Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Orang Kecil

sigid's picture

Apakah kita merasa sebagai orang kecil atau orang gede kadang secara langsung mempengaruhi pikiran, perkataan dan perbuatan kita. Hal ini sangat terasa dalam hubungan antar manusia. Ketika kita merasa sebagai orang gede, perjuangan menggapai kerendahan hati mungkin akan sedikit atau mungkin jauh lebih keras daripada orang yang merasa dirinya orang kecil.

<!--break-->Hal ini seringkali terjadi dalam pergaulan dan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Ini mengingatkan saya kepada sebuah catatan seorang Fransiskan yang menyebut dirinya “Saudara Kelana” dalam sebuah buku berjudul “Kuntum-kuntum Kecil” terbitan SEKAFI sebagai berikut dibawah. Sebuah renungan yang sangat bagus untuk mulai mencermati diri kita sendiri.

Para pengikut Il Poverello (Si Miskin Kecil) dari Asisi mungkin merasa diri tergolong orang kecil. Akan tetapi, kalau dengan teliti mengukur diri, ternyata tidak gampang menentukan posisi. Soalnya memang tergantung dari ukuran yang dipakai.

Orang kecil ada kalau ada orang gede. Seperti halnya wong cilik dalam masyarakat Jawa ada kalau ada golongan bangsawan dan priyayi. Dalam masyarakat desa di pedalaman tidak ada orang kecil. Baru kalau ada bangsawan kota datang ke sana, mereka baru mungkin akan dimasukkan golongan orang kecil.

Untuk tahu apakah kita ini kecil atau gede, perlu menempatkan diri di depan yang lain (entah orang ataupun bukan orang). Si pemazmur dalam Mazmur 8, menempatkan diri di tengah alam raya, waktu malam, ketika langit dihiasi bulan dan bintang-bintang sementara bumi diliputi kesunyian. Dalam keheningan malam, ia menengadah memandang langit yang megah itu. Waktu itu, dia merasa dirinya merinding dan menciut. Heran, kagum, dan mungkin gemetar ia bertanya, “Siapakah aku ini? Apakah manusia sehingga engkau mengindahkannya?” Ia menemukan kekecilannya justru di tengah kekaguman alam.

Pertanyaan serupa juga pernah keluar dari mulut Fransiskus (of Asisi). Waktu ia berada di Gunung La Verna, di gua batu karang yang kokoh dan kuat. Fransiskus mengalami dirinya berada dalam lingkup kebesaran Tuhan dan dengan heran dan kagum, ia pun bertanya, “Siapakah Engkau, Tuhan, dan siapakah aku ini?” Ya, siapakah aku ini? Fransiskus menemukan jawabannya, “Cacing kecil yang tak berguna”, Ia menemukan kekecilannya.

Untuk menemukan diri sebagai orang kecil, ada religius yang memilih tinggal di antara orang-orang kecil. Orang kecil, katanya, menjadi guru yang paling baik dalam bidang itu, yaitu hal menjadi orang kecil. Sebalinya, ada justru yang lebih merasa diri sebagai orang kecil kalau tinggal di tengah orang-orang gede. Yang gede, menjadi bahan kontras untuk merasakan kekecilannya sendiri.

Mana jalan yang lebih efektif? Tergantung. Memakai manusia atau makhluk ciptaan lain sebagai patokan untuk mengukur kekecilan (atau kebesaran) diri memang sifatnya amat relatif. Di tengah orang kecil, seorang bisa belajar menjadi kecil, tetapi bisa juga sebaliknya. Ia bisa saja bermain orang gede justru karena yang ada di sekitarnya semuanya kecil. Demikian juga, di tengah orang gede seorang bisa merasa dirinya kecil, tetapi sebaliknya juga bisa. Ia mungkin ketularan dan ikut-ikutan merasa dirinya orang gede.

Si pemazmur yang disebut tadi juga mengalami dua sisi pengalaman itu. Sewaktu memandang ke langit yang megah dihiasi bulan dan bintang-bintang, ia merasa diri kecil. Tetapi begitu ia kembali menempatkan diri di tengah hewan gembalaannya, ia merasa diri besar, malahan “hampir sama seperti Allah.”

Dengan membandingkan diri kita dengan manusia atau makhluk lainnya, tidak ada jaminan bahwa kita bisa menemukan kekecilan kita. Mungkin kita memang merendah-rendah dengan kata-kata seperti: kami orang kecil saja, kami tidak punya arti dan sebagainya, tetapi diam-diam dalam hati, mungkin kita justru sedang mengangkat diri kita ke taraf orang gede.

Maka paling efektif kalau kita mau menempatkan diri di hadapan kebesaran dan keagungan Allah sendiri. Di hadapan Dia, hanya ada satu kemungkinan untuk kita: mengalami diri kita sebagai makhluk yang rapuh, cacing kecil yang tidak berguna. Pengalam itu menjadi ungkapan iman, kalau selanjutnya, secara sadar dan aktif , kita mau hidup seperti itu, sesuai dengan status kita di hadapan Allah. Sebab kata Si Miskin Kecil dari Asisi, “Seperti apa nilainya seseorang di hadapan Allah, begitulah nilai orang itu dan tidak lebih.”

Tulisan ini juga saya muat di sini