Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Tahun Baru (2)

ely's picture

 

Lanjutan Tahun Baru (1)

 

Semua telah terjadi, hanya penyesalan yang tersisa. Seandai saat itu aku menegur Luat, saat ia mengambil bensin bapaknya secara diam-diam, mungkin Luat tak akan mengalami nasib naas itu.

 

Aku baru mengerti, mengapa bensin selalu selalu diletakkan di tempat tersembunyi dan tak terjangkau. Bahkan di rumah Luat, bensin diletakkan di teras tinggi terpisah dari rumah utama.  Hanya dapat diambil bila mampu memindahkan tangga tinggi yang sangat berat.

 

Namun Luat tetap nekat, ia memanjat tiang-tiang teras sehingga ia bensin yang ia inginkan pun ia dapatkan.

 

Bensin ternyata sangat berbahaya. Pantas saja bila tidak boleh menjadi mainan atau bahan bakar di dapur.

 

***

 

Dari balik jendela ku pandang rumah sepi, yang terletak di sebelah rumahku itu. Tampak ketiga jendela yang berada di sana tertutup rapat, melengkapi kesunyian rumah yang kini tak berpenghuni itu.

 

Pak Udau dan Mak Baun, bapak dan mama Luat penghuni rumah itu pergi mengatar Luat, anak semata wayang mereka menjemput harapan yang masih tersisa.

 

Entah berapa lama kami dapat kembali kesana lagi atau mungkin kami sama sekali tidak akan kembali menjadikan rumah itu sebagai “markas” lagi.

 

Memikirkan hal itu aku benar-benar sedih. Segala yang pernah kami lewati di rumah itu terlintas kembali. Saat bermain kartu “cangkul” hingga telinga memerah karena cubitan keras jepitan jemuran. Saat bernyanyi bak vokalis band, diiringi suara petikan gitar butut Luat. Gitar dengan senar tali nilon itu, menciptakan suara mendayu-dayu, membuat kami bertambah semangat mengeluarkan suara cempreng tak beraturan, mengalahkan suara nyamuk. Terlebih lagi saat rumah itu menjadi satu-satunya tempat aman untuk kami melarikan diri, ketika induk singa betina dirumah mengaum seolah ingin menerkam.

 

Tak ada orang yang melarang kami bermain sesering mungkin disana. Pak Udau dan Mak Baun, tidak keberatan kami sering berkumpul disana. Malah terkadang ikut tertawa jika melihat tingkah kami yang lucu dan konyol.

 

Bila ada waktu luang, pak Udau yang pandai bercerita dan murah senyum itu akan menemani kami. Dengan senang hati ia mulai bercerita tentang perang ngayau, yang sempat ia saksikan ketika masih kecil. Demikian pula ketika habis berburu, ia selalu menceritakan bagaimana ia mengejar binatang buruannya, hingga binatang yang saat itu berhasil ia tangkap, tergeletak di ujung tombaknya yang tajam.

 

Mak Baun pun tak kalah baiknya, ia sering memasakkan kami pisang rebus atau ubi rebus. Sehingga bila berada di rumahnya, kami tak pernah kelaparan karena perut kami selalu selalu terisi.

 

Bagi aku, Ucang, Ibau dan Uyang, sahabat-sahabat dekat Luat, orang tuanya adalah orang tua kami yang lain, setelah orang tua kandung. Kebaikan mereka menurun kepada Luat, sahabat yang selalu ada saat dibutuhkan.

 

***

 

Air mataku tak dapat ku tahan. Saat ini, aku benar-benar rindu menginjak rumah itu. Aku rindu dengan suasana kebersamaan kami. Aku rindu dengan tawa ramai.

 

Aku menangis sejadi-jadinya, tanpa bersuara karena tak ingin terdengar oleh mama.

 

Tangisku tiba-tiba terhenti, ketika samar kemudian jelas. Aku mendengar suara ramai orang berjalan melewati jalan di depan rumahku. Jantungku berdetak kencang, perasaanku was-was. Jangan-jangan …?, pikiran buruk menghantui kepalaku.

 

Aku panik, keringat dingin mulai mengucur di keningku. Kakiku tertahan ketika ingin melangkah, berat seperti  tertimpa beban berat.

 

Dengan tubuh kaku, aku berusaha melangkah.

 

Langkah pertama, kedua, dan selanjutnya. Napasku hampir habis ketika akhirnya tiba di ruang tamu, bagian depan rumahku.

 

Aku hanya ingin mengintip, karena tak yakin akan mampu berdiri tegak saat akan melihat kejadian sebenarnya.

 

Segera ku singkap gorden di balik jendela. Tampak olehku beberapa orang tak kukenal, berjalan bersama pak RT, diikuti rombongan panjang di belakangnya. Orang-orang yang sebagian ku kenal dan sebagiannya lagi tidak.  Mereka berjalan ke hulu kampung.

 

Melihat deretan panjang itu, aku akhirnya sadar, jantungku kembali berdetak pelan, pikiran burukku segera melayang, perasaanku kembali lega.

 

Hari ini undangan-undangan dari kampung tetangga telah berdatangan. Mereka akan memeriahkan tahun baru di kampungku, karena tahun ini, kampungku menjadi tuan rumah.

 

Biasanya bila terjadi musibah di kampung seperti saat ini, acara apapun pasti ditunda sebagai rasa simpati kepada yang berduka. Namun kali ini sepertinya hal itu tidak dilakukan, mungkin karena undangan-undangan yang telah terlanjur berdatangan dan tidak mungkin menyuruh mereka pulang kembali ke kampung masing-masing.

  

***

 Iringan panjang itu siap memeriahkan perayaan tahun baru. Meski demikian, pikiranku sama sekali tak terbersit untuk ikut bergabung dalam rombongan panjang itu. Aku merasa tak pantas untuk bersenang-senang sementara seorang teman sedang mengalami musibah.

 

Dari balik gorden, ku lihat Ucang, berlari ke arah rumahku. Segera aku masuk ke kamar dan menutup pintu karena tak ingin ditemui olehnya.

 

Seperti dugaanku, tak lama kemudian aku mendengar ia memanggilku “Uren, Uren”, suaranya dari luar kamar. Mendengar itu aku hanya diam tak ingin menyahut.

 

Yakin aku berada di dalam kamar ia pun kembali berbicara, “hari ini kita main bola kasti, ayo cepat”.  Mendengarn  kalimat itu,  aku berpikir Ucang tak berperasaan.

 

Aku pun langsung menjawab “aku tidak mau bermain, masak kita senang-senang sementara teman kita ada yang kesakitan”.

 

Mendengar jawaban seperti itu Ucang langsug mengerti maksudku dan mencoba menjelaskan maksudnya, “meski Luat tak ada, kita harus tetap bermain, kita harus berusaha berjuang mempertahankan juara tahun lalu. Pastilah Luat pun berharap seperti itu. Kita harus bisa mempertahankan juara kita sebagai hadiah buat Luat”.

 

Kalimat itu membuat tangisku kembali pecah. Aku ingat kemarin, Luat sangat antusias sekali, untuk kembali merebut kemenangan.

 

Ia bahkan telah berjanji kepada kami, akan memberikan sesuatu kepada setiap kami, bila kami bisa menang.  Namun kini semua tinggal janji, ia tidak memiliki kesempatan itu lagi.

 

Dalam isakku, aku kembali bertanya kepada Ucang, “kamu yakin, kita bisa main tanpa Luat?”.  

 

Ucang dengan pelan menjawab,  “sudah ada penggantinya, si Bilung, tadi sudah ku kasih tau”.

 

Jawaban itu terdengar sangat aneh ditelingaku. Mengingat Bilung sosok ceking tinggi seperti tiang listrik itu, adalah seorang yang tak bisa bermain. Bilung yang berkaca mata setebal pantat botol itu hanya bisa membaca buku dan mengerjakan soal-soal ujian dengan cepat. Dia jarang sekali mengikuti praktek olah raga. Dia sepertinya hanya tertarik pada buku-buku, ia bahkan bisa menghabiskan waktu istirahatnya, di perpustakaan kecil, yang terletak di ujung sekolah. Tidak salah bila dia akhirnya menjadi orang terpintar dikelas V, kelas kami.

 

“Bilung!” kataku kaget, dan ingin memastikan apakah aku tak salah mendengar.

 

“Iya, Bilung” katanya lagi dengan jelas.

 

“Bilung tidak bisa bermain. Aku tidak mau, pasti kita kalah, apalagi Luat tidak ada”.

 

Ucang belum menyerah, “ayolah, kita harus buktikan. Bagaimana kita tau kalau kita kalah kalau belum mencobanya?”.

 

Kalimat itu sedikit menggerakkan hatiku, namun lagi-lagi, aku masih tak yakin dengan Bilung si pendiam itu.

 

Akhirnya aku pun bertanya kepada Ucang, mengapa ia memilih si kutu buku itu, “kenapa harus Bilung?”

 

Dengan suara agak tinggi, Ucang menjawab “Tak ada lagi yang mau, semua teman-teman sudah aku tanya, hanya Bilung yang bersedia”, entah kenapa nada suara itu meninggi, mungkin Ucang juga meragukan Bilung atau ia kesal dengan teman-teman lain yang tak bersedia.

 

“Tak apalah, Bilung yang tidak bisa bermain saja, bersemangat menggantikan Luat, masakan kita kalah”, suara itu terdengar kembali bersemangat.

 

Aku terdiam, setuju dengan kalimat yang baru saja diucapkan Ucang.

 

“Buka dulu pintunya”  kembali Ucang mengangkat bicara. Kini dengan suara pelan.

 

Aku yang akhirnya mengalah, memutar potongan papan kecil yang terpaku di tiang les mulut pintu, kunci pintu kamarku, 450, pintu pun terbuka.

 

Ku biarkan Ucang melihat wajahku yang kusam dan mataku yang membengkak. Ia menatapku tanpa bicara. Di matanya aku pun masih melihat sisa kesedihannya, itu tak bisa menyembunyikan itu dariku.

 

Perlahan akhirnya ia berbicara dengan suara pelan, “kita harus mencobanya, untuk Luat” mendengar itu aku akhirnya memutuskan untuk ikut bermain.

 

“Benar, kita bermain untuk Luat”.  Sebuah kalimat yang terlepas begitu saja, membuat beban hatiku terasa sedikit ringan.

 

Ucang tersenyum simpul mendengar jawabanku “ya sudah, cepat siap-siap. Sudah jam setengah empat, kita main jam empat, aku tunggu dirumah, mau ganti baju dulu” katanya sambil berlalu dariku.

 

***

 

Sekarang team kami sudah lengkap berkumpul di lapangan, Bilung si tubuh ceking itupun telah bergabung bersama kami. Dia terlihat canggung. Benar-benar kesempatan emas buat si Anye usil untuk menggodanya.

 

Dengan mata nakal dan tangannya usilnya terus saja mencolek tubuh Bilung, membuat Bilung terlihat marah-marah. Melihat itu perasaanku campur aduk, lucu namun salut, karena orang seperti Bilung mau saja ditunjuk mendadak.

 

Disudut lain terlihat Ibau yang hanya diam sedari tadi, biasanya pemilik tubuh besar ini juga paling senang meledek. Aku tau pasti, diantara kami, dialah orang yang paling sedih dan merasa bersalah.  Dialah yang menumpahkan bensin ke belakang Luat, tentulah bayangan kobaran api itu masih melekat di pelupuk matanya, seperti yang juga aku alami. Prihatin dengan keadaannya, aku mendekatinya. Tersenyum mencoba memberinya semangat, namun tak ada reaksi dari wajahnya, hanya sebuah kalimat keluar dari mulutnya “aku ingin bermain untuk Luat” suara itu pelan. Mendengar itu aku hanya menepuk-nepuk pundaknya, berusaha memberi dukungan untuknya.

 

Setelah melakukan pemanasan ringan, team kami telah siap bermain. Demikian pula dengan team lawan. Sesuai kesepakatan, masing-masing team terdiri dari 7 orang campuran laki-laki dan perempuan, untuk team kami hanya aku dan Uyang perempuannya sedang di team lawan terlihat hanya seorang perempuan.

 

Pertandingan dilakukan di sebuah lapangan panjang dengan. Dimana ditengah lapangan telah tertancap 4 batang kayu berjejer sebesar betis orang dewasa, dengan jarak antara masing-masing kayu 7 meter. Kayu-kayu ini di sebut Pal, terbagi menjadi Pal 1, Pal 2, Pal 3 dan Pal 4, berfungsi sebagai tempat persinggahan atau tempat aman untuk pihak pemain sementara pihak penjaga mencari kesempatan untuk menggebok bola bila tidak sedang memegang Pal atau bila sedang berlari dari satu Pal ke Pal lain. Dan bila gebokan bola terkena pada tubuh pemain maka secara otomatis terjadi pergantian, pemain menjadi penjaga demikian sebaliknya.

 

Postur tubuh pihak lawan terlihat besar-besar, tak sebanding dengan kami, hanya Ucang, Jalung dan Ibau yang bertubuh besar, sedang aku, Anye dan Uyang bertubuh kecil dan lagi-lagi Bilung sendiri yang terlihat berbeda diantara kami, ceking, tinggi seperti tiang listrik.

 

Meski demikian aku tak putus asa, semangatku telah terbakar, aku ingin bermain untuk Luat, seperti alasan Ibau untuk bermain. Kalimat Ucang ketika mengajakkulah yang membuat rasa pesimisku lenyap. Ucang memang teman yang paling bersemangat.

 

Aku banyak belajar darinya. Tubuhnya yang tinggi dan berisi seperti ubi rebus yang sering kami makan dirumah Luat, mencerminkan semangatnya. Masih kelas V SD saja ia sudah berani ikut bapaknya berburu ke hutan. Meski seringkali tertinggal ketika bapaknya berlari mengejar buruan atau memanjat pohon ketika buruan terlihat mengamuk, tidak sama sekali jera.

 

Sepertinya ia telah terobsesi dengan cerita-cerita Pak Udau untuk menjadi pemburu hebat. Setiap pulang dari berpetualang, ia dengan bersemangat bercerita kepada kami, bagaimana dia melihat seekor babi di kepung oleh anjing-anjing hebat, kemudian mati diujung tombaknya setelah ujung tombak bapaknya tertancap lebih dulu, bagaimana terangnya mata Payau ketika disenter pada malam hari, bagaimana seekor beruang besar mengejar ia dan bapaknya hingga lari terbirit-birit memanjat pohon. Sungguh petualang yang sangat menarik membuatku iri kepada anak laki-laki.

 

***

 

Untuk menentukan pemain awal maka wasit pun melempar koin ke udara, ketika jatuh undian ternyata memihak kepada kami. Kemudian dilanjutkan pada menentukan urutan pertama pemukul bola, dengan mencabut undi. Untuk team kami, aku mendapat giliran pertama, dilanjutkan Anye, Bilung, Jalung, Ucang, Ibau dan Uyang. Mengambil posisi dibelakang garis menuggu lemparan bola, aku telah siap dengan kayu pukulan di tanganku. Saat bola dilempar dengan sigap aku memukul bola. Pukkkk!!! Suara bola keras mengenai kayu pukulanku melambung jauh.

 

Kesempatan selanjutnya untukku berlari sekuat tenaga, sorak dipinggir lapanganpun pecah menyerukan namaku, mendengar itu kakiku dengan semangat berlari sekuat tenaga menggapai Pal 1, Pal 2 kemudian Pal 3, dan berhenti disitu karena bola sudah kembali.

 

Selanjutnya giliran Anye yang memukul bola, aku tak kuatir dengan Anye, badannya yang kecil membuatnya sangat lincah berlari, kini saatnya si mata sipit itu memukul bola, ketika bola mengenai kayu pukulan, bola pun terpantul jauh melambung ke belakang lawan. Anye dengan cepat berlari memegang Pal 1, Pal 2, Pal 3 dan Pal 4 lalu kemudian kembali ke garis start mencetak 1 point. Demikian pula denganku, kesempatan itu memberi peluang buatku menuju ke Pal 4 kemudian kembali ke garis start mencetak 1 point, point kami secara bersamaan menjadi 2-0, sorak dari pinggir lapangan terdengar girang.

 

Kini giliran Bilung yang memukul bola. Dalam sekejap wajah-wajah dipinggir lapangan terlihat tegang, siapapun tau Bilung bukan pelari hebat, dia hanya hebat bila sedang mengerjakan soal ujian. Berdiri didepan garis, Bilung terlihat sangat gugup, keringat di dahi mengalir ke wajahnya yang putih memucat, kakinya bergetar, nampak sekali kalau dia sangat gugup.

 

Gaya Bilung yang seperti itu membuat aku pun tegang, gugup. Aku takut kalau-kalau dia tak tahan lalu pingsan. Kamu bisa Lung, suara Ucang memberinya semangat dari belakang. Pukulan kayu ditangan Bilung sudah siap menerima lemparan bola. Matanya terfokus pada pihak lawan yang akan melempar bola. Satu detik, dua detik, tiga detik, kedebukkkk ..., suara bola keras mengenai pukulan kayu Bilung. Bola melesat keatas melambung jauh.

 

Entah bagaimana Bilung bisa melakukannya, wajah-wajah dipinggir lapangan terlihat heran. Hening beberapa saat dan kembali pecah oleh sorak, saat melihat Bilung berlari menuju Pal 1.

 

Keberhasilan Bilung membuatku benar-benar lega, sungguh diluar perkiraan. Aku sama sekali tak menduga Bilung bisa memukul bolanya. Demikian permainan semakin seru ketika point-point lainnya menyusul dicetak oleh Ucang, Uyang, Jalung dan Ibau.

 

Dua kali Bilung berhasil memukul bola dengan tepat, namun kali ketiga pukulan Bilung meleset, membuat wajahnya meringis tak berbentuk, karena kesakitan terkena gebokan yang sangat kuat dari pihak lawan. Gebokan itu akhirnya menggantikan posisi kami menjadi penjaga dan pihak lawan menjadi pemain.

 

Pertandingan itu akhirnya selesai. Team kami berhasil menang. Team lawan yang berpostur tubuh besar-besar, ternyata tidak menjamin kemenangan mereka, karena tubuh-tubuh itu berat dan tak kuat berlari.

 

Kalimat Ucang kembali terngiang, menyadarkanku. Bagaimana seandainya bila kami tidak mencobanya, tentu kami tak akan pernah tahu, kemenangan ini berpihak kepada kami.

 

Meski pulang dengan kemenangan, tak satupun dari wajah kami yang terlihat senang. Kami hanya terdiam dengan hati yang was-was karena malam ini kami akan menerima kabar keadaan Luat dari supir mobil kampung, yang tadi pagi mengantarnya  ke kota.

 

Bersambung ke Tahun Baru (3)

__________________

Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...