Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Sang Juragan

Inge Triastuti's picture

Seseorang pernah menulis sebuah kesaksian dan menyebut Tuhan dengan kata “Juragan”. Bagi saudara kita yang hidup dalam budaya Jawa kata ini tepat sekali untuk menggambarkan Kolose 3:24b “Kristus adalah tuan dan kamu hambaNya.” Juragan memberikan gambaran seorang tuan yang berkuasa atas hidup-mati pegawainya. Dengan demikian status pegawainya tidak berbeda dengan hamba yang harus bekerja tanpa cerewet, tanpa mempertanyakan haknya. Istilah ini tidak lagi terdengar karena dianggap berbau feodal, walaupun orang Jawa tahu juragan yang baik masih ada. Dia adalah orang yang tidak akan membiarkan pegawainya kelaparan atau menderita. Ia tidak sewenang-wenang mengambil anak gadis pegawainya jadi selirnya. Pintu gerbang rumahnya tetap terbuka bagi mantan pegawainya yang sekarang sudah sepuh dan tak lagi mampu bekerja.

Ayat yang kukutip ini tidak dapat dipisahkan dengan ayat-ayat yang mendahuluinya karena merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Roh Kudus yang menuntun Paulus menegur hubungan antarmanusia yang berantakan di Kolose telah menempatkan 3 macam hubungan pada urutan yang tepat. Pertama hubungan suami – istri, kemudian orang tua – anak, dan diakhiri dengan majikan – pekerja. Hubungan suami – istri selalu dipakai untuk menggambarkan hubungan Allah dengan umatNya. Allah yang pencemburu, kita mempelai perempuanNya. Hubungan orang tua – anak juga demikian. Allah adalah Bapa kita, kita adalah anak-anakNya.

Tetapi banyak orang yang pura-pura tidak tahu bahwa hubungan Allah – kita juga di-analogi-kan dengan hubungan juragan – pekerja. Apa ini disebabkan kesombongan kita karena kita sudah jadi chief of executive officer (“tanpa gue emangnya pemilik modal ini bisa apa?”), high educated executive (“gue ini graduate luar negeri, gampang cari kerjaan lain”) yang menyandang gelar MBA (Malas Baca Alkitab)? Aku mencurigai adanya sikap seperti ini karena melihat dalam acara PA sangat sedikit (bahkan nyaris tidak ada) executive yang menghadirinya. Omong kosong bila mereka tidak punya waktu karena mereka telah belajar time management. Dalam padatnya agenda kerja, mereka masih bisa menyelipkan acara ke seminar, outbound, spa, karaoke, café etc. Lebih mudah diterima common sense bila mereka mengatakan pemimpin PA itu bodoh, atau Alkitab itu kitab kuno yang tidak bisa dipraktekkan di tempat kerja, sehingga menghadiri acara PA adalah wasting time.

Sebagai orang pandai tentu kamu tidak mengesampingkan ayat itu hanya dikarenakan ada di urutan terakhir. Kita langsung bisa menyetujui hubungan Allah – manusia digambarkan bagai hubungan suami-istri dan ortu-anak karena dari suku bangsa mana pun kamu berasal 2 hubungan ini tidak asing, bahkan sakral. Biar seorang suami amburadul, istrinya akan dibenci orang sekampung bila berani menyumpahi suaminya. Bila kamu tahu bapakmu mencuri sepeda tetangga apakah semua orang akan memujimu bila kamu melaporkannya ke kantor polisi?

Pertama-tama yang kamu lakukan adalah bersedih hati. Kesedihan adalah kasih yang dilukai. Ya, ada kasih yang mengikat erat hubungan ini. Tetapi apa yang timbul bila kamu merasa diperlakukan tidak adil oleh majikanmu? Kemarahan! Dan ketahuilah, kemarahan adalah ego yang dilukai. Harga dirimu diinjak, wewenangmu diblokir, hakmu dicurangi, kepentinganmu disepelekan. Kamu tidak pernah merasa harus mengasihi majikanmu. Ia bukan darah dagingmu. Ia bukan margamu. Kulitnya tidak sewarna dengan kita. Lalu bagaimana dengan Firman Tuhan di Kolose 3:22-24a? “Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia ini dalam segala hal, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan mereka, melainkan dengan tulus hati karena takut akan Tuhan. Apa pun yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah” Forget it?

Aku bisa saja setuju melupakan ayat ini bila ingat betapa jarang para pendeta mengusungnya ke atas mimbar; betapa ayat ini telah dibengkokkan untuk memeras para karyawan selama sekian abad. Coba kamu simak lagu-lagu negro spiritual yang tak mencantumkan nama pengarangnya (karena mereka tidak punya hak cipta seperti penulis kulit putih). Apa yang diteriakkannya? Pahitnya perbudakan! Perbudakan yang dilakukan oleh orang Kristen kulit putih terhadap kulit hitam yang dikristenkan untuk kemudian ditelikung dengan ayat-ayat yang dimanipulasi ini!

Hai para karyawan, taatilah majikanmu! Ini mutlak tak bisa ditawar karena disabdakan oleh Tuhan sendiri. Tetaplah taat kepadanya walaupun ia sedang tidak ada di didekatmu. Tetapi Tuhan tak ingin kita taat dengan membuta, “melainkan dengan tulus hati karena takut akan Tuhan.” Ingatlah masih ada Sang Juragan di atas para juragan. Jadi kamu harus tidak taat terhadap perintahnya untuk berweek-end bersamanya di hotel berbintang lima. Kecuali bila kamu lebih senang berpihak kepada ketamakan. Kamu harus tidak taat terhadap perintahnya untuk menyerahkan uang sogok kepada petugas pajak yang datang memeriksa pembukuan perusahaan. Kecuali bila kamu ingin mengutil sebagian uang itu untuk memuaskan nafsu manusia lamamu. Kamu harus tidak taat bila kamu diperintahkan membawa satu kompi pagar ayu dalam memenangkan sebuah tender proyek. Kecuali bila kamu ingin ikut menikmati private & confidential entertainment yang tidak pernah Tuhan sediakan untukmu.

Dipecat adalah pengalaman yang pahit dan sangat traumatis. Tetapi itulah resiko yang harus ditanggung para pejuang iman di tempat kerja di mana mereka ditantang untuk menggarami dunia. Sang Juragan tidak akan membiarkan kita kelaparan. Ia telah teken kontrak dengan kita untuk “memberi kita makan hari ini yang secukupnya.” Secukupnya! Tidak berlebihan, tidak berkekurangan.

Dalam pergaulan sehari-hari apabila kita mempercakapkan dunia kerja, maka topik yang paling asyik adalah majikan yang brengsek dan bagaimana cerdiknya kita menyiasati mereka.

"Majikanku tidak adil. Ia memberi gaji kepada karyawan baru sebanyak gajiku yang sudah bekerja 5 tahun. Lalu bagaimana aku bisa termotivasi untuk bekerja dengan baik? Tapi biarlah, aku masih bisa wrap-up nota tagihan kertas fotocopy dan reparasi komputer kantor.”

"Apa yang harus kuperbuat? Aku sudah membuat majikanku kaya tetapi ia tidak juga memperbaiki nasibku. Makanya aku menangkan adikku dalam tender kantin pabrik. Sebagian besar sahamnya ‘kan aku punya,” tulis seorang temanku dalam imelnya.

Seorang rekan kerjaku mengeluh. “Penggajian di sini payah sekali, tidak mengikuti pasaran. Apalagi uang makannya. Sekretaris perusahaan lain makan siang pakai kartu kredit. Kita? Beli kompo saja pakai cicilan.”

Lebih ngeri lagi bila kedua belah pihak sama-sama Kristen. “Gile majikan gue. Rajin ke gereja, jadi ketua pengurus yayasan Kristen, tapi gak punya kasih. Gue salah dikit langsung diskorsing seminggu tanpa upah. Ntar kalo die mampus pasti masuk neraka. Gue sekarang slow down aja.”

Bila sedang tergesa-gesa dan jengkel, maka aku hanya memberi jawaban sekenaku. “Daripada kamu berbuat jahat di situ atau kena stroke, bagusan cabut saja cari kerja lain.” Betul ‘kan? Kenapa ribut? Orang baru kerjaannya cuma nyapu lantai digaji sejuta itu ‘kan hak majikanmu yang punya duit. Emangnya kamu disuruh ikut patungan membayarnya? Kalau sekarang majikanmu makin kaya ya lumrah saja karena ia yang punya modal uang. Apa hakmu untuk mendapat bagiannya? Memangnya kamu punya saham? Jungkir balikmu sudah dibayar lunas setiap akhir bulan. Mengapa sirik kepada orang yang dompetnya berisi serenteng kartu kredit? Emangnya kamu bisa bayar bis patas pakai uang plastik?

Jaman sekarang fitness centre dan senam kebugaran laris karena orang takut pendek umur. Padahal sebagian besar penyebabnya bukan di tumpukan kolesterolnya, tetapi karena di sakunya ngendon 2 batu timbangan yang tidak sama beratnya (Ulangan 25:13). Ketika ia menyewakan otot dan otaknya ia mempergunakan batu yang lebih ringan. Dan sewaktu ia menagih pembayarannya ia mempergunakan batu yang lebih berat. Celakanya lagi kebiasaan buruk ini juga bisa terjadi di yayasan pendidikan atau kesehatan Kristen dan di gereja. Atas nama kasih Tuhan Yesus, karyawan menuntut perlakuan yang lebih. Haram hukumnya seorang majikan Kristen memecat karyawannya, apalagi yang segereja. Ini sih bukan kasih Tuhan Yesus, tetapi kasih permen karet, manis - tapi tak pernah bisa mengenyangkan, lunak - tapi bisa mencekik leher. Atau dalam bahasa kerennya, kasih permisif, kasih yang banyak permisinya, yang selalu memperbolehkan.

Ketika seorang melamar bekerja, ia puas terhadap upah yang ditawarkan. “Ya lumayanlah, daripada menganggur,” begitulah komentar mereka bila ditanya temannya. Atau, “Ini ‘kan perusahaan kecil, masak saya bisa meminta lebih banyak. Hitung-hitung untuk batu loncatan. Kalau ada yang lebih baik saya akan pindah.” Dalam kesepakatan antara jobdes dan upah ini kedua belah pihak sama-sama senang. Transaksi win-win, istilah gaulnya.

Tetapi paling lama setahun kemudian transaksi ini sering dipertanyakan keadilannya. Bila majikan merasa karyawannya telah mengeluarkan batu timbangan yang beratnya melanggar perjanjian, ia bisa saja memecatnya, dengan pesangon atau pun tidak. No problem. Jikalau sumber ketidakadilan ini ada di pihak majikan, karyawan bisa apa? Majikan menambah jobdes tanpa menambah gaji. Bukankah sering kita mendengar keluhan dalam bahasa inggris-country ini, “Little-little to me, little-little to me, salary not up-up.” Mau demo? Mogok kerja? Minta tolong ke DPR? Sabar men, undang-undang Menaker yang ngebelain buruh sudah terbit. Tetapi apakah itu benar-benar akan menguntungkan karyawan? Begitu Depnaker mengeluarkan undang-undang baru, pengusaha segera menyiapkan jurus penangkalnya. Dari jurus pembuka yang merubah status calon karyawan “tetap” menjadi calon karyawan “honorer” atau “lepas” hingga jurus pamungkas berupa pemindahan pabrik ke negara lain untuk mencari tenaga kerja murah. Whatever you do, suka atau pun tidak, harus diakui majikan adalah tuhan yang tetap memegang kendali transaksi majikan-karyawan. Mungkin, karena mengetahui mutlaknya bargaining power seorang majikan, Paulus mempergunakannya dalam analogi hubungan Tuhan dengan umatNya.

So what? Bila musibah ini menimpamu, katakanlah kepadanya seperti ketika kamu bertanya kepada orang tuamu, bukan menuntut. Dengan kesedihan, bukan kemarahan. Pertanyaan yang disertai kemarahan akan membuat seorang majikan merasa dihina dan direndahkan yang kemudian akan mendorong ia menulikan telinga dan membutakan matanya selamanya. Mungkin ia lupa, atau tak punya kekuatan lagi untuk membayar kamu dengan gaji yang pantas. Biasanya, bila lupa ia akan segera memenuhi permintaanmu. Apalagi bila ia melihat kamu tetap rajin bekerja dan amat jarang melakukan kesalahan. Repotnya bila ia sudah tak sanggup lagi mengikuti harga pasaran gaji dan kita tak sampai hati meninggalkannya karena selama ini majikanmu banyak menanam budi kepadamu. Misalnya membiayai pesta pernikahanmu, membayar semua ongkos rumah sakit ketika ibumu operasi tumor.

Lalu bagaimana bila ia sanggup membayar lebih tetapi tidak dilakukannya? Saya langsung cabut? Easy man, easy. Kalau kamu cabut sebelum ada pijakan baru, kamu akan merepotkan petugas diakonia gerejamu. Sambil mencari majikan baru, lakukanlah hal-hal berikut ini.

1. Jangan merusak etos kerjamu.

Seseorang disebut profesional bila memiliki (a) pengetahuan yang diperlukan dalam bidang pekerjaannya, (b) ketrampilan mempraktekkan pengetahuan itu, dan (c) etos kerja yang bisa diterjemahkan sebagai kepribadian seorang pekerja. Dalam ketidakpuasan terhadap majikan, biasanya etos kerja karyawan yang rusak terlebih dahulu. Ia sengaja bertindak tidak disiplin, tidak lagi kreatif, tidak lagi memiliki semangat kerja kelompok sehingga ia sudah seperti mesin yang hanya bergerak dalam rutinitas. Kebiasaan jelek ini yang semula sengaja dimunculkan sebagai tanda protes lama kelamaan akan tertanam ke bawah sadarnya sehingga kelak sulit dihilangkan walaupun sudah pindah ke tempat kerja baru dengan gaji yang lebih baik. Bukankah ini merugikan dirimu sendiri? Selain itu calon majikan baru akan melihat sebagai rekomendasi jelek sehingga kamu sulit menemukan tempat kerja baru. Rekan kerjaku pernah ditugaskan menyelidiki prestasi seorang calon manajer di tempat kerjanya yang lama. Dan hasilnya membuat pengangkatannya dibatalkan, walaupun semula ia mendapat nilai highly recommended. Bukankah tip ini tidak berbeda dengan Firman Tuhan “…. taatilah tuanmu yang di dunia ini dalam segala hal, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan mereka, …” Selama kamu belum pindah kerja, majikanmu sejelek apa pun masih tetap majikanmu dan etos kerjamu jangan diturunkan. Etos kerja adalah milikmu, bukan milik majikanmu. Karena itu jangan merusaknya.

2. Perluas pengetahuanmu.

Seorang marketing yang berencana pindah kerja, minta ijin atasannya untuk membantu bagian gudang di luar jam kerjanya. Mengapa jadi rajin padahal mau keluar? Siapa tahu di tempat kerja baru pengetahuan mengatur gudang diperlukan, jawabnya. Variasi pengetahuanmu akan menjadi “tambahan senjata” dalam bersaing dengan pelamar lainnya.

Suatu saat tiba-tiba saja atasanku punya hobi istirahat siang 2-3 jam. Tidur siang untuk menjaga kesehatan, katanya. Itu sih urusan dia. Tapi celakanya semua kerjaan administrasinya ditumpuk di mejaku. Aku pusing karena laporan mingguan itu harus ditulis dalam bahasa Inggris. Teman-teman bilang “Nggak usah dikerjain. Itu nggak ada di jobdesmu. Kalau dia marah laporin ke serikat pekerja. Lagipula kamu ‘kan nggak tahu acara ‘bobo-bobo-siang’ itu di mana. Jangan-jangan bbs-nya nggak dirumah.” Tetapi aku mengerjakannya juga karena ia meminta tolong kepadaku dengan sopan. E, ketika aku menjalani ujian kenaikan jabatan ke supervisor, semua soal ditulis dan harus dijawab dalam bahasa Inggris yang jadi mudah karena hampir 6 bulan aku telah biasa mempergunakannya. It’s a blessing, isn’t it?

3. Jangan menjelek-jelekkan majikanmu.

Bila seorang pelamar kerja masih berstatus sebagai karyawan sebuah perusahaan, maka para pewawancara segera memfokuskan “interogasi”nya kepada “mengapa kamu ingin keluar dari pekerjaanmu saat ini?; suasana kerjanya nggak enak ya?; boss-mu nggak punya leadership?; prestasimu nggak dihargai ya?; dsb-nya.” Be careful ! Jangan sekali-sekali menjelekkan perusahaan dan atasanmu. Kuulangi, never doing this! Satu kata saja kamu omong jelek, namamu pasti dicoret. Why not ?

Calon majikan barumu akan berkomentar di belakangmu: “Gila ‘tu anak. Berani-beraninya ngomongin orang yang kasi makan dia. Jangan-jangan kalo gue terima, kejelekan gue juga bakal dia omongin kesana-kemari.” Lebih runyam lagi bila dia kenal bossmu dan meneleponnya, “Hai nyo, sekarang gue tau belang lu. Di kantor lu sering maksa sekretaris lu pergi karaoke ya? Gimana sih kamu ini. Mending kalo die cakep. Main ketoprak humor aje belon tentu ketrime. Emangnya lu udah bangkrut ampe ga bisa nyari yang lain?” Kiamat deh duniamu, kiamat!

Pada akhir celotehku ini, kembali aku ingatkan, tetaplah memegang jemari Tuhan dalam mencari nafkah. Dan bawalah setiap pernik masalah kerja dalam doa agar bagimu –


kerja adalah bagai kegirangan yang mengalun dalam alam semesta,
girangnya angin yang mengayun bunga-bunga,
girangnya kembang yang menyebarkan wanginya,
girangnya ibu yang mencurahkan air susunya,
dan bukan paksa antara kita,
dan bukan derita tak putus-putusnya,
di mana air mata pun tak ada harganya meratapinya
.

sehingga bekerja bukan lagi menjadi sebuah beban yang teramat berat.***