Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Tiga Ribu Rupiah Sejam

Purnomo's picture

           Selama 5 tahun nama nenek ini ada dalam file komputerku sebagai wali 3 siswa SD Tabita di mana hampir seluruh siswanya kami santuni. Dia adalah pengambil santunan yang paling cerewet. Dia bertanya kepada penyalur santunan (PS) apakah aku mau membantu biaya hidupnya. Ketika cucu pertamanya lulus SD dia ngotot minta PS memberinya nomor teleponku karena dia mau minta santunan dilanjutkan ke jenjang SMP.


           Tiga orang cucunya ini yatim piatu, berasal dari 2 orang anaknya dan 2 orang menantunya yang merantau ke Jakarta dan Kalimantan dan akhirnya meninggal satu-persatu. Itu cerita yang aku dengar dari PS dan tidak pernah aku konfirmasikan apakah mereka meninggal karena sakit, atau kecelakaan, atau dibunuh orang, atau bunuh diri, atau menghilangkan jejak karena sudah tak sanggup menafkahi anaknya. Sekarang tinggal cucu bungsunya yang di SD Tabita dan nenek ini tidak cerewet lagi karena tahu kupingku tuli untuk permintaan yang macam-macam.
 
           Tanggal 2-Desember-2014 aku mencari rumah si nenek yang ada di kampung di belakang SD Tabita. Untung hari itu tidak banjir rob. Ternyata dia sudah pindah rumah. Tetangganya memberi aku ancar-ancar tempat tinggalnya yang baru tetapi tidak jelas bagiku. Aku ingat cucu keduanya ada di antara 24 siswa lulusan tahun 2013 yang untuk merayakan kelulusannya aku ajak ritrit semalam di Lembah Kemenangan Ungaran. Di sana santunan terakhir mereka aku berikan dan aku catat mereka mau melanjutkan ke SMP mana. Cucunya ini berencana ke SMP Bala Keselamatan. Aku membelokkan motorku ke BK. Semoga dia ada di SMP itu.
 
           “Pak, bisa saya bertemu dengan Tanto Kristanto siswa kelas 8?” tanyaku kepada seorang guru yang kebetulan keluar dari sebuah kelas.
           Ternyata dia guru Tanto dan anak itu dipanggilnya keluar kelas. Waktu dia keluar dia kaget melihat aku. Aku juga kaget melihat dia. Memang dulu perawakannya kecil, tetapi tidak sekurus yang sekarang aku lihat.
 
           “Kris, masih ingat aku? Dulu kita ritrit semalam di Ungaran dan kamu harus berdiri di atas kursi jadi kiper?”
           Dia tertawa. “Ingat. Ya, saya ingat, pak Pur.”
           Aku ajak dia duduk di luar kelas. Aku tanya alamat barunya dan dia bisa menggambarkan petanya.
          “Sudah berapa lama di sini?”
          “Enam bulan.”
          “Berapa kontraknya?”
          “2 juta setahun.”
           Cepat otakku berhitung. “Ini cuma 1 kamar ya?”
          “Ya.”
          “WC dan kamar mandi di luar dan dipakai bareng tetangga ya?”
          “Ya.”

           “Bisa aku lihat kartu uang sekolahmu?”
           Dia mengambil tasnya yang terletak di luar kelas. Di luar kelas banyak tergeletak tas-tas siswa. Aku melihat kartunya. Selembar kartu SPP, 67 ribu rupiah. Lembar lainnya iuran macam-macam jumlahnya 100 ribu rupiah. Kedua kartu itu masih bersih.
           “Sejak Juli kamu belum bayar? Mengapa?”
           “Mak (nenek) tidak punya uang.”
           “Saya dengar anak perempuan mak kamu yang di Jakarta kirim uang tiap bulan?”
           “Tante sudah lama tidak kirim uang.”
           “Mengapa?”
           “Belum dapat kerja lagi.”
           “Sebelumnya kerja apa?”
           “Jualan mainan.”

           “Apa kamu tidak dimarahi gurumu ngutang segini banyaknya?”
           “Kalau dimarahi sih sering. Malah kemarin guru bilang kalau hari ini tidak mengangsur saya tidak boleh ikut UAS. Tapi tadi saya datang juga dan boleh ikut UAS.”
            
             “Lalu kakakmu sekolah di mana?”
             “Di SMK sebelah.”
             “Kartu sekolahnya juga kosong begini?”
             “Tidak. Baru telat 3 bulan.”
              Terlambat 3 bulan dia bilang ‘baru’. Enak saja.

             “Dari gerejamu kamu dapat beasiswa tiap bulan?” tanyaku.
             Catatan data dirinya menyebutkan emaknya serumah berjemaat di sebuah “gereja” kecil yang aku tahu anggotanya orang-orang marjinal.
             “Kalau tiap bulan tidak pernah.”
             “Yang tidak tiap bulan?”
             “Pernah diberi 400 ribu. Lalu pernah dapat 500 ribu.”
             “Lalu mengapa kamu tidak bayar uang sekolah?”
             “Uangnya habis untuk makan dan bayar hutang.”
 
             “Kris, bilang sama emak kamu. Jadwal santunan SD Tabita mulai hari Rabu. Jadi hari Rabu emak bayar uang sekolah adikmu yang di SD Tabita 125 ribu. Lalu seperti biasa fotokopi pelunasannya langsung dibawa ke rumah Tante Ida dan dia terima penggantinya 125 ribu. Jangan dipakai belanja. Uang itu tambahi 42 ribu jadi 167 ribu dan hari Sabtu minta emak membayar uang sekolah kamu bulan Desember.”
             “Saya belum bayar sejak Juli.”
             Anak kelas 8 ini memang cerdas dan ingatannya bagus. Dia menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan cepat. Dia juga menyimak apa yang aku katakan.
           
             “Tunggakan kamu dari Juli sampai Nopember biar aku yang urus di kantor sekolah. Lalu hari Minggu kamu dan emak cari aku di gerejaku bawa fotokopi kwitansi pelunasannya. Kamu ingat di mana gerejaku ‘kan. Nanti langsung aku beri kamu 167 ribu untuk menggantinya. Paham?”
             Dia mengangguk senang.
             “Sudah sana kamu masuk kelas.”

           Aku tidak mempersiapkan uang, jadi aku kuras dompetku dan ternyata hanya bisa melunasi Juli dan Agustus saja. Aku pesan kepada guru yang mengurusi uang sekolah jika Kris membayar 1 bulan, dicantumkan sebagai pelunasan bulan Desember karena tunggakan bulan-bulan sebelumnya aku yang akan melunasinya.
           “Kristanto itu nakal, tidak pernah mau dengar nasehat,” katanya sambil menulis kwitansi.
           “Misalnya?” tanyaku.
           “Kalau pulang sekolah selalu saja dia mampir ke warnet.”
           “Mungkin dia hanya nonton orang main gem karena dia tidak punya uang,” jawabku. “Lagipula mengapa dia harus cepat-cepat pulang? Rumahnya bukan rumah seperti yang Bapak punya. Paling neneknya hanya kuat ngontrak 1 kamar saja.”
           Dia diam tidak lagi berkomentar.

           Waktu pulang aku lihat kelasnya belum mulai ulangan mapel ke-2. Aku melambaikan tangan ke arahnya. Dia keluar kelas.
           “Kris, kamu kalau pulang sekolah sering mampir warnet ya?”
           “Ya. Main gem,” jawabnya jujur.
           “Mak kamu tidak marah?”
           “Marah. Tapi saya langsung pulang dia juga marah. Daripada langsung pulang kena marah sekalian saja saya dolan dulu.“
           “Internetan berapa ribu sejamnya?”
           “Tiga ribu rupiah sejam.”
           “Kamu main berapa jam?”
           “Satu, kadang dua jam.”
           “Uang jajanmu banyak ya.”
           “Saya ndak pernah diberi uang jajan. Teman-teman memberi saya uang buat jajan tapi saya tabung.”
           “Kamu diberi atau minta?”
           “Saya ndak pernah minta, saya diberi. Ada yang memberi seribu ada yang 2 ribu. Saya kumpulkan buat main gem.”
           “Yo wis, lanjutkan saja asal jangan nonton video porno. Jangan lupa bilang sama emak pak Pur mau ketemu dia.”
           “Ya pak Pur.”

                                    (01.01.2015)