Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Parenting

yujaya27's picture

Beberapa minggu lalu membaca sebuah berita di yahoo Singapore, tentang seorang anak laki-laki umur 11 tahun yang jatuh dari rumahnya di lantai 17, kejadianya pada pagi hari sekitar pk 06:50 pada saat mau berangkat sekolah, kasusnya diklasifikasikan sebagai unnatural death (bunuh diri). Belakangan ini di Indonesia juga banyak berita kekerasan seksual kepada anak-anak, sepertinya masalah pertumbuhan dan pendidikan anak menjadi issue yang semakin lama semakin kritikal, yang tidak bisa kita anggap enteng.

Sehubungan dengan kejadian tersebut saya copas beberapa komentar dari sebuah forum

"The report in Zaobao highlighted the possibility of the boy jumping because his family was arguing about his exam results. If this is true, the i really don't know what to say about the education system in Singapore anymore. I hope this will make parents up and make them realize results aren't everything"

"While it is worth remembering that Singapore has become exvessively competitive, and many parents are adopting rather extreme methods to push their kids to perform well from an early age, i cannot help but feel perhaps the kids today are not mentally developed to withstand negative situations and pressure..."

Komentar pada umumnya menyalahkan system, metodenya, padahal system/metode hanyalah sebuah alat, saya lebih cenderung melihat orang,  sebagai penyebabnya.?

Beberapa waktu yang lalu, pada saat ujian semester anak kami, saya terlibat sedikit perdebatan dengan istri, masalahanya sederhana sih, di minggu exam pada salah satu harinya ada test math untuk anak bungsu saya, tetapi pada sehari sebelum test math itu juga ada 2 les lagi yang harus dia ikuti , yang dua-duanya tidak ada hubungan dengan math, kami punya prinsip les itu sebagai tambahan, artinya kami tidak mau les yang seharusnya menjadi pendukung, sebaliknya malahan menjadi beban buat anak-anak kami, jadi saya (terlalu cepat) putuskan hari itu 1 les privat dibatalkan, tetapi istri saya tidak setuju, karena tidak baik membatalkan secara mendadak, bahkan anak saya yang pertamapun ikut mengomeli saya, akhirnya diputuskan untuk mengganti waktu les yang satunya lagi (yang bukan privat), ke hari lain.

Saya masih ingat pada saat pembahasan mengenai tema acara untuk camp Komisi Anak tahun ini, kami beberapa guru menyampaikan hal-hal yang menjadi tantangan/gangguan anak-anak di Singapore, berikut listnya:

1. Mind your own business

2. Kiasu (afraid to loose)

3. Be The first 

4. High competition 

5. Bully 

6. Materialistic

7. Sibuk dengan sekolah & les

8. Bad language

9. Self worth (nilai diri diukur dari prestasi akademik)

Lucu dan ironisnya beberapa hal di atas juga disebabkan oleh orang tua, kalo bukan penyebab langsung, paling tidak menjadi faktor pendorong yang menyebabkan hal itu terjadi, misalnya contoh no 7, yang juga menjadi salah saltu penyebab perdebatan kami pagi ini, les bukannya membantu malahan sebaliknya menambah beban anak-anak kami.
Saya masih ingat 1 point yang diangkat oleh Pdt B, pada persekutuan Keluarga Muda beberapa tahun yang lalu, setiap anak mempunyai keunikan sendiri-sendiri, oleh karena itu kita tidak bisa memperlakukan semua anak sama rata, bukan berarti kita pilih kasih, sebaliknya jika memperlakukan semua anak sama rata, maka akan menjadi tidak fair buat anak yang agak lambat/lemah, dalam hal ini kita butuh hikmat dari Tuhan. Saya setuju dengan point ini, karena melihat kedua anak saya yang berbeda, yang satu seperti Esau suka olahraga, kuat di math, yang satu lagi seperti Yakub suka masak, demen art :), jadi memang tidak bisa diperlakukan sama keduanya.

Sebenarnya tanggung jawab utama kita yang sudah diberikan anak adalah mewariskan iman, ini salah satu point yang diberikan oleh Pnt Ibu W di awal baru terbentukanya persekutuan keluarga muda, masalahnya sampai dimanakah tanggung jawab itu sudah lepas dari kita, apakah setelah anak-anak kita dibaptis? Buat saya tanggung jawab itu bisa/boleh lepas, setelah anak-anak kita berpisah dan hidup bersama dengan pasangannya, jadi dibaptis dan setiap minggu ke gereja bukan jaminan sudah mewariskan iman, ahhh... saya ingat sharing dari Pdt C, tentang seorang hamba Tuhan dibidang konseling keluarga yang cukup dikenal, pernah berkotbah di GPO, dalam sebuah forum/seminar dia mensharingkan kesedihan hatinya, karena anak bungsunya (belum menikah, saat itu sudah berumur lebih dari 25 tahun) tiba-tiba dateng kepada dia dan istrinya, dan mengatakan bahwa dia sudah tidak percaya  dan meninggalkan iman Kristen. Jadi buat saya walaupun nantinya anak-anak telah dibaptis, itu bukan jaminan kita sudah mewariskan iman, semuanya kembali kepada anugerah semata, bagian kita adalah mengerjakan dengan sebaik-baiknya.

Kalau saya baca 2 komentar di atas, yang saya copas dari sebuah forum, mengandung tantangan (atau lebih tepatnya gangguan) no 2 (Kiasu), 3 (Be the first), 4 (High Competition), 9 (Self Worth)  dan... mungkin didalamnya ada nomor 7 (Sibuk tugas sekolah dan les). oh ya saya mau menambahkan satu tantangan lagi nomor 10, anak diipakai sebagai alat untuk memenuhi ambisi orangtua/guru/sekolah.

Saya rasa Parenting menjadi sebuah tema yang sangat penting, khususnya bagi pasangan yang baru mempunyai anak dan di jaman seperti sekarang ini, di mana informasi, tontonan video bisa begitu mudahnya diakses mlalui hp dll, bagaimana respon kita orang Kristen dan gereja dalam hal ini?

Singapore 10 & 22 May 2016