Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Perempuan dan Dosa

Diananov's picture

 

“…yet your desire will be for your husband,

And he will rule over you.”

Genesis 3:16

Karakter apa yang muncul di benak anda ketika mendengar kata perempuan? Apakah seorang Ibu yang penyayang? Seorang istri yang penuntut dan suka mengatur? Seorang atasan kerja yang ambisius? Atau seorang pembantu rumah tangga yang rela bekerja keras walaupun suaminya bersantai di kampung? Siapakah perempuan itu?

Apa yang dikatakan Tuhan mengenai perempuan pertama, Hawa? Sejatinya ia adalah seorang penolong yang sepadan dengan laki-laki (Kejadian 2:18), dan merupakan ciptaan Tuhan terindah, satu-satunya makhluk yang bukan dibuat dari debu, melainkan dari rusuk laki-laki (ay.22). Keberadaan Hawa diterima dengan penuh sukacita oleh Adam (ay.23). Semua berjalan damai sempurna sampai pada kejatuhan Adam & Hawa ke dalam kutukan dosa.

Kejatuhan manusia ke dalam dosa membuat semuanya berubah. Polusi dosa membuat manusia tidak dapat memahami apa maksud dan tujuan Tuhan menciptakan dirinya. Hati manusia seakan melihat gambaran yang kabur mengenai peran dan posisi, khususnya yang menyangkut jati diri seksualitasnya. Kutukan Tuhan terhadap Adam dan Hawa tidak sama, karena memang mereka diciptakan berbeda. Melalui Hawa, kaum perempuan mendapatkan kutuk di dalam relasinya terhadap laki-laki, terutama suaminya. Perempuan akan selalu terus-menerus menginginkan untuk berkuasa di atas laki-laki, namun tidak akan pernah mencapainya. Dan melalui Adam, kaum laki-laki akan sulit untuk mempercayai dan mendengarkan jeritan kaum perempuan, karena melalui Hawa ia mendapat kutuk Tuhan: “…karena engkau mendengarkan perkataan isterimu dan memakan dari buah pohon, …” (ay. 17). Adam yang semula bersukacita menyambut Hawa dengan berkata, “…inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. …” (ay. 23), berubah menjadi menyalahkan Tuhan dengan membantah, “…Perempuan yang Kau tempatkan di sisiku, …” (Kej. 3:12). Langsung terlihat akibat dari kejatuhan manusia, yaitu perubahan relasi laki-laki dan perempuan menjadi timpang, penuh dengan jerat tipu muslihat, dan tidak pernah mencerminkan apa yang menjadi rancangan Tuhan sejak semula.

Tidaklah sulit untuk dapat melihat manifestasi kutukan dosa secara nyata dalam kehidupan kaum perempuan di dunia. Pengertian manusia mengenai perempuan selalu berubah seiring zaman. Namun sejarah membuktikan, baik secara makro maupun mikro[1], bahwa kaum perempuan tidak pernah secara utuh mendapati dirinya dihargai sebagaimana mestinya. Meskipun telah melewati puluhan abad, selalu ada satu hal yang tidak pernah terselesaikan. Kaum perempuan selalu memiliki kegelisahan untuk terus memperjuangkan hak dan penerimaan kaumnya sebagai identitas yang signifikan.[2] Kegelisahan inilah yang selalu menjadi roda penggerak perubahan pemikiran-pemikiran tersebut, yang disebabkan oleh suatu perasaan tidak setara akibat dari ketidakadilan nilai-nilai sosial dalam memperlakukan perempuan. Mereka pernah dan masih melewati masa di mana mereka tidak memiliki suara, dinomor-duakan, disepelekan, dsb. Perempuan tidak bisa lari meminta pertolongan kepada kaum laki-laki maupun institusi pemerintahan, karena merekalah yang dilihat sebagai pelaksana ketidakadilan tersebut. Sehingga perempuan harus berusaha untuk memperjuangkan hak mereka sendiri. Cerminan pemikiran sosial di zaman filsuf besar Aristoteles tuliskan dalam Politics, “Antara laki-laki dan perempuan, yang terdahulu secara alamiah superior dan pemimpin sedangkan yang satu inferior dan obyek.”[3] Pandangan-pandangan seperti inilah yang memicu pergerakan Feminism.

Hakikatnya, Feminisme dalah suatu bentuk pemikiran kritikal yang mempertanyakan ulang paradigma patriaki yang menganggap laki-laki sebagai kaum superior dan unggul (pemikiran rasional dan kekuasaan) sehingga menguasai kaum perempuan yang inferior dan pasif cocok sebagai peran pembantu. Pada umumnya, kaum feminis ingin memperjuangkan kesetaraan di dalam ranah kemanusiaan,[4] seperti pergerakan untuk menuntut persamaan hak dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi dan politik yang diprakarsai oleh Marry Wollstonecraft, John Stuart Mill, Harriet Taylor Mill, dsb.[5]

Namun pergerakan feminis ini mulai mengalami pergeseran nilai-nilai seiring perkembangan filsafat zamannya, salah satunya adalah pembebasan dari peran dan tanggung-jawab oleh karena gender. Beberapa feminis menuntut akan pemutar-balikan hierarki tradisional, beranggapan bahwa perempuanlah kaum superior dan unggul terhadap kaum laki-laki yang cenderung berbuat kejahatan. Mereka pun mempertanyakan pengajaran gereja[6] yang menyatakan bahwa Tuhan menciptakan perempuan di bawah kekuasaan laki-laki dan segala bentuk penolakan pengajaran ini adalah dosa.[7]

Gerakan Feminisme radikal bermula dari perjuangan akan penindasan kaum perempuan, khususnya kekerasan seksualitas berkembang menjadi perjuangan anti heteroseksualitas, karena dianggap sebagai suatu alat politis yang menunjukkan kekuasaan laki-laki atas perempuan.[8] Feminis Kate Millet memiliki pemikiran radikal bahwa kesetaraan gender dapat diterapkan jika ada pemahaman androgini[9] di dalamnya dan percaya bahwa androgini merupakan tipe terbaik asal dapat diintegrasikan pada kedua jenis kelamin laki-laki dan perempuan.[10] Ia pun menuliskan:

“Ideologi patriakhal melebih-lebihkan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, memastikan bahwa laki-laki akan selalu dominan dan perempuan akan selalu mendapatkan peranan yang lebih rendah. Ideologi ini sangat berkuasa sehingga sekilas terlihat perempuan menerima penindasan yang dialaminya. Mereka melakukan ini melalui institusi-institutsi seperti di akademis, gereja, keluarga yang menjustifikasi dan menguatkan subordinasi terhadap perempuan sehingga membuat perempuan secara internal merasa inferior terhadap laki-laki.”[11]

 

Shulamith Firestore di dalam bukunya Dialetic of Sex menyatakan bahwa kemampuannya melahirkan justru membuat perempuan lemah di hadapan laki-laki.[12] Salah satu filsuf feminis Perancis yang terkenal, Simone de Beauvoir melontarkan, “Siapa itu perempuan?” Tota mulier in utero, “perempuan adalah kandungan.”[13] Kondisi biologis yang sangat jelas membedakan perempuan dan laki-laki. Sehingga para feminis ini berkesimpulan bahwa perempuan tidak bisa benar-benar menjadi dirinya sendiri, tidak bisa dinilai sebagai manusia utuh tanpa terlepas dari attribute fisik ini. Perempuan mau tidak mau dinilai hanya sebagai pelengkap laki-laki.

Hal-hal di atas menunjukkan bahwa di tengah-tengah proses memperjuangkan haknya, kaum perempuan pun mulai mengalami kebingungan akan seksualitasnya sendiri. Terdapat perbedaan pandangan di antara kalangan mereka sendiri, ada kubu yang menganggap bahwa seksual kewanitaan dianggap sebagai sumber “penindasan” perempuan sebaliknya ada kubu yang menganggapnya justru sebagai ranah “kekuasaan” perempuan.[14]

Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Sungguh ironis, bermula dari suatu gerakan dari kaum yang menuntut penghargaan oleh sebab dirinya perempuan, menjadi gerakan kaum yang tidak merasa berharga justru jika dirinya perempuan, “terkutuk” karena memiliki rahim? Dengan tetap menggunakan jubah “kewanitaan” mereka namun di dalamnya mereka sudah berubah menjadi kaum yang menentang kaumnya sendiri. Filsuf besar Jacque Derrida menuliskan kritikannya akan bentuk feminism yang selalu mendasari argumentasinya  pada system patriaki atau phallusentrisme[15], dan seakan mencibir ia berkata:

Sebenarnya para feminis yang perempuan, di mana Nietzshe sering melontarkan sarkasmenya, sesungguhnya adalah laki-laki. Feminisme merupakan cara di mana perempuan menginginkan menjadi laki-laki, … yakni dengan segala ilusi maskluin…. Mereka telah kehilangan gaya.[16]

 

Sejarah membuktikan berkali-kali bahwa manusia memang tidak bisa tidak terlepas dari jeratan dosa. Polusi dosa menyebabkan pandangan manusia menjadi kabur dan masuk ke dalam kebingungan akan pemahaman siapa dirinya. Manusia enggan untuk dengan rendah hati mengakui akan adanya kebenaran Tuhan yang absolut. Akan tetapi bukankah ini membuktikan bahwa manusia tidak bisa lari dari kutukan dosa?

Apakah salah jika kaum perempuan berjuang untuk keadilan dan kesetaraan? Tentu tidak! Adalah natural ketika kaum perempuan memiliki kegelisahan untuk mendapatkan penghargaan dan penyetaraan hak sama seperti laki-laki, karena Tuhan memang menciptakan perempuan sepadan dengan laki-laki. Dan justru malah sebaliknya, erangan ini adalah bukti perempuan masih tercipta di dalam gambar dan rupa Allah yang mencoba membebaskan diri dari kutuk dosa. Seperti yang tertulis dalam Roma 8:22 “Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama sakit bersalin.”

Hal ini mengambil arah jalan yang salah ketika perempuan menyerah pada tendensi naturnya menguasai dengan mengambil posisi dan tanggung jawab laki-laki, yang notabene adalah kutukan dosa. Kejadian 3:16 “…namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu.” Meskipun mungkin perempuan terlihat berhasil di dalam usahanya berkuasa atas laki-laki, sesungguhnya ia tidak akan pernah mencapainya dan pasti berujung pada kefrustrasian.

Sehingga bagaimanakah seharusnya perempuan bersikap dan melihat dirinya sendiri? Apakah yang ada di benak Tuhan ketika ia menciptakan Hawa? Apabila kita kembali kepada kebenaran Tuhan, maka seharusnya perempuan dapat bersukacita dan melihat betapa teristimewanya dia. Tuhan memberikan hak dan tanggung-jawab khusus bagi perempuan sarana pemberi kehidupan. Kej 3:20 “… sebab dialah (Hawa) yang menjadi ibu semua yang hidup.”

Sama seperti segala hal di dalam dunia ini yang sudah terpolusi oleh dosa, hanya ada satu cara untuk mengembalikan kekacauan-kekacauan yang ada ke kondisi yang seharusnya. Yaitu dengan berbalik kepada kebenaran sejati meskipun terasa melawan segala arus dunia. Di dalam hal ini, perempuan tidak akan terpuaskan dengan menolak kodratnya sebagai yang mengandung, ataupun dengan berkuasa atas laki-laki. Perempuan hanya akan terpuaskan kekosongan hatinya ketika ia melihat dan menerima gambaran Tuhan akan dirinya.

Diharapkan tulisan ini dapat memberikan sedikit kesadaran bagaimana seharusnya kita memandang perempuan, sebagaimana Tuhan sudah memandang mereka. Karena being created a woman is glorious!



[1] Makro diperuntukkan untuk kaum perempuan secara global di dunia, dan mikro diperuntukkan untuk kaum perempuan secara individual. Contoh masalah relasi laki-laki perempuan secara makro adalah ketimpangan dari penghasilan kerja, dan secara mikro adalah hubungan masing-masing individu sebagai suami-istri.

[2] Signifikan merujuk pada peran perempuan sebagai penolong yang sepadan. Dalam bahasa Ibrani, kata penolong yang dipakai adalah Ezer, kata yang sama untuk menggambarkan Tuhan Allah yang memberi pertolongan kepada bangsa Israel. Sehingga di dalam natur perempuan, ia mengerti bahwa dirinya memiliki value yang besar.

[3] Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis,(Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), 5.

[4] Susan Frank Parsons, The Cambridge Companion to Feminist Theology, bab 1 The Emergence of Christian Feminist Theology, ed. Rosemary Radford Ruether (Cambridge:Cambridge University Press, 2002), 3.

[5] Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, 89-92.

[6] Perkembangan gerakan feminis dimulai di dalam komunitas yang berbudaya barat dan didasari oleh banyak pengajaran gereja.

[7] Parsons, The Cambridge Companion to Feminist Theology, 3.

[8] Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, 103-108. 

[9] Definisi Androgini menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kepemilikan organ kedua perkembangbiakan jantan dan betina. Namun pengertian androgini di dalam konteks Kate Millet adalah sebuah konsep di mana ciri-ciri, baik maskulinitas maupun feminitas, ditemui di dalam diri kedua jenis kelamin yang ada, baik laki-laki maupun perempuan 

[10] Rosemarie Tong, “Feminist Thought,” (1998): 1, dikutip dalam Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, 107-108.

[11] Kate Millet, “Sexual Politics,” (1970): 32, dikutip dalam Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, 107.

[12] Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, 122.

[13] Simone de Beauvoir, “The Second Sex,” (1987): 13, dikutip dalam Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, 122.

[14] Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, 109.

[15] Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, 167.

[16] Jacque Derrida dalam Elam, “Feminism and Deconstruction,” (1994):15, dikutip dalam Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, 167.