Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Sabar

Andreas Priyatna's picture

Matahari masih begitu tinggi ketika saya datang di restoran yang letaknya di tepian pantai yang indah ini. Waktu baru menunjukan jam empat sore lebih dua puluh empat menit, sedangkan skedul sunset pada hari itu katanya akan terjadi pada jam enam lebih empat belas menit. Tak apalah…, pikir saya…, yang penting saya dapat nge-booking meja yang paling dekat dengan pantai, agar dapat mengambil foto sunset tanpa terhalangi oleh orang yang sedang makan. Sudah beberapa kali saya makan di sini dan saya sangat menikmati panorama sunset yang begitu eksotis, begitu indahnya ketika matahari dengan sinar yang jingga seolah-olah masuk ke dalam laut, suatu lukisan alam yang begitu menakjubkan.

 

“Saya nanti pesan meja yang paling depan ya Bu”, kata saya kepada Ibu pemilik restoran itu, “dan untuk sementara saya duduk di sini…, boleh ‘kan?”.  “Boleh…, bapak mau minum apa…?”, tanyanya. “Saya minta kelapa muda yang utuh saja dan tolong menunya ya… Bu, tapi saya mau makanannya dihidangkan nanti jam enam saja”.

 

Setelah memilih jenis makanan yang akan dihidangkan, saya diajak untuk memilih bahan bakunya dahulu, ikannya mau ikan apa, udangnya mau udang yang besar atau sedang, cuminya mau berapa banyaknya, lalu kerangnya mau yang seperti apa dan juga pilihan cara memasaknya akan diapakan. Ibu itu memandu saya pada waktu saya menentukan pilihan, mana sekiranya yang lebih baik untuk saya. Ibu itu begitu ramah dan sabar, layaknya seorang marketer professional.

 

Setelah menyelesaikan urusan menu makanan, karena masih harus menunggu satu setengah jam lagi, sambil menanti sunset, saya mencoba membuka pembicaraan lain dengan menggunakan bahasa Bali, karena saya bisa berbahasa Bali, walaupun hanya bahasa sehari-harinya saja dan Ibu pemilik restoran itu merasa heran, “O…Bapak na Bali…?, uling dije nike…?”, dengan logat Bali nya yang khas. Artinya: O…, Bapak itu orang Bali…, dari mana asalnya…?. Jarang-jarang ada orang Bali yang makan di pantai ini, karena mereka sudah terbiasa melihat sunset, kecuali mereka membawa tamu atau saudaranya dari luar Bali untuk makan di sini. “Tiyang ten na Bali, kalo tiyang bise bahasa Bali, bedik den”, kata saya. Artinya: Saya bukan orang Bali, tapi saya bisa berbahasa Bali, tapi hanya sedikit.

 

Omong punya omong, akhirnya sampailah pada cerita bagaimana perjuangan Ibu untuk memiliki restoran ini, begitu panjang dan berat, mulai dari perebutan lahan restoran, persaingan dagang yang tidak sehat, rebutan customer, rebutan koki sampai pada masalah tempat parkir yang semrawut. Dulu…, sering sekali restorannya sepi pengunjung sementara di depan restorannya penuh mobil yang parkir, kemanakah larinya pengunjung itu?. Ibu itu hanya bisa bersabar dan berharap mungkin suatu saat nanti kondisi ini akan berubah. Ternyata pengharapannya itu tidaklah sia-sia, setelah menunggu beberapa tahun, sekarang Ibu itu dapat berjualan hidangan seafoodnya dengan kondisi yang sangat menunjang, restorannya tertata rapih, karyawannya rajin-rajin dan bertanggung jawab, usahanya berjalan dengan lancar, pengunjung restorannya banyak dan hasilnya cukup memuaskan. Lika liku perjalanan hidupnya membuka restoran seafood dilaluinya dengan prihatin, penuh pengharapan dan kesabaran.

 

Di dalam perjalanan hidup seperti ini, siapapun orangnya, di manapun dia berada, apapun masalah hidupnya, apapun usahanya, apapun latar belakangnya dan apapun agamanya, mungkin kiat untuk mengatasinya adalah sama yaitu sabar dan berharap. Saya jadi teringat akan bagian dari  lagu tempo dulu yang liriknya seperti ini…, Sabar dalam susah sukarmu, sabar Tuhan ada sertamu, sabar… sabar… bri kuat padamu…

 

Ketika kita menghadapi kenyataan hidup yang begitu sulit, namun kita tidak dapat menghindarinya, maka yang kita dapat lakukan adalah hanya bersabar, berharap dan berdoa kepadaNya.

 

Bali, 21 Juni 2012

 

 

siska90's picture

Apakah kita harus

Apakah kita harus bisa bersabar seperti Abraham dan Ayub?

Andreas Priyatna's picture

Ya iya lah..., Abraham itu

Ya iya lah..., Abraham itu dengan sabar menunggu jawaban Tuhan selama 25 tahun, begitu pula dengan Ayub walau tidak disebutkan berapa tahunnya. Ayub menanti pertolongan Tuhan begitu lama, sampai-sampai Ayub mengeluh sedemikian rupa (Baca Ayub 3), namun Ayub tetap sabar dan pada akhirnya Ayub mendapatkan sesuatu yang lebih dari sebelumnya.