Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Si Bungsu

ely's picture

 

Sehari sebelum kembali ke kampung, setelah menyelesaikan urusan di kota, bapak berkata padaku, “Kalau sempat, sebelum pulang kita ke pasar besar sebentar untuk beli pesanan si bungsu”. Aku menyetujui usul itu tanpa banyak pikir. Ingin tahu apa pesanan si bungsu aku menanyakannya pada bapak.

Ternyata pesanannya sebuah jala. Alat penangkap ikan, terbuat dari tali nilon yang dirajut menjadi jaring-jaring kecil menyerupai kerucut. Dengan menebarkan jala di dalam air, ikan dan jenis binatang air lainnya yang terjaring dalam jala terperangkap dan sulit melepaskan diri.

Sudah bisa rupanya si bungsu menjala, kataku dalam hati.

Setelah yakin semua barang sudah dikemas, beberapa jam sebelum jam keberangkatan, kami masih punya cukup waktu untuk ke pasar. Tidak butuh waktu lama untuk mencari barang yang kami cari. Tiba di pasar kami langsung menuju toko penjual peralantan penangkap ikan. Di sana kami bisa memilih barang yang kami kehendaki dengan mudah dan cepat. Selesai membeli jala, kami tinggal menunggu waktu untuk berangkat ke kampung. 

Perjalanan pulang kampung yang panjang, membuat tubuhku terasa lelah. Esok harinya perjalanan panjang itu baru berakhir. Kami tiba di terminal kampung, dan langsung pulang ke rumah.

Si bungsu sudah menyambut kami di depan pintu, ia terlihat senang. Senyum hangat si bungsu membuat rasa lelahku berkurang.

Ketika meletakkan tas bawaan di lantai rumah, si bungsu sepertinya sangat ingin tahu apa bapak ingat pada pesanannya. Ia langsung membongkar tas bawaan kami, mencari jala pesanannya. Ia bisa melupakan banyak hal, tapi tidak ketika ada yang berjanji padanya. Tanpa diberitahu yang mana tas bungkusan jala itu, ia sudah menemukannya. Kembali wajahnya terlihat riang, ada kepuasan karena janji itu ditepati.

“Belum ada batunya ya pak?” tanyanya dengan nada kuatir.

Mengetahui kekuatiran si bungsu, bapak segera menjawab “Banyak batu di jala kita yang sudah rusak, nanti bapak yang akan memasangnya untukmu”, jawaban yang membuat si bungsu kembali memperlhatkan senyum sumringahnya.

Esok hari, tidak seperti biasanya, si bungsu bangun lebih pagi, tanpa ada yang membangunkan. Tidak sabar ingin segera mencoba jala barunya di pinggir sungai. Tidak ingin menunggu lama, ia bertanya pada bapak “Pak, mana batu jala yang bapak maksud?”, bapak menunjuk gudang tempat barang-barang bekas biasa disimpan “Coba, kamu cari di sana, waktu itu bapak menyimpannya di sana”.

Si bungsu bergegas ke gudang, membongkar tumpukan-tumpukan barang bekas yang ada di sana untuk mencari batu jala yang bapak maksud. Tidak berapa lama ia menemukannya, kembali senyum senang itu terpancar di wajahnya. Iapun membawa batu jala yang berbentuk rantai panjang itu keluar dari gudang. “Yang inikan pak?” katanya memperlihatkan batu jala itu kepada bapak.

“kamu bakar saja, biar tali-tali jala yang masih melekat di batu itu hilang” kata bapak pada si bungsu.

Si bungsu segera membuat api di samping rumah dan membakar batu-batu jala itu. Ia menunggu sampai sisa tali jala yang masih menempel terbakar semuanya. Setelah semuanya terbakar, ia kemudian mengeluarkan batu-batu jala itu dari api, membiarkannya dingin. Ia tidak punya waktu untuk menunggu batu-batu jala dingin, waktu si bungsu terbatas. Ia harus siap-siap berangkat ke sekolah. 

Siang hari sepulang dari sekolah, belum sempat naik ke rumah berganti pakaian, si bungsu langsung memeriksa batu jala yang ia bakar pagi tadi. Batu jala itu sudah dingin, ia menarik batu jala itu naik ke rumah. Pasir dan tanah hitam yang masih menempel di batu jala terbawa mengotori lantai rumah. Mama yang melihat pasir dan tanah berserakan di lantai mengomel, “Coba dibersihkan dulu, baru dibawa naik” nada kesal terdengar dari suara itu. Si bungsu nampaknya cukup terbiasa menghadapi omelan mama.  Ia menyahut “nanti aku bersihkan”, sebuah kalimat yang cukup  membuat mama kembali tenang.

Setelah tahu batu jala sudah siap untuk di pasang di jala, bapak mempersiapkan peralatan-peralatan yang dibutuhkan untuk menyambung batu-batu jala ke jala yang baru.

Butuh tiga hari untuk menyambung batu-batu jala itu. Bapak menyambungnya di sela-sela waktu luangnya. Si bungsu yang  biasanya selalu bermain di luar rumah setelah pulang sekolah, terlihat duduk manis menemani bapak merajut batu-batu jala itu. Malam hari yang biasa ia isi dengan menonton TV sambil mengerjakan PR di sela-sela waktu iklan ia tinggalkan. Ia tidak peduli. Siaran di TV ia biarkan. Tidak ada perjuangan untuk merebut remot TV. Ia tetap duduk manis menemani bapak merajut batu-batu jala hingga ia tertidur di samping bapak.

Hingga suatu sore, tinggal sedikit lagi proses penyambungan batu jala akan selesai. Mengetahui itu, si bungsu segera mengumumkannya kepada seisi rumah. “sebentar lagi jalaku selesai” katanya, sambil memperlihatkan senyumnya. Kami yang mendengar hanya tersenyum. 

Sore itu juga, akhirnya jala si bungsu selesai di sambung.

Begitu jala yang sudah selesai siap digunakan, ia langsung mencoba jalanya ke sungai. Ia pergi bersama seorang kakaknya, menyusuri  batu-batu kali di pinggir sungai, menebar jala sampai kegelapan menyelimuti kampung. 

Ikan-ikan kecil hasil tangkapan si bungsu tidak begitu banyak, namun ia nampak sangat puas dengan itu. Seekor udang yang ukurannya cukup besar sempat terperangkap di jala si bungsu. Karena hanya seekor, udang itu di sisihkan untuknya. Tetapi ketika kami sedang makan bersama ia tidak menyentuh udang itu, padahal ia sangat suka udang. Entah apa alasannya, ia juga tidak  menjawab ketika ku tanya. Wajahnya cerianya tiba-tiba berubah menjadi sendu.

Aku jadi ingat, sempat mendengar cerita tentang seember udang dari si bungsu. Seseorang yang tidak akan pernah lagi bersama kami sempat menangkap udang seember untuk mereka saat ia sedang berlibur di kampung. Waktu itu mereka makan udang sampai puas. 

________

 

Keesokan pagi, kembali si bungsu bangun lebih pagi. Ia hanya sempat duduk sebentar mengusap matanya, lalu bergegas pergi ke sungai membawa jalanya. Si bungsu kembali menyusuri pinggir sungai untuk menebar jalanya. Hanya saja ia harus tetap ingat waktu untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah.

Waktu pulang ke rumah ia tidak terlihat membawa ikan hasil tangkapannya. Waktu ku Tanya mana hasil tangkapannya, ia tersenyum dan menjawab, “ikannya dimakan anjing”. Ia memang sengaja membuang ikan-ikan yang ia tangkap ke tepian sungai. Ia tidak begitu peduli dengan ikan tangkapannya. Ia sudah puas hanya dengan melihat ikan-ikan itu meronta-ronta tingin lepas dari jerat jaring jala barunya.

Dulu aku sempat menduga akan melihat si bungsu bosan dengan ikan, namun sampai sekarang dugaanku itu belum terbukti.

Sejak baru merangkak ia sudah mengenal ikan. Ia terlihat begitu memperhatikan setiap ikan yang di bawa masuk ke dalam rumah. Entah ikan yang terlihat meronta-ronta karena masih hidup atau ikan yang sudah kaku karena tak bernyawa. Ketika berumur 4 tahun dia mulai memelihara ikan dalam toples kecil, ikan yang ia tangkap bersama mama. Setelah berumur 6 tahun ia sudah bisa menangkap ikan sendiri menggunakan tangguk.

Dua tahun yang lalu, aku masih melihatnya menangkap ikan-ikan gabus kecil. Ia memeliharanya di dalam sebuah ember besar. Waktu itu aku selalu menyempatkan diri menemaninya ketika memberi makan ikan-ikan kecil itu. Namun selang beberapa minggu saat aku meninggalkan kampung, aku mendapat berita ikan-ikan kecil itu sudah mati, karena tidak diberi makan. Mungkin saja ia mengalami kebosanan sesaat.

Suatu hari, ketika ingin memasak air, aku sedikit terkejut. Air jernih yang biasa di gunakan untuk memasak dalam sebuah gentong nampak keruh. Ketika ku periksa apa ada sesuatu yang terjatuh ke dalam air, aku menemukan 2 ekor ikan berenang di dasar gentong. Sudah bisa ditebak siapa pelakunya.

 

________

 

Si bungsu baru tiba di rumah dengan pakaian basah, aku hanya menyapanya dengan senyum. Pagi-pagi tadi ia kembali menghilang bersama jala barunya. Baru kembali ke rumah setelah dua jam.

Sebulan sudah jala baru itu menemaninya, ia belum puas juga. Dengan handuk yang melilit di pinggangnya, ia masuk ke rumah, berlari kecil mendekatiku, kemudian mencium pipiku. Kecupan yang terasa dingin. Aku menganggapnya sebagai hadiah untuk hari ini. Hanya sesekali ia mau melakukannya, jika hatinya sedang senang. Hanya ingin memastikan aku bertanya kembali.

“Mana ikannya?”, 

“ikannya hilang, mungkin dimakan ayam” jawabnya ringan.

Aku hanya tersenyum, senang rasanya ia dapat menikmati masa kecil dengan sesuatu yang menyenangkan. Masa kecil yang tak akan pernah terulang. Kelak ia dewasa aku tahu ia sudah punya cerita untuk mengenang masa-masa itu. 

_________________________

23 Sept,

Dering pengingat di hapeku berbunyi.

Sebuah pengingat yang sebelumnya ingin ku hapus, tapi tidak jadi. Aku tak tega. Ketika ingin menghapusnya aku merasa seolah-olah ingin membuang dan melupakannya begitu saja. Ku buang niatku jauh-jauh.

Aku bukan pengingat yang baik, namun dapat mengingat dengan baik sesuatu yang ingin ku ingat. Tanpa pengingat di hapeku itu aku akan tetap mengingat tanggal hari ini. Namun sekarang aku tak dapat mengucapkan selamat ulang tahun untuknya, seperti tahun lalu. 

Harus merasa cukup dengan mengenang semua yang indah tentang dan bersamanya.

__________________

Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...

iik j's picture

Ikut bersedih sister canttikku

Aku bukan pengingat yang baik, namun dapat mengingat dengan baik sesuatu yang ingin ku ingat. Tanpa pengingat di hapeku itu aku akan tetap mengingat tanggal hari ini. Namun sekarang aku tak dapat mengucapkan selamat ulang tahun untuknya, seperti tahun lalu. 

Harus merasa cukup dengan mengenang semua yang indah tentang dan bersamanya.

 

Tiba-tiba ada yang seperti tercekat di tenggorokan waktu ku baca ini....

Tidak ada yang bisa dibandingkan... dengan sebuah kehilangan...

Aku ikut bersedih sister cantikku

 

#salam peluk dan cium untukmu...

 

Iik J

 

 

Zakheus's picture

Terkenang

Senang baca tulisan ini...

Jadi ingat kelakuan ku dahulu, kangen Ortu, kakak2 (hampir tumpah neh air dimataku)

 

- anak bungsu jg-