Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Sekolah

victorc's picture
Teks: Amsal 22:6
"Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu."

Shalom, selamat pagi saudaraku. Beberapa waktu yang lalu saya menulis artikel tentang disleksia, dari buku seorang teman yang kini telah diangkat jadi film berjudul Wonderful Life.*
Kira-kira 2 bulan yang lalu, teman saya ini datang ke kota kami, lalu dia mengajak beberapa di antara kami untuk reuni kecil-kecilan. Lalu kami saling bertukarcerita. Namanya Lia, di antara ceritanya adalah bahwa kini dia dipercaya oleh salah satu grup media besar untuk berkeliling ke seluruh Indonesia dengan misi khusus agar para ortu dan guru lebih peduli dan tahu apa yang dilakukan jika ada anak yang mengalami gangguan belajar (learning difficulties).

Beberapa problem
Namun ternyata tugas ini jauh lebih berat dari yang dia perkirakan, karena dia menjumpai keanehan-keanehan dalam pendidikan di berbagai daerah. Di antara kisah-kisah yang dia dengar dan temui, ada seorang ibu yang protes berat ke sekolah, karena buku ajar yang dianggapnya ngawur. Ceritanya ibu ini sedang mengajar anaknya di rumah, lalu menjumpai kisah tentang kancil yang sudah dipelintir sedmikian rupa sehingga karakter kancil yang cerdik bergeser maknanya menjadi penipu. Tentu saja ibu ini jadi marah-marah ke sekolah yang mengajarkan buku tersebut.
Ada banyak kejanggalan yang dia jumpai, di antaranya:
a. Anak bisa menjawab soal matematika tertulis, namun kesulitan jika ditanya secara lisan. Rupanya ini karena tidak ada lagi pelajaran "mencongak."
b. pelajaran berhitung sebagai dasar matematika tampaknya sudah hilang, digantikan matematika modern.
c. Guru mengajar anak membaca langsung dari penggabungan huruf, bukan dengan memperkenalkan dulu bunyi setiap huruf termasuk konsonan. Kalau dulu, guru akan mengajar: em-a-em-a menjadi "mama." Kalau sekarang kayaknya langsung m-a-m-a. Kekeliruan ini tampak sederhana, namun membuat anak gagal memahami bahwa setiap huruf punya bunyi yang khas. Lalu beberapa hari lalu, saya menanyakan hal ini kepada budhe saya yang pernah jadi guru selama puluhan tahun. Beliau juga mengatakan bahwa metode yang benar harusnya memang em-a-em-a. 
d. Selain itu beliau juga mengatakan bahwa saat ini tidak ada pelajaran bercerita di depan kelas. Padahal dulu dalam pelajaran ini anak diminta untuk bercerita kepada teman-teman sekelasnya. Ini membuat anak terbiasa untuk merangkai kalimat dengan benar.
e. Beliau juga mengatakan bahwa pertanyaan jenis pilihan berganda (multiple choice) membuat anak menjadi kurang kreatif. Kalau dulu beliau selalu memberi pertanyaan jenis essai yang melatih anak untuk menyusun kalimat dengan benar. 

Saya juga mengajar mahasiswa di suatu kampus, dan memang saya menghindari untuk memberikan soal jenis pilihan ganda. Saya selalu memberi soal yang memerlukan isian atau penjelasan. Tentu ada konsekuensinya, yaitu perlu waktu lebih lama untuk mengoreksi.

Filosofi pendidikan
Selama 2 bulan ini, saya berusaha mengikuti perkembangan dalam filosofi belajar, rupanya hal itu berkaitan erat dengan psikologi perkembangan anak. Berikut ini saya hanya sampaikan secara ringkas 3 di antara teori perkembangan yang ada:

a. Bronfenbrenner
Dia mengembangkan filosofi pendidikan yang dikenal sebagai biosocio-ecology system. Artinya menekankan interaksi antara anak dengan lingkungannya secara aktif. Kabarnya model ini banyak digunakan di negara-negara maju di antaranya Finlandia. (1)

b. Clare Graves (7)
Psikologi perkembangan merupakan kajian tentang pertumbuhan dan perkembangan pikiran. Marilah kita bertanya: apakah psikologi perkembangan memiliki jawaban tentang visi integral?(2)
Salah satu model yang disebut sebagai Dinamika Spiral, dikembangkan pertama kali oleh Clare Graves. Graves menggariskan 8 tingkat atau gelombang utama eksistensi manusia.(7) Model-model tahapan tersebut secara cermat telah dicocokkan dengan kondisi nyata, baik di negara pertama, kedua atau ketiga. Bahkan telah diterapkan untuk membantu menyelesaikan konflik apartheid di Afrika Selatan.(2)
Secara garis besar, spiral perkembangan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Coklat keabuan: Semangat mempertahankan kelangsungan hidup (insting dan bakat)
2. Ungu: Semangat persaudaraan
3. Merah: Dewa-dewa kekuatan
4. Biru: Kekuatan kebenaran
5. Oranye: Dorongan penggerak
6. Hijau: Ikatan manusia
7. Kuning: Aliran fleksibel
8. Pirus: Pandangan menyeluruh
9. Koral: Integral-holonik
Semua tahapan ini bisa terjadi secara progresif meningkat, namun juga dapat saling berinteraksi. Tentu merupakan pertanyaan menarik: bagaimana dapat mengintegrasikan wawasan psikologi perkembangan ini kepada filosofi pendidikan? Saya telah berupaya mencari literatur yang menjelaskan penerapan teori Clare Graves dalam dunia pendidikan, namun belum menemukan paper yang layak direkomendasikan selain (6).

C. Pendekatan pengalaman (3)
Ini bukan pendekatan yang bertolak dari psikologi pendidikan, namun dari salah satu wawasan ekonomi. Yakni bagaimana pendidikan juga dapat memberikan nilai tambah dalam wawasan dan pengalaman peserta didik. Jadi tidak hanya menjejalkan bahan silabus satu semester secepat-cepatnya. Dalam pengalaman itu juga mencakup proses bermain, mengenal lingkungan dan berinteraksi dengan masyarakat.
Dalam skala kecil, saya telah mencoba hal ini kepada maahasiswa di kelas yang saya asuh. Saya meminta mereka memberikan sekadar kue atau minum kepada satu atau dua orang yang mereka jumpai di jalanan. Dan saya minta mereka untuk belajar berinteraksi. Ternyata laporan yang masuk memuat hal-hal yang menarik. Lihat artikel saya berjudul Natal.(4)
Itu sebabnya izinkan saya mengimbau kepada para pengambil kebijakan pendidikan, meskipun kabarnya "full-day school" sudah ada UU-nya, mohon hendaknya dipertimbangkan kembali. Biarkan anak-anak punya waktu untuk bermain. Biarkan mereka belajar dari alam, dari masyarakat, dari pasar, dari museum. Menambah jam pelajaran dengan segebung les tambahan tidak akan memperbaiki saraf motorik mereka. Lebih lanjut, itu merampas waktu mereka untuk berkumpul dan bercanda dalam keluarga. Ringkasnya, tampaknya itu melanggar hak-hak asasi anak-anak.

Penutup
Tulisan ini tentu tidak dimaksudkan untuk mengajari para pembuat kebijakan dalam bidang pendidikan. Namun mungkin dapat menjadi salah satu masukan untuk merancang kebijakan pendidikan yang lebih baik. 

Versi 1.0: 2 januari 2017, pk. 21:29, versi 1.1: 2 januari 2017, pk. 22:33
VC

*Note: artikel ini ditulis untuk Amalia. Terimakasih karena telah membuat saya lebih peduli tentang psikologi perkembangan anak dan filosofi pendidikan.

Referensi:
(1) http://wanda.uef.fi/~uharkone/tuotoksia/Bronfenbrenner_in_%20English_07_sent.pdf
(2) Ken Wilber. A theory of everything. Jakarta: Mizan Publika, 2000.
(3) Joe Sundbo & Per Darmer. Creating experiences in the experience economy. Cheltenham: Edward Edgar, 2008
(4) http://sabdaspace.org/natal
(5) Chris Cowan & Natasha Todorovic. A brief introduction to Spiral Dynamics and Gravesian Theory
(6) R. Michael Fisher. Ken Wilber's integral vision: a review of applications in education
(7) Clare W. Graves. The emergent, cyclical, double-helix model of the adult human biopsychosocial systems. Boston, 1981.
__________________

Dari seorang hamba Yesus Kristus (Lih. Lukas 17:10)

"we were born of the Light"

Prepare for the Second Coming of Jesus Christ:

http://bit.ly/ApocalypseTV

visit also:

http://sttsati.academia.edu/VChristianto


http://bit.ly/infobatique

victorc's picture

Komentar dari Rachma, psikolog profesional

Apa yang ditulis di situ sudah dilakukan saat anak di TK. Jadi di SD pengharapan gurunya anak-anak tsb sudah matang. Dan kenyataannya banyak dari anak-anak yang belum matang saat masuk SD. Mereka secara akademik bisa, tapi sosial emosinya masih belum. Sebenarnya mutual. Bukan salah sekolah saja. Tuntutan dari ortu yang merasa sangat bangga saat anak masuk SD di usia belum genap 6,5 th. padahal kematangan anak rata-rata usia 6,5 s.d 7 th. Sayangnya UU usia masuk masih diberlakukan di SDN: anak-anak yang telah usia 7 sd 12 th wajib diterima di kelas 1 SD/MI. Paling rendah usia 6 th. Dan kurang dari 6 th dapat dipertimbangkan atas rekomendasi tertulis dari psikolog.

Kesulitan belajar
Problem kesulitan belajar muncul di kelas 3 biasanya. Cukup kompleks....banyak dari guru dan ortu yang tidak bisa memahami dan seringkali terlambat untuk mendapatkan pertolongan. Terlambat bukan berarti tidak bisa ditolong. Bisa, namun cukup berat untuk ketiga pihak: guru, ortu dan anak.
Di antara kesulitan belajar yang kerap muncul adalah: Autis, ADHD, dan Disleksia. Tetapi anak-anak dengan kesulitan perkembangan atau mengalami perkembangan yang berbeda dengan anak lain itu otomatis mereka akan mengalami kesulitan belajar. Dislexia memang baru ketahuan di kelas 2 atau 3 sd.
__________________

Dari seorang hamba Yesus Kristus (Lih. Lukas 17:10)

"we were born of the Light"

Prepare for the Second Coming of Jesus Christ:

http://bit.ly/ApocalypseTV

visit also:

http://sttsati.academia.edu/VChristianto


http://bit.ly/infobatique