Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Pendahuluan (Bagian 9): Kajian Lucifer – Merunut Kabar (Dari) Burung

RDF's picture

Konsep Setan dan Pertentangannya pada Reformasi Protestan 

 Saya, sebagai umat Allah dan ciptaanNya  mempercayai jika ‘keadaan’ sudah sebegitu ‘kabur’; dalam hal ini konsep-konsep dan buah pemikiran-pemikiran Kristen yang sudah menjadi tidak orisinil yang seharusnya berangkat dari FirmanNya setelah melalui periode panjang peradaban Romawi, maka Sang Pencipta dapat membangkitkan atau tepatnya memakai siapa saja yang dipilihNya untuk ‘menjernihkan’ ‘keadaan’.

Pernyataan saya ini, terkait erat dengan perkembangan nilai Injil dan kekristenan yang diberitakan dengan tulus dan ikhlas serta dedikasi tinggi oleh para Rasul-Rasul yang menjadi saksi kehidupan Yesus Kristus namun telah bergeser nilai kebenarannya menjadi barang dagangan yang komersil bahkan ‘dipermainkan’ untuk kepentingan segelintir dan kekuasaan umat manusia.

Sebagai umat Kristen (Protestan), penting sekali untuk menyimak latar belakang Reformasi Protestan yang terjadi pada periode 1517 hingga 1600 yang ‘dimainkan’ oleh tokoh-tokoh Reformasi yang dimulai oleh seorang Martin Luther dengan memakukan 95 dalilnya sebagai sebuah undangan sederhana untuk debat cendekiawan yang secara tidak sengaja menjadi sebuah ‘engsel sejarah’.

Setting atau latar belakangnya adalah dari maraknya peredaran indulgensia, yaitu sebuah surat penghapusan dosa.

Saya memulainya dengan memperkenalkan biografi Sang Reformator yang saya kutip dari Wikipedia umum:

Martin Luther (lahir di Eisleben, Kekaisaran Romawi Suci, 10 November 1483 - meninggal di Eisleben, Kekaisaran Romawi Suci, 18 Februari 1546 pada umur 62 tahun) adalah seorang pastur Jerman dan ahli teologi Kristen dan pendiri Gereja Lutheran, gereja Protestan, pecahan dari Katolik Roma. Dia merupakan tokoh terkemuka bagi Reformasi. Ajaran-ajarannya tidak hanya mengilhami gerakan Reformasi, namun juga memengaruhi doktrin, dan budaya Lutheran serta tradisi Protestan.

Seruan Luther kepada Gereja agar kembali kepada ajaran-ajaran Alkitab telah melahirkan tradisi baru dalam agama Kristen. Gerakan pembaruannya mengakibatkan perubahan radikal juga di lingkungan Gereja Katolik Roma dalam bentuk Reformasi Katolik. Sumbangan-sumbangan Luther terhadap peradaban Barat jauh melampaui kehidupan Gereja Kristen. Terjemahan Alkitabnya telah ikut mengembangkan versi standar bahasa Jerman dan menambahkan sejumlah prinsip dalam seni penerjemahan. Nyanyian rohani yang diciptakannya mengilhami perkembangan nyanyian jemaat dalam Gereja Kristen.

Selain tugas-tugasnya sebagai seorang profesor, Martin Luther melayani sebagai pengkhotbah dan penerima pengakuan dosa di Gereja Kastil, "fondasi" dari Frederick yang Bijak, Pemilih dari Saxony. Gereja ini dinamai "Semua orang Suci" karena di sinilah disimpan koleksi relikui sucinya. Gereja ini berfungsi sebagai biara Augustinian dan universitas. Dalam melakukan tugas-tugas inilah pastor muda itu diperhadapkan dengan berbagai akibat yang timbul ketika orang biasa harus mendapatkan indulgensia.

Indulgensia adalah penghapusan (sepenuhnya atau sebagian) dari penghukuman sementara yang masih ada bagi dosa-dosa setelah kesalahan seseorang dihapuskan melalui absolusi (pernyataan oleh imam bahwa dosa seseorang telah dihapuskan). Saat itu terjadi penyalahgunaan indulgensia oleh oknum-oknum Gereja, yaitu sebuah indulgensia dapat dibeli seorang umat untuk dirinya sendiri ataupun untuk salah seorang sanak keluarga yang sedang berada di api penyucian. Johann Tetzel, seorang imam Dominikan, ditugasi berkeliling di seluruh wilayah keuskupan Uskup Agung Albert dari Mainz untuk mempromosikan dan menjual indulgensia untuk merenovasi Basilika St. Petrus di Roma. Tetzel sangat berhasil dalam hal ini. Ia menganjurkan: "Begitu mata uang bergemerincing di dalam kotak, jiwa yang sedang menanti di api penyucian pun akan terlepas."

Luther menganggap penjualan indulgensia ini sebagai penyelewengan yang dapat menyesatkan umat sehingga mereka hanya mengandalkan indulgensia itu saja dan mengabaikan pengakuan dosa dan pertobatan sejati. Luther menyampaikan tiga khotbah menentang indulgensia ini pada 1516 dan 1517.

Pada 31 Oktober 1517, menurut laporan tradisional, 95 dalil Luther dipakukan pada pintu Gereja Kastil sebagai undangan terbuka untuk memperdebatkannya. Luther sebetulnya tidak menempatkan ke-95 dalil itu di pintu Gereja Wittenberg yang sebagaimana dikatakan legenda, tetapi menerbitkan salinannya.

Dalil-dalilnya ini mengutuk keserakahan dan keduniawian di dalam Gereja dan dianggap sebagai penyimpangan. Luther mengeluarkan bantahan teologis tentang apa yang dapat dihasilkan oleh indulgensia itu. Luther tidak menantang wewenang paus untuk mengeluarkan indulgensia dalam dalil-dalilnya itu. Ke-95 dalil Luther segera diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, disalin dan dicetak secara luas. Dalam waktu dua minggu, dalil-dalilnya telah menyebar ke seluruh Jerman, dan dalam waktu dua bulan ke seluruh Eropa. Ini adalah salah satu peristiwa pertama dalam sejarah yang dipengaruhi secara mendalam oleh mesin cetak, yang membuat distribusi dokumen lebih mudah dan meluas.

Dengan mengalirnya gerakan reformasi yang dimulai oleh Martin Luther yang kemudian bersambut oleh para tokoh-tokoh lainnya maka terciptalah ‘jurang’ antara kaum Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Keadaan yang menyebabkan perpisahan ini diselimuti dengan kepahitan dimana kedua belah pihak saling menuding satu sama lain sebagai pihak musuh atau di bawah kuasa Setan. Tentunya ini menjadi konsekuensi logis karena masing-masing pihak mempercayai bahwa mereka berdiri di pihak Allah dan pihak yang berseberangan dengan mereka dianggap berada di pihak Setan. Keadaan ini memaklumkan kedua belah pihak untuk melakukan segala bentuk peperangan, tudingan dan demonisasi. Pihak Protestan menuding bahwa Paus sebagai sosok Anti-Kristus dengan segala ajarannya dan di pihak yang lain, pihak Katolik menyatakan bahwa pihak Protestan telah ‘dirasuki’ oleh kuasa jahat dan kuasa setan-setan.

Sebagai bentuk melakukan penjernihan terhadap pandangan-pandangan tentang Allah, keimanan, pengampunan, anugerah sampai pandangan terhadap Setan dan ‘peperangan di surga’ seperti tercatat dalam kitab Wahyu 12, Luther melakukan ‘perlawanan’ bahwa apa yang tertulis pada kitab Wahyu itu bukanlah menunjuk pada apa yang telah terjadi di Eden namun sebagai deskripsi tentang penganiayaan kekristenan di tangan musuh. Namun demikian, Luther masih meyakini bahwa Setan memang diusir dari Surga namun menempatkan kitab Wahyu 12 sebagai pendukung ide pembuangan Setan dari Surga sangat tidak masuk akal.

Tahun-tahun berikutnya, tampil seorang tokoh berkebangsaan Inggris bernama Joseph Mede. Tokoh ini terdidik di sebuah Christ’s College, Cambridge dan menjadi seorang ahli Alkitab yang juga seorang naturalist dan Egyptologist. Catatan dan karyanya yang mengguncang keyakinan katolik selama ini adalah bahwa Joseph Mede menyimpulkan apa yang disebut sebagai ‘kerasukan setan’ selama ini adalah menunjuk pada gangguan mental dan bukan sebuah gejala masuknya sosok kosmik yang kemudian mengontrol orang yang dirasukinya. Lebih dari itu dalam buku karyanya His Clavis Apocalyptica (1627 dalam bahasa Latin, dan dalam terjemahan bahasa Inggrisnya pada tahun 1643, Key of the Revelation Searched and Demonstrated), Joseph Mede menjabarkan secara lengkap intepretasi Kitab Wahyu sebagai Wahyu yang diberikan kepada Rasul Yohanes sebagai kitab akhir Perjanjian Baru. Mede juga membahas tentang kaitannya pada ayat terkenal mengenai jatuhnya Lucifer di dalam Yesaya 14.

Selanjutnya pada periode 1494-1535, hadir pula William Tyndale seorang figur dalam kepercayaan Protestan dengan karyanya yang sangat terkenal dalam menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Inggris. Karyanya banyak dipengaruhi oleh Desiderius Erasmus yang membuat Alkitab bahasa Gerika dapat dikonsumsi di dataran Eropa dan juga banyak dipengaruhi oleh Martin Luther. Senafas dengan Joseph Mede juga menolak sosok setan sebagai bentuk makhluk kosmik, Tyndale juga menolak praktek para doa-doa orang suci, mengajarkan keimanan yang benar dan mortalitas dari jiwa yang pada saat itu lebih diyakini sebagai keadaan imortal. Dalam buku karyanya di tahun 1530, The Man of Sin, Tyndale menolak pandangan bahwa setan adalah sosok malaikat yang jatuh.

Selanjutnya hadir para reformis-reformis berkebangsaan Jerman seperti Urbanus Rhegius di periode tahun 1489-1541 dan Friedrich Schleiermacher di periode 1768-1834 yang dalam karya-karyanya juga mengangkat topik seputar setan yang dipercayai sebagai sosok malaikat yang jatuh. Schleiermacher malahan semakin menjadi-jadi pada pengungkapan alasan rasionalnya yang menyimpulkan bahwa menggeser kesalahan-kesalahan yang dibuat umat manusia dan melemparkannya kepada sosok Setan hanyalah menjelaskan omong kosong dan menekankan bahwa hal itu hanyalah bualan untuk mempercayai bahwa sosok Setan tersebut dapat mempengaruhi rencana Allah dan dengan alasan itulah ia menolak pandangan sosok kosmik Setan.

Selanjutnya hadir Søren Aabye Kierkegaard (5 May 1813-11 November 1855) seorang teolog, pemikir, dan pujangga berkebangsaan Denmark dengan argumentasinya pada sosok kosmik Setan. Ada lagi Fyodor Mikhailovich Dostoyevsky (11 November 1821-9 February 1881), lebih sering disebut sebagai Dostoevsky, seorang novelis dan pemikir berkebangsaan Rusia. Melalui karyanya sebuah buku politik yang ekstrem berjudul Demons atau dalam terjemahan Inggrisnya ditulis sebagai The Possessed dan pada terjemahan berikutnya sebagai The Devil sangat jelas berkutat pada pandangan seputar sosok Setan sebagai makhluk kosmik. Pada buku tersebut terdapat tokoh sentral yang bernama Nikolai Vsevolodovich Stavrogin yang mana digambarkan berjuang dalam melakukan perbuatan baik dan jahat sebagaimana diyakini oleh sang penulis dan pada saat menyatakan apakah sosok Setan itu benar-benar ada melalui pernyataan tokoh utama tersebut, dinyatakan bahwa Stavrogin menjawab bahwa, “Saya melihat dia (sosok setan) sebagaimana seperti sangat jelasnya saya melihat(nya) pada kamu …”.

Sebelumnya sudah muncul nama-nama asal Belanda seperti David Joris di periode 1501-1556 sebagai seorang pemimpin Anabaptis di Belanda dengan karyanya yang ternama Man is a Devil to Himself, Anthonie van Dale seorang pengkhotbah pada periode 1638-1708 dengan argumentasinya akan hal-hal supernatural dan mistis dan peran sosok Setan pada tradisi Pagan dan Balthassar Bekker seorang menteri Belanda dan pekerja teologis yang melawan hal-hal mistis, melalui karyanya yang terkenal De Betoverde Weereld (1691), atau terjemahan bahasa Inggrisnya The World Bewitched (1695) yang bertema kritikan pada fenomena kerasukan oleh kuasa setan dan sangat mempertanyakan tentang eksistensi Setan.

Dari Inggris, ada nama-nama seperti Jacob Bauthtumley (1613-1692) dan Lodowik Muggleton (1609-1698) yang masing-masing dikenal dengan karnyanya The Light and Dark Sides of God dan Komentar-komentarnya pada Kitab Wahyu. Ada juga Thomas Hobbes pada periode 1588-1679 melalui bukunya Leviathan.  Seorang nama besar, Sir Isaac Newton yang mungkin lebih dikenal sebagai seorang ilmuwan ternyata juga menemukan sosok Allah sebagai Maha Karya Pencipta melalui karya-karyaNya yang tidak dapat dipungkiri. Banyak tulisan-tulisan teologis dari Newton yang dibuatnya terutama pada hal eliminasi kejahatan hingga pada sebuah manuskrip yang ditemukan pada tahun 1704, Newton pernah menuliskan dari hasil usahanya menemukan informasi scientific dari Alkitab tentang kemungkinan dunia berakhir tidak lebih dari tahun 2060. Selanjutnya sebagai teman dan murid dari Newton, Arthur Ashley Sykes seorang penulis religi mengemukakan Teologi Kontroversinya dalam hal trinitas hingga gejala demoniak/ kerasukan kuasa setan yang dipercayainya sebagai penyakit mental atau gangguan jiwa. Lebih lanjut, Richard Mead, senada dengan Joseph Mede dan Arthur Ashley Sykes menyimpulkan berikut:

‘That the Daemoniacs, daimonizomenoi, mentioned in the gospels, laboured under a disease really natural, though of an obstinate and difficult kind, appears to me very probable from the accounts given of them.’

Akhirnya pada abad ke-19 ada nama-nama John Simpson dengan karyanya di tahun 1804, The Meaning of Satan, Dr. John Epps  dengan karyanya The Devil di tahun 1842, John Thomas dengan karyanya Elpis Israel di tahun 1848 dan Robert Roberts di tahun 1882 dengan karyanya The Evil One yang mana semuanya menyatakan penolakan pada wujud nyata sosok Setan.

Lebih dalam tentang pengajaran yang ditulis pada The Evil One, Robert Roberts banyak sekali mengangkat tema-tema yang sudah sepanjang zaman dipahami mistis seperti:

1. Kalimat dalam Doa Bapa Kami: “ … lepaskanlah kami dari pada yang jahat’  (deliver us from the Evil One).

2. Ular di Taman Eden (Kejadian 3)

3. Malaikat yang jatuh (II Petrus 2:4; Yudas 6)

4. Lucifer, Raja Babilonia (Yesaya 14:12-15)

5. Raja Tirus (Yehezkiel 28:13-17)

6. Perempuan, Naga dan Anak Manusia (Wahyu 12:7-10)

dan masih banyak lagi termasuk banyak kata-kata ‘penguas dunia’ dan setan yang banyak terdapat di dalam Alkitab.

Catatan:

Bahwa perunutan yang dilakukan terhadap jejak rekam dan sejarah perkembangan konsep setan dan pemikiran-pemikirannya mulai dari zaman perbudakan Mesir hingga para Reformis adalah murni catatan sejarah yang dapat diverifikasi dan penulis masih tetap memverfikasinya dengan membaca buku-buku atau karya-karya pendahulu dan berusaha mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi situs atau TKP.

Referensi:

1. Wikipedia Umum

2. Key of the Revelation Searched and Demonstrated, Joseph Mede 

3. The Evil One, Robert Roberts