Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

TUHAN LEBIH TAHU

Love's picture

Umumnya seorang wanita akan melahirkan anaknya jika usia kandungannya
sembilan bulan sepuluh hari. Tetapi menjelang kandungan ibuku berusia
10 bulan, belum ada tanda-tanda apapun ibuku akan segera melahirkan
anak ketiganya, adikku.

Nenekku yang sudah sejak 2 minggu menanti kelahiran adikku memutuskan
untuk pulang saja ke kampung halamannya karena sudah terlalu lama
meninggalkan rumahnya. Ibuku tenang saja, karena yakin Tuhan pasti
akan tolong.

Tepat 10 bulan kurang 1 hari, perut ibuku terasa mulas. Ya, tiba
saatnya untuk melahirkan. Di pagi buta, ayahku mencari becak untuk
mengantarkan ibuku ke Rumah Sakit. Beberapa menit sebelum sampai di
gerbang Rumah Sakit, ibuku merasakan adikku sudah berada di ambang
"pintu". Nyaris saja adikku lahir di dalam becak, tetapi Tuhan tetap
menyertai ibuku.

Sampai di Rumah sakit, melihat ibuku yang sudah sangat pucat, para
suster dan dokter segera membawa ibuku masuk ke dalam ruang bersalin.
Dan tidak sampai 1 jam adikku sudah lahir, Puji Tuhan!

Setelah 3 hari berada di Rumah Sakit, tiba saatnya orangtuaku harus
mengurus administrasi Rumah Sakit. Ayahku sengaja memilih rumah sakit
itu, karena mereka membebaskan biaya melahirkan bagi mahasiswa Sekolah
Tinggi Theologia, tempat ayahku kuliah saat itu.

Dengan semangat ayahku pergi ke kantor administrasi. Dia mengatakan
hari ini dokter mengijinkan ibuku pulang. Setelah melihat beberapa
data, pegawai administrasi menyodorkan beberapa kertas yang harus
ditandatangani. Tetapi betapa kagetnya ayahku ketika dia melihat
beberapa ratus ribu rupiah yang harus dibayar sebagai biaya
melahirkan. Ayahku bertanya ada apa? Bukankah mahasiswa sekolah
teologia tidak membayar biaya dokter dan perawatan jika masuk rumah
bersalin ini? Tetapi mengapa sekarang harus membayar?

Jelas saja ayahku bingung. Di kantongnya dia hanya membawa uang untuk
transport becak pulang ke asrama mahasiswa.

Ternyata petugas rumah sakit saat menerima ibuku masuk ke rumah sakit
itu menanyakan status ayahku di sekolah teologia tempat ayahku
belajar. Dan pihak sekolah mengiyakan bahwa ayahku adalah mahasiswa di
kampus tersebut sekaligus juga pegawai di sekretariatan kampus. Ya,
saat itu memang ayahku memang sedang melanjutkan S1 nya di Sekolah
Theologia tersebut, tetapi dia juga diminta menjadi asisten dosen dan
membantu kesekretariatan kampus dengan berkat Rp 46.000,00 per bulan.
Dasar itulah yang dipakai pegawai administrasi menolak status ayahku
yang sebenar-benarnya adalah mahasiswa di kampus tersebut.

Setelah berdebat cukup lama, ayahku tetap harus membayar uang
perawatan ibuku. Karena ayahku bukan 100% mahasiswa. Ibuku sudah boleh
pulang, tetapi selama belum bisa membayar biayanya, adikku belum boleh
meninggalkan rumah sakit. Ayahku langsung lunglai. Tulang-tulangnya
menjadi lemas. Bayangan akan ibuku menari-nari di kepalanya. Dan
benar, ketika dia mengatakan hal itu kepada ibuku, ibuku langsung
tidak dapat menahan linangan air matanya. Dia meminta ayahku untuk
berusaha lagi. Tetapi ayahku sudah berusaha semampunya, dan tidak
berhasil. Ibuku akhirnya pasrah. Dibantu ayahku, dia mengemasi semua
barang-barangnya sambil terus terisak-isak.

Saat sedang mengemasi barang-barangnya, dua orang, sepasang suami
isteri masuk ke dalam kamar ibuku. Ternyata seorang pembantu rektor di
kampus tempat ayahku sekolah datang menjenguk bersama dengan
isterinya. Beliau berdua melihat ibuku yang sedang menangis. Isterinya
langsung menghibur ibuku dan suaminya menanyakan masalahnya kepada
ayahku. Ayahku menjawab apa adanya.

Begitu mengetahui pokok permasalahannya, beliau langsung melangkahkan
kakinya ke kantor administrasi. Ayahku tidak diperbolehkan ikut. Tidak
sampai setengah jam, beliau telah tiba kembali di kamar ibuku sambil
berkata, "Sekarang cepat berkemas, sebentar lagi bayimu akan dibawa ke
kamar ini, dan boleh pulang bersama kalian."

Ayahku bingung. Apa yang sudah terjadi? Kalau soal berdebat masalah
status mahasiswa tadi juga sudah dia usahakan dan hasilnya nol, tetapi
mengapa sekarang bisa?

Pembantu rektor itu mengatakan, "Saya sudah jelaskan semuanya tentang
status kamu di kampus. Dan sekarang sudah beres! Ayo pulang sekalian
naik mobil saya!"

Baru akan membuka mulut untuk bertanya, pembantu rektor itu berkata
lagi, "Tidak usah menanyakan mengapa hal itu bisa terjadi, yang pasti
Tuhan turut campur tangan!"

Jawaban atas pertanyaan yang belum sempat terlontarkan itu menjadi
pijakan kuat bagi ayahku untuk terus melangkahkan kaki dengan mantap
keluar dari rumah sakit itu, bersama ibu dan adikku.

Ayahku tidak tahu apa yang sudah terjadi, tetapi Tuhan lebih tahu apa
yang dibutuhkan anak-Nya.