu kami dihentikan di depan pos jaga. Terjadilah percakapan dengan polisi pada waktu itu. "SIM dan STNK-nya mana?" Aku keluarkan STNK dan berkata bahwa tidak punya SIM. Lalu seorang polisi meminta KTP, sedangkan beberapa polisi lain kembali mengatur lalu lintas yang sempat kacau. "Bagaimana ini?" tanya polisi itu sambil memeriksa KTP-ku. Kukeluarkan uang Rp. 20.000 dan kuberikan kepada-nya, sambil berkata, "Damai saja pak!" "Anda sebagai mahasiswa berbuat seperti ini, apa jadinya negara ini?" katanya. Cukup lama dia memberi kami nasehat, tetapi aku tidak berniat menambah uangnya. Akhirnya ia berkata bahwa motor akan ditahan dan aku harus menghadiri persidangan. Tetapi akhirnya uang itu diterima. Setelah memberi peringatan untuk berhati-hati, akhirnya kami diijinkan pergi. Uang Rp. 20.000 melayang, uang yang kudapat setelah sehari sebelumnya mengerjakan terjemahan. Temanku bilang bahwa aku memang tidak punya bakat untuk jadi orang kaya. Karena pertama kali mendapat uang dengan membuka "usaha" penerjemahan, uangnya langsung melayang. Aku juga tidak pernah lagi menerima terjemahan. Pengalaman kedua, terjadi pada waktu pergi ke Narwastu untuk membeli Alkitab LAI yang besar. Waktu itu aku meminjam motor seorang teman. Sudah lama aku ingin memiliki Alkitab ini. Dan sekarang aku baru mendapatkan uang extra sehingga bisa membelinya. Ternyata Narwastu tutup pada hari sabtu, akhirnya aku pulang dengan kecewa. Di pertigaan Gellael Ambarrukmo, aku tidak memperhatikan lampu lalu lintas. Begitu melihat seorang polisi keluar dari posnya, tiba-tiba aku ingat di situ biasanya ada lampu merah. Ketika melirik ke kiri, ternyata lampu lalu lintasnya sudah kelewatan. Aku tahu kalau sekarang berada dalam masalah, apalagi tidak ada STNK dan SIM. Kuakui aku panik, tetapi hal pertama kupikirkan adalah bagaimana caranya menukar uang Rp. 50.000-ku, karena aku hanya berniat memberikan uang 20.000. Sedangkan di kantongku ada dua lembar lima puluh ribuan. Aku tahu tidak mungkin aku memberi selembar 50.000-an dan minta kembalian 30.000. Jadi, setelah memarkir motor, aku langsung berjalan ke arah Gelael. Polisinya heran dan bertanya, "Hei.. mau kemana?". "Sebentar pak!" jawabku sambil tetap berjalan. Polisi itu membiarkan aku masuk ke Gellael - Sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukannya, seandainya motor itu motor curian, aku bisa melarikan diri. Aku masuk ke Gellael dan minta tukar uang sama kasir, kasirnya bilang tidak bisa, kecuali membeli sesuatu dulu. Aku langsung mengambil satu kotak permen seharga Rp. 3000. Setelah mendapat kembalian, aku menemui polisi yang ternyata masih mengawasiku dari samping posnya. Sepertinya dia lupa tugasnya untuk menjaga jalan. Dia menyuruh aku masuk, dan bertanya kenapa melanggar lampu merah. Aku bilang aku tidak melihatnya. Dia cuma berkata, "Makanya jangan melamun!" dan menambahkan, setelah tahu aku tidak punya SIM dan STNK bahwa aku tidak akan ketahuan kalau tidak melanggar lampu lalu lintas. "Bagaimana sekarang?" tanyanya sambil mencatat KTP-ku. Aku tidak menjawab, tetapi menyerahkan uang Rp. 20.000. Polisi itu seperti kaget dan berkata, "Apa ini?" mungkin hanya kaget karena pelanggaran seberat itu hanya dihargai dengan Rp. 20.000. Aku sudah lupa detilnya, tetapi tidak terjadi tawar menawar, aku cuma ingat dia sempat berkata: "Apa jadinya negara ini jika mahasiswanya seperti ini semua?" Namun aku tetap bertahan dengan Rp. 20.000 tersebut. Dia berkata bahwa kalau kasus ini disidangkan, untuk pelanggaran lampu lalu lintas saja sudah Rp. 30.000, belum lagi pelanggaran SIM dan STNK. Aku tetap bertahan dan duduk diam di kursi beton yang keras. Sampai akhirnya dia bosan sendiri dan berkata, "Ya.. sudah, lain kali jangan melanggar lampu merah lagi. Bahkan karena melihat KTP-ku adalah KTP kalimantan, dia malah mau pesan ikan Arwana yang terkenal itu. Sama artinya dengan menyuruh aku menjadi penyelundup. Ia tidak percaya ketika aku katakan tidak tahu ikan Arwana serta tidak ada ikan tersebut di Kalimantan (Aku memang baru tahu dari dia tentang ikan ini). Melihat begitu santainya aku menyogok, dipikirnya aku bisa menyelundupkan ikan yang katanya tidak bisa dibawa keluar kalimantan tanpa surat ijin. Aku tahu, menyogok itu salah, membawa motor tanpa SIM dan STNK itu salah. Syukurlah aku juga diberitahu bahwa harus hati-hati kalau membawa motor tanpa SIM dan STNK. Seumur hidupku dua kali aku berurusan dengan polisi, dan dua kali aku mendengar pernyataan, "Bahwa negara ini kacau karena mahasiswanya suka mengambil jalan pintas." Memang, tetapi apakah hanya karena mahasiswa?
***
Cerita di atas pernah kutulis di blog lokal kantor, ketika membaca blognya Love, aku jadi ingat tentang blog ini dan memasukkannya sebagai komentar. Kalau mau jujur, ketika memberi uang untuk pertama kali aku merasa sangat bersalah, tetapi yang kedua kulakukan dengan sangat santai dan penuh perhitungan, sampai menukar uang segala. Saat membaca cerita ini kembali, aku sadar ternyata kalau aku hanyalah seorang yang munafik, menyalahkan orang lain dan sistem. Bahkan menjadi seorang yang mau membeli Alkitab tetapi akhirnya menyalahkan Tuhan karena tidak menjaga orang yang sedang mau membaca firman-Nya, sehingga akhirnya punya alasan menggunakan uang tersebut untuk melakukan penyogokan.
joli's picture

Damai or Sidang?

Jadi ingat pengalamanku ketika SMU, aku juga pernah kena tilang karena apa lupa, kelihatannya juga pelanggaran lampu merah dan lupa bawa SIM. Ketika ditawari damai atau sidang, ini doble pelanggaran katanya.. aku pilih disidang karena ya kepingin tahu aja bagaimana disidang..

Ketika tiba harinya aku sendirian ke pengadilan.. sampai di tempat parkir aku nanya pak parkir. dimana tho letak sidang pelanggaran lalu lintas.. pak parkir dan beberapa orang lelaki setengah baya di dekat situ, nggak ngasih tahu lokasinya malahan menawarkan.. titip sidang aja mbak.. nanti sore tinggal ambil SIM-nya kesini.. walah nggak ah mas, .. tempat sidangnya mana ke kanan atau kekiri dari sini? lalu mereka memberi petunjuk arah gedung tempat persidangan di lakukan. Sampai di gedung itu aku lihat ada banyak sekali orang yang disidang.. mungkin 30-40 an orang, dan ampuhnya kebanyakan mereka para pelanggar adalah para lelaki, yang cewek mungkin cuma dua termasuk aku.. (kesimpulannya para wanita/cewek adalah pelaku2 lalu lintas yang baik he.. he..)

Persidangan berlangsung cepat.. yang lama tuh antrinya dan nunggunya... total waktu yang diperlukan dari tiba sampai selesai.. sekitar setengah harian..
Dari pengalaman persidangan yang cukup buang waktu.. maka setelah itu aku selalu taruh uang sepuluh ribuan di plastik STNK.. berjaga-jaga kl ketangkep pilih damai aja nggak ribet dan lagi nggak perlu seperti Anak Partisa cari money changer.
Untungnya setelah itu nggak pernah kena tilang lagi.. dan lucu sekali waktu ada pemeriksaan rutin pengendara sepeda motor (di solo sering dilakukan pas tanggal tua) ketika pak Pol periksa STNK .. dia nanya lho.. kok ada uang untuk apa? aku jawab ya untuk jaga2 pak Smile  kalau-kalau pas kehabisan bensin di jalan masih ada cadangan kataku.. Tongue out