Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Tempat Yang Tinggi Itu

xaris's picture

Beberapa minggu yang lalu di Public Lecture kami membahas tentang Media dengan meminta seorang wakil presiden direktur salah satu televisi swasta untuk membawakan materi awal dengan pembimbing acara Pdt. Joshua Lie menutup dengan memberikan beberapa kesimpulan di akhirnya. Tidak ada yang luar biasa sebetulnya dari bahasan selama kurang lebih satu setengah jam tersebut. Kalau boleh aku katakan, rata-rata yang hadir sudah merasakan sendiri “nikmatnya” acara-acara yang disajikan sederetan televisi swasta negeri sendiri, ditambah entah berapa banyak siaran-siaran luar yang diakses lewat televisi kabel.

Tetapi sesuatu di dalam hati ini tersentak saat ada pertanyaan tentang susunan acara yang disajikan stasiun televisi swasta tempat si pembicara berada kini. Televisi swasta yang kita kenal lekat dengan deretan acara dangdut ria dipadu kisah-kisah misteri bernuansa klenik ataupun agama yang mendominasi republik tercinta ini. Pertanyaan itu secara kasarnya bertanya apa peran si pembicara selama ini dengan berdiang di televisi swasta tersebut yang mampu menjangkau jutaan pemirsa? Mengapa tak juga berubah materi-materi yang disajikan??? Takkan kulupa jawaban si pembicara hari itu.

“Kami disini sebagai penjaga, yang mengawal agar segala sesuatu yang berjalan masih tetap dalam jalurnya, meskipun belum bisa sampai mengubah segala sesuatunya.”

Itulah buatku satu pelajaran lagi tentang arti menjadi garam dan terang dunia. Mengapa harus televisi swasta yang hanya menjangkau rakyat kalangan bawah? Karena jumlah mereka jauh lebih besar daripada kalangan lainnya. Seperti bagian piramid yang menengah hingga ke dasarnya, itulah bagian terbesar yang harusnya dijangkau, diedukasi dan dipengaruhi secara positif.

Salah satu televisi swasta yang paling sering aku tonton ternyata tidak memiliki rating yang baik, lantaran sangat terbatas kalangan yang sungguh-sungguh berdedikasi dengan tayangan-tayangan mereka. Selain tentu saja aku perkirakan tidak bersambungnya dunia yang ditampilkan stasiun televisi ini dengan dunia kebanyakkan para pemirsa di negeriku. Aku jadi terpikir, rupanya selama ini kita-kita yang hidup “berkecukupan” hanya berfokus pada pencapaian hidup berkecukupan itu saja tanpa mengingat bahwa Kristus sendiri bahkan berkata bahwa Ia datang buat orang kebanyakkan, rakyat jelata sederhana yang memang secara mayoritas mengisi bumi kita tercinta. Sudah sejauh manakah aku sebenarnya mengikuti Juruselamatku hingga kesana?

Duniaku mengajarkan bahwa memperoleh pekerjaan di perusahaan yang baik (paling tidak multinasional!) dengan jabatan yang baik (paling tidak manager) seharusnya menjadi tujuan setiap pekerja. Mencari ilmu setinggi mungkin hingga bisa mengerti begitu banyak hal itu harus. Tapi apakah pengetahuan yang kemudian didapat adalah untuk dibagikan pada sebanyak mungkin orang akan menjadi pertanyaan. Yang jauh lebih mungkin terjadi aku akhirnya membatasi diri dalam membagikannya, hanya pada kalangan tertentu yang aku anggap sanggup mencapai level pemikiranku. Padahal dengan kepandaian yang aku miliki untuk mengerti hal tersebut, mungkin seharusnya aku bersedia belajar lebih lagi bagaimana hal itu bisa pula dimengerti orang-orang yang tidak/belum mampu mencapai tingkat pemikiran sepertiku.

Aku jadi respek dengan si pembicara karena pilihannya untuk mengabaikan kesan yang didapat jika orang hanya melihat dari permukaan akan apa yang dikerjakannya. “Ngga elit banget kerja buat stasiun televisi itu?!?! Padahal kamu mampu kerja di tempat lain yang lebih baik!” Tidak, bukan itu intinya.

Aku akui betul sekali pendapat bahwa untuk menjangkau ribuan orang, tidak perlu harus satu-persatu kita pegang. Cukup beberapa pentolan yang bisa mempengaruhi ribuan orang itu. Tetapi di satu sisi, jangan sampai kita mengabaikan bahwa sangat mungkin para calon pentolan tersebut saat ini masih belum muncul, masih berada tak terdeteksi jelas di kelompok itu. Selain itu, kalaupun kita akhirnya menjadi raja yang duduk tinggi di atas tahta, jangan pernah lupa untuk tetap pula bersentuhan lekat dengan rakyat kita.

Teringat akan Kristus. Rajaku yang luar biasa. Kalau boleh aku mau gunakan ayat ini untuk menggambarkan betapa berbedanya Dia dengan kebanyakan orang-orang pandai dan terkemuka yang aku kenal. “Have this attitude in yourselves which was also in Christ Jesus, who, although He existed in the form of God, did not regard equality with God a thing to be grasped, but emptied Himself, taking the form of a bond-servant, and being made in the likeness of men.” – Philippians 2:5-7 NASB.

Mungkin kalau aku ketemu Kristus sekarang, aku tidak bakal menyangka kalau Dia adalah Rajaku dari penampilan dan kalangan dengan siapa Dia bergaul. Sangat mungkin aku turut dalam barisan yang meremehkan dia. Dan mungkin setelah mendengar kebijaksanaan yang hadir lewat perkataanNya, aku masih juga tidak bertobat dengan berusaha menasehatiNya (hebat yah kebebalanku!) agar meninggalkan kalanganNya itu dan naik ke level yang lebih tinggi dimana orang-orang pandai dan hebat akan lebih mengerti DiriNya. Sejarah telah membuktikan betapa itu semua salah total! Siapa yang menista Kristus paling hebat? Siapa yang menghina Dia paling giat? Siapa yang tak habis-habisnya oleh karena kehadiranNya merasa terancam paling kuat?

Terima kasih Tuhan buat hari itu. Aku jadi ingat, Kau perlengkapi aku begitu rupa hingga ke tempat tertinggi yang mungkin bisa aku tuju justru agar aku bisa semakin menjangkau jauh kemana-mana. Dan jika memang bagianku adalah di tempat yang "tinggi" itu, semoga Engkau mengirimkan orang-orang yang bisa membantuku untuk menjangkau orang-orang lain yang tidak bisa kujangkau. Because in the scope of eternity, itulah yang sesungguhnya berarti!

 

Josua Manurung's picture

Selamat bertemu Kristus...

Kita terkadang lupa... Kristus menampakkan wajah-Nya pada setiap orang yang kita jumpai.... baik itu yang mengesalkan atau memberi kesan baik.... baik di jalan, di kantor, di rumah... bahkan di Pasar Klewer ini.... hahaha... BIG GBU!
__________________

BIG GBU!