Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Roti, Ikan, dan Anak Kecil Itu

arie_saptaji's picture

Kisah ini kemungkinan sudah berulang-ulang kita dengar. Sejak Sekolah Minggu malah. Hanya dengan lima roti dan dua ikan, Tuhan Yesus mengatasi kesulitan penyediaan konsumsi di medan terpencil para orang-orang yang menyimak pengajaran-Nya. Tercatat ada lima ribu laki-laki, belum termasuk para perempuan dan anak-anak. Bukan hanya cukup, masih tersisa pula dua belas bakul roti. Mukjizat yang hebat!

Namun, ada detail menarik yang tampaknya kerap dilewati. Yohanes mencatat, lima roti dan dua ikan itu bawaan seorang anak kecil. Tidak dijelaskan, apakah anak itu memberikan bekalnya karena bujukan Andreas atau atas inisiatifnya sendiri. Yang jelas, ia memberikannya tanpa banyak keributan. Anak kecil yang hebat, bukan?

Betapa tidak. Kalau ia menyimpannya sendiri, ia---dan bisa jadi keluarganya---tak akan kelaparan. Bekal itu cukup untuk mengenyangkan mereka. Rupanya, anak ini punya gagasan lain. Mungkin ia terpikat pada tuturan Guru yang satu ini. Mungkin ia pernah mendengar---atau melihat sendiri---mukjizat yang dilakukan Sang Penyembuh ini. Maka, ketika terjadi krisis makanan, meletiklah ide cemerlang di benak polosnya. Kalau terhadap penyakit saja Dia sanggup menjamah secara ajaib, pastilah Dia juga mampu melakukan sesuatu untuk roti dan ikan di tanganku ini!

Anak itu memutuskan, roti dan ikan itu akan lebih berguna kalau berada di tangan Yesus daripada kalau terus digenggamnya sendiri. Dan, harapannya terpenuhi. Melampaui bayangannya yang paling liar. Barangkali matanya terbelalak melihat potongan roti dan ikan terus-menerus mengalir. Mungkin wajahnya melongo tapi berbinar ketika melihat orang-orang di sekelilingnya yang semula kelaparan kini asyik mengunyah makanan yang memuaskan perut mereka.

Tapi, detail itu tidak dimunculkan oleh penulis Injil. Tidak diceritakan pula apa yang terjadi sesudah perjamuan raya itu usai dan sisa-sisa roti dikumpulkan. Tidak diceritakan apakah anak itu menerima tepukan di pundah dari Yesus. Tidak diceritakan apakah orang-orang itu, selain kepada Yesus, juga berterima kasih kepada-Nya. Tidak diceritakan juga apakah anak itu diperbolehkan membawa pulang bakul sisa roti. Juga, tidak diceritakan apakah sesudah itu keluarganya menerima berkat melimpah dan tidak pernah menanggung kelaparan. Tidak diceritakan.

Yang jelas, sosoknya telah terekam dalam Injil untuk menjadi ilham bagi sekalian pendengar dan pembaca kabar baik ini. Paling tidak saya memetik tiga pelajaran menantang tentang pemberian.

Memberi di tengah krisis. Anak itu bisa saja diam-diam, ketika orang lain mulai merasa lapar dan kebingungan mencari makan, menikmati makanannya sendirian. Roti dan ikannya mungkin bahkan cukup untuk makan beberapa kali. Meskipun pas-pasan, setidaknya ia aman dari ancaman kelaparan hari itu. Tetapi, ia memilih menyerahkan apa yang ada di tangannya untuk menolong orang lain.

Ketika kondisi keuangan longgar, barangkali cukup menyenangkan menjadi Sinterklas dan berderma kepada sesama. Kita bisa melakukannya dengan penuh kebanggaan. Tetapi, ketika dompet kita menipis, naluri mengamankan dan menyelamatkan diri sendiri cenderung menguat. Kita ingin memastikan bahwa kebutuhan pribadi dan keluarga kita terpenuhi terlebih dahulu. Kita berusaha berhemat dan memangkas anggaran yang kita anggap tidak penting. Ketika pendapatan bulanan sulit disisakan untuk tabungan, masakan kita mesti tetap setia memberikan persembahan ke gereja? Masakan kita harus menyisihkan donasi untuk dana beasiswa bagi anak-anak yang kurang mampu? Haruskah kita membantu tetangga yang sedang sakit?

Seorang kawan saya, yang berbisnis persewaan PlayStation, tidak mau ditekuk oleh krisis. Ia memulai bisnisnya dari beberapa mesin. Pelan-pelan usahanya berkembang, jumlah mesinnya bertambah hingga mencapai belasan, dan hasilnya lumayan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Sampai pukulan itu datang. Seorang pegawai kepercayaannya berkhianat, melarikan sebagian besar mesinnya. Tentu saja ia terguncang. Tetapi, ia memilih untuk tidak terpuruk. Dalam hal pemberian, ia bersaksi, “Saya dan istri saya memutuskan untuk tidak mengurangi persembahan. Kami justru merasa inilah waktunya bagi kami untuk menambah jumlah pemberian kami.”

Richard Wumbrand, penulis Tortured for Christ, menuturkan, selama di penjara Rumania pada masa komunis orang-orang percaya tetap memberikan persembahan. ”Ketika kami diberi jatah sepotong roti setiap minggu dan semangkuk sup kotor setiap hari, kami memutuskan untuk tetap setia memberikan ’persepuluhan’ dari jatah kami tersebut. Setiap minggu kesepuluh, kami mengambil roti kami dan memberikannya kepada saudara-saudara yang lebih lemah keadaannya. Itulah ’persepuluhan’ kami kepada Tuhan.”

Ketika kondisi pribadi kita hanya pas-pasan, bahkan mungkin kekurangan, masihkah kita menyediakan ruang untuk bermurah hati?

Memberi tanpa pamrih. Jujur saja, ketika memberikan persembahan, kadang-kadang saya berharap pemberian itu akan membuat saya menerima balasan tiga puluh, enam puluh, seratus kali lipat. Betapa sedapnya kalau sesudah memberi persembahan saya menerima berkat keuangan melimpah sehingga bisa melunai utang, memiliki kendaraan baru, lancar membayar kontrak rumah, atau malah sekalian mendapatkan cukup dana untuk membeli rumah pribadi!

Anak itu memberi---dan kita tidak pernah tahu pasti berkat apa yang dituainya.

Firman Tuhan mencatat beberapa persembahan lain yang serupa itu. Janda miskin itu memberikan seluruh nafkahnya, dan Tuhan Yesus menyoroti dan memuji persembahannya, tetapi tidak diceritakan apakah sesudah itu janda tersebut terbebas dari kemiskinan. Orang-orang percaya di Makedonia, yang sangat miskin serta mengalami banyak kesusahan dan kesulitan hidup, bermurah hati turut memberikan bantuan keuangan bagi umat Tuhan yang miskin di Yerusalem. Rasul Paulus memuji-muji kedermawanan mereka, tetapi tidak diceritakan pula apakah sesudah itu mereka terbebas dari berbagai masalah yang membelit mereka.

Maukah kita bermurah hati meskipun tak ada jaminan bahwa kita akan menerima imbalan?

Memberi dengan iman. Anak itu memperlihatkan sebuah pelajaran penting tentang iman: keyakinan bahwa sumber daya kita akan jauh lebih berdaya guna ketika berada di tangan Yesus. Karena itu, ”roti dan ikan” yang kita miliki, terlebih pada masa krisis, sebaiknya tidak kita genggam secara egois dan penuh kecemasan, melainkan secara sukarela kita serahkan kepada Yesus.

Kita tentu saja dapat memanfaatkan sendiri apa yang kita miliki. Ya, kita merasa senang kalau bisa memegang kendali atas keadaan. Kita bangga dengan kemampuan kita untuk mengatur dan mengelola sumber daya yang ada pada kita. Tetapi, kemampuan kita terbatas. Atau, kita malah tergoda untuk menyalahgunakannya.

Akan tetapi, Yesus sanggup mendayagunakan sumber daya itu secara jauh lebih baik. ”Roti dan ikan” itu barangkali sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi, namun ketika kita menyerahkannya kepada Yesus, Dia sanggup mengubahnya menjadi berkat bagi ribuan orang.

C.T. Studd (1860-1931), misionaris dari Inggris, mengalaminya. Pada usia 25 tahun Charlie---begitu ia biasa dipanggil---menerima dari ayahnya warisan puluhan ribu poundsterling. Suatu jumlah yang sangat besar pada saat itu. Setelah menekuni Firman Allah dan banyak berdoa, ia merasa terdorong untuk menyerahkan seluruh kekayaannya kepada Kristus!

Sepertinya itu suatu kebodohan. Tetapi, dengan tindakan itu Charlie bersaksi di hadapan Allah dan manusia bahwa ia mempercayai Firman Allah sebagai hal yang paling pasti di muka bumi ini. Buah seratus kali lipat yang Allah janjikan dalam kehidupan saat ini---belum lagi dalam kehidupan yang akan datang---merupakan kenyataan yang pasti bagi mereka yang mempercayainya dan bertindak berdasarkan firman tersebut.

Uang di sakunya tinggal 3.400 poundsterling, dan ia menjadikannya sebagai mas kawin untuk melamar sesama misionaris, Priscilla Livingstone Stewart. Priscilla ternyata tidak mau kalah dalam bermurah hati. Ia berkata, "Charlie, apa yang diperintahkan Tuhan kepada anak muda yang kaya itu?"

"Jual semuanya."

"Yah, kalau begitu, kita akan memulai pernikahan kita dengan taat kepada Tuhan."

Dan mereka pun terus memberikan sisa uang yang ada untuk mendukung pekerjaan Tuhan. Dengan melewati berbagai bahaya dan kesukaran, mereka melayani bersama-sama di daratan Cina, India, dan Afrika, dan memenangkan banyak jiwa bagi Kristus. “Kalau Yesus Kristus adalah Tuhan, dan Dia telah mati bagi saya, maka tidak ada pengurbanan yang terlalu besar, yang dapat saya persembahkan kepada-Nya,” kata Charlie suatu ketika.

Dengan iman, maukah kita menyerahkan ”roti dan ikan” kita kepada-Nya, dan yakin bahwa Dia mampu mendayagunakannya secara lebih baik? ***

http://ariesaptaji.blogspot.com/

__________________

dennis santoso a.k.a nis's picture

kemungkinan paling "ancur"

Yang jelas, ia memberikannya tanpa banyak keributan. Anak kecil yang hebat, bukan?

kemungkinan paling "ancur" adalah kalo misalnya anak itu diem saja karena bekalnya direbut paksa oleh murid2 Yesus, hahaha :-D