Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

THE WAR OF THE WARoengS

Purnomo's picture
Beberapa tahun terakhir ini saya tinggal di pinggir kota dekat kawasan kampus universitas negeri. Bisnis eceran di sini ramai sekali. Warung internet ada 7 dan 2 di antaranya buka 24 jam. Ada yang sejamnya hanya 4 ribu rupiah. Rental komputer dan printer yang bagus mutunya setidaknya ada 3. Gerai fotokopi tak terhitung. Gerai ponsel dan kartu pulsa, juga banyak. Salon, kios reparasi sepatu, vermak jeans, bengkel sepeda motor, economic price fitness centre, bank, kantor pos pembantu, biro perjalanan, mini market juga ada. Warung kelontong dan tenda mamimu (makan-minum-murah) berlerot.
Sebagian besar pelaku bisnis di sini bukan penduduk setempat. Mereka mengontrak tempat berdagang itu paling murah sekitar 15 juta setahun. Dengan investasi sebesar ini dan kemudian harus menekan harga jual untuk menggaet konsumen, membuat tidak sedikit dari mereka pada tahun berikutnya menghilang dari kawasan ini. Warung kelontong posisinya agak kuat karena mereka penduduk lokal sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya sewa tempat. Tetapi kenyamanan mereka mulai terganggu dengan munculnya 4 chain store yang memakai nama dengan akhiran Maart. Tempatnya tertata rapi, bersih dan berAC.

 

Kehadiran chain store di beberapa daerah sering menimbulkan reaksi keras dari pedagang sekitarnya. Mereka melakukan demo dan menuntut pemerintah menutup gerai ini karena dianggap akan menghancurkan pedagang bermodal kecil. Dalam kasus seperti ini, persaingan adalah sebuah peperangan di mana prinsip to be or not to be, to kill or to be killed berlaku. Pesaing dianggap musuh yang harus diusir atau dihancurkan. Sebagai salesman saya sering melihat kekejaman bisa muncul dalam persaingan ini. Di desa ketika ada seorang membuka warung maka para pedagang lama sering berusaha membujuk, bahkan mengancam para salesman untuk tidak memasok barangnya ke warung baru ini. Jika ini dituruti, maka pedagang baru ini harus membeli barang di kota sehingga ia tidak bisa menyamai harga jual pedagang lama. Ini masih tindakan yang lunak. Tindakan kasar bisa muncul berupa fitnah, atau mengupah preman untuk mengganggu pesaing ini. Jasa dukun juga sering dipakai dalam persaingan berkonsep “to kill or to be killed” ini.

 

Sebagai warga Kerajaan Surga, kita tidak boleh memakai paradigma di atas. Doa “berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” menunjukkan bahwa monopoli sumber nafkah tidak dibenarkan. Persaingan harus dianggap sebagai sebuah perlombaan lari. Setiap pelaku bisnis punya jalur larinya masing-masing dan tidak saling bertabrakan. Memenangkan lomba hanya bisa dilakukan dengan menunjukkan bahwa kita mempunyai sesuatu yang lebih daripada pesaing kita. Apakah itu?

 

Nice personality

Saya berpendapat kepribadian yang menarik dari pedagang kecil adalah sesuatu yang utama. Bahkan ini lebih penting daripada harga jual. Unsur pertama dalam kepribadian itu adalah keramahan (1). Bahkan terhadap pelanggan yang rewel dan suka mencacat dagangan kita. “Sebenarnya sih saya jengkel juga bicara dengan orang cerewet,” kata seorang pedagang yang menurut saya kesabarannya berlebihan. “Tetapi saya menganggap ia disuruh Tuhan datang ke sini membawakan rejeki saya. Orang suruhan Tuhan ‘kan harus disambut dengan baik. Iya ndak?” So pasti, man. Kalau tidak, bisa kuwalat kita.

 

Saya melihat ke meja kasir bermaksud membayar nasi goreng yang telah selesai saya santap. Pemilik resto kecil ini ada di sana. Saya menunjuk piring kosong dan mengacungkan jempol. Dia tersenyum dan berjalan mendatangi saya. Pujian memang alat terampuh untuk berkenalan. Dan kami mengobrol. Ketika saya bertanya pelanggan tingkat ekonomi mana yang ia pilih dalam usahanya ini, ia bercerita.


“Itu gampang ditentukan, tapi sulit dipraktekkan. Pernah datang satu keluarga, bapak, ibu dan 2 anaknya yang masih kecil. Mereka naik sepeda motor produksi tahun 90-an. Karena pegawai saya sedang repot, saya layani sendiri. Mereka makan besar, dan waktu pulang masih membawa bungkusan. Habis hampir 100 ribu rupiah. Mungkin sedang merayakan sesuatu. Bagus tidak kendaraannya tidak menunjukkan orang mau belanja berapa banyak. Pernah ada yang datang naik mobil baru. Dia tanya apa bisa beli cap jai setengah porsi. Saya layani juga. Mungkin di rumah ia hidup sendirian.”


Setiap pemilik warung pasti punya keramahan dalam melayani pembelinya. Tetapi tidak semua memiliki keramahan-yang-tidak-membedakan (Yakobus 2:1). Jangan mengurangi keramahan Anda karena yang datang seorang anak kecil, ibu yang berpakaian lusuh, remaja berambut pangki berjean koyak. Sambutlah mereka dengan sukacita, karena mereka orang suruhan Allah mengantar makanan Anda hari ini.
—o—
Seorang kenalan yang baru selesai belanja saya tanya mengapa tidak ke toko Anu yang harganya lebih murah. “O tempatnya Nyah Galak itu? Nggak usah la yauw. Biar murah tetapi aku malas lihat mukanya. Ngeliatin aku kayak ngeliatin maling aja. Di sini juga harganya ga beda banyak kok. Aku senang ke mari karena yang jual banyak senyum dan wajahnya terang.” Tersenyum (2), memang pekerjaan gampang-gampang sulit. Gampangnya, tidak pakai modal. Sulitnya, kalau hati lagi jengkel. Tetapi bagaimana pun keadaan hati Anda, keep smiling please. Senyuman Anda bisa memberi cahaya warung Anda karena lebih terang daripada lampu 100 Watt. Pelanggan akan merasa “hangat” ketika masuk ke warung Anda (Ayub 29:24). Bukankah dalam pergaulan di gereja hal ini juga terasa? Pernah dengar komentar, “Memang ce itu cantiknya kayak seleb di tivi. Tapi gw males hang on ame dia. Abis, ga pernah senyum se” ?
—o—
Menulis kata “Nyah Galak” saya jadi ingat akan kebiasaan di negeri ini untuk memberi nama alias sesuai dengan penampilan yang bersangkutan. Pak Jangkung, Mbak Menor, Babah Gemblung, Pak Item, dsb-nya. Ada seorang pemilik warung yang dijuluki pelanggannya Nyah Kombor (=longgar, untuk pakaian). Apa pasal? Karena setiap hari ia menjagai warungnya dengan mengenakan baju daster yang kebesaran, kedodoran. Maaf, tidak perlu mengumbar imajinasi. Wanita ini sudah tua kok.


Sering pemilik warung berpendapat busana (3) mereka bukan hal yang penting. Mereka berdagang di rumah, sehingga mereka lebih suka mengenakan baju rumah. Bagi pria, celana pendek atau sarung plus kaos singlet. Ada malah yang tega banget bertelanjang dada. Tentunya pelanggan wanita bisa merinding melihatnya. Saya sendiri juga sering bingung bila masuk ke warung, e ibu penjualnya pakai gaun yang tipis. Mata mengarah ke bawah kok ga sopan. Tidak melihat kok ya terpanggil banget melakukan observasi (Zefanya 1:8).


Ga perlu pakai baju bagus apalagi ditambah make-up menor macam mau kondangan. Kenakanlah pakaian yang pantas, karena pelanggan Anda adalah tamu.
-o-
Suatu ketika waktu saya berkantor di Medan, kantor pusat memberitahu orang nomor satu di perusahaan akan berkunjung ke daerah kerja saya. Si penelepon mengingatkan saya untuk mengajaknya makan durian. Jebakan, begitu saya berpikir. Sekian lama bekerja di perusahaan ini saya belum pernah melihat seorang bule mau makan durian. Kena baunya saja mereka sudah marah. Apalagi yang ini Inggris asli, yang sudah terkenal sopannya. Lepas dari airport segera saya bawa dia ke kota Pematang Siantar dan Danau Toba untuk mengunjungi pasar-pasar di daerah itu. Memang sambil lalu ia mengatakan, “saya ingin makan durian Medan.” Tetapi saya tidak memperhatikannya. Menjelang sore kami kembali ke Medan dan mendadak ia berkata tidak mau masuk hotel sebelum makan durian.

“Are you kidding?” tanya saya.

“Tidak, saya serius. Someone di kantor mengajari saya makan durian. Ternyata lama kelamaan, I like it very much. Kata dia, durian di Sumatera rasanya jauh lebih enak daripada yang di Jawa.”


Memang betul mister, durian di sini lebih enak bahkan harganya sepertiga dari yang di Jawa. Tetapi ini tidak musim. Kalau kamu tidak makan durian sore ini, pasti kamu marah. Dan dimarahi oleh presiden direktur bisa berarti kiamat. Begitu saya menggerutu dalam hati.

“Oke, lima menit lagi kita sampai di warung durian langganan saya,” kata saya.

Menjelang masuk ke kota Medan saya membelokkan mobil ke sebuah warung. Di depan warung pemiliknya menggerakkan tangannya. Tanpa berhenti saya memutar mobil di halaman warung itu kembali ke jalan raya.

“Tidak ada stock. Kita beli durian di pecinan Medan,” kata saya.

“I don’t understand. Saya melihat setumpuk durian. Paling tidak ada 50 butir. Tapi kamu bilang no stock.”


“Penjualnya tadi memberi kode yang berarti ‘no good stock’. Biar kita memaksa, ia tidak akan menjual durian yang ada karena mutunya tidak bagus. Ia tidak pernah mau pelanggannya makan durian jelek di warungnya. Durian yang ada tadi akan dikirimnya ke pasar tradisional.”

“Pedagang kecil dengan kejujuran besar,” komentarnya terkagum-kagum.

Kejujuran (4) adalah sebuah karakter yang paling diragukan dimiliki oleh pedagang. Karena itu pernah ada pepatah Belanda mengatakan “Tuhan para pedagang dan tuhan para pencuri adalah sama”. Bagaimanakah timbangan Anda? (Ulangan 25:13-16). Jangan membuat pelanggan Anda menghina Tuhan kita dengan mengatakan, “Namanya pedagang, biar setiap hari ke gereja ya sama juga curangnya.”


Asal tahu saja, minuman kaleng yang 2–3 bulan mendatang kadaluwarsa, dapat dibeli dengan diskon sekitar 25–50% dari harga resminya. Apakah demi keuntungan yang lebih besar Anda tega menjual barang ini dengan mengubah tanggal kadaluwarsanya? (Habakuk 2 : 9).


Setiap sepeda motor saya bermasalah, saya pasti ke bengkelnya. Selain bengkel, ia juga punya toko spare part. Bengkel yang merangkap toko spare part biasanya dicurigai senang mengganti spare part pelanggannya yang belum perlu benar diganti. Tetapi saya senang ke tempatnya karena ia jujur. Baru-baru ini schock breaker belakang sepeda motor saya bocor. Ada 3 pilihan harga yang disodorkan. Yang paling mahal, paling awet. Yang paling murah, umurnya pendek. Ia menyarankan saya membeli yang menengah saja. Lalu, yang membuat saya surprise, ia juga memberitahu alamat bengkel yang bisa memperbaiki dengan cara suntik. Harga kejujuran memang mahal. Saya tidak jadi membeli spare partnya. Tetapi seimbang dengan imbalannya. Saya tidak akan pindah dari bengkelnya karena saya merasa tidak diperlakukan sebagai pelanggannya lagi, tetapi sebagai teman.
—o—
Sehari setelah Lebaran kemarin, malam-malam mendadak saya perlu membeli obat. Tetapi semua warung kelontong dekat rumah masih tutup. Terpaksa saya ke chain store. Ketika warung-warung telah buka kembali, saya pergi ke langganan saya. Di sana saya melihat obat yang sama. Saya menanyakan harganya. Sembilan ribu rupiah, katanya. Saya kaget. Sampai dua kali saya menanyakan harganya.

“Semalam saya beli obat ini di toko seberang itu. Harganya Rp.11.600,-“

“Ooooo,” ibu berjilbab itu menjawab singkat. Saya menunggu, tetapi ia tidak menyambung “Oooo”nya dengan pernyataan negatif. Mungkin pemilik warung lain akan tergoda berkomentar, “Makanya, jangan ke sana lagi. Kan keterlaluan panjenengan harus nambah hampir 3 ribu hanya karena kena dingin ACnya 10 menit.”

 
Saya lebih yakin ia akan tetap berjaya dalam war of the waroengs karena ia juga tidak menjelekkan pesaing (5)-nya. Memang tidak mudah menjadi yang terbaik tanpa tergoda kesombongan (2 Timotius 3:2). But it is a must for us.
—o—
Di dalam mencari “makanan hari ini” orang bisa tega mematikan sumber nafkah orang lain demi melestarikan kelangsungan bisnisnya. Setiap pesaing adalah musuh, tidak peduli siapa mereka. “Pada waktu itu kawan dan teman akan saling berperang seperti musuh,” begitulah orang Yahudi meramalkan masa depan menjelang jaman Perjanjian Baru (2 Esdras 6:24). Tetapi Yesus kemudian menghapus kengerian masa depan ini dengan memberi perintah kepada kita, “Lihat, Aku mengutus kamu,” begitu dicatat dalam Matius 10:16, “seperti domba (yang berprinsip persaingan = perlombaan) ke tengah-tengah serigala (yang menganggap persaingan = peperangan), sebab itu hendaklah kamu cerdik (berpengetahuan) seperti ular dan tulus (berkarakter Kristiani) seperti merpati”,


Maukah kita diutus oleh Tuhan menjadi Injil Kelima yang terbuka ketika menyambut para pelanggan masuk ke warung kita?


(selesai bagian-1)
 
bagian ke-2 klik di sini.

joli's picture

kesempatan akan menjadi kesempatan

Persaingan harus dianggap sebagai sebuah perlombaan lari. Setiap pelaku bisnis punya jalur larinya masing-masing dan tidak saling bertabrakan. Memenangkan lomba hanya bisa dilakukan dengan menunjukkan bahwa kita mempunyai sesuatu yang lebih daripada pesaing kita.


My boss juga pernah bercerita kepada kami, ketika saya pada waktu itu mengeluh tentang persaingan yang tidak sehat antar perusahaan peserta tender. (saya bekerja di perusahaan jasa konstruksi). Seperti sudah  menjadi budaya, setiap kali tender, selalu  saja ada yang  sangat "cerdik"  cara bermainnya,  sehingga  terkadang  kami "kalah"  bukan karena "kalah".

Si boss lalu mengatakan kepada kami bahwa persaingan adalah seperti perlombaan. Bina-lah diri, latih-lah sedemikian rupa sehingga siap mengikuti pertandingan , juga pelajari aturan main, kenali semua unsur yang terlibat. setelah itu bertandinglah dengan baik dengan cara yang benar. Hasil akan menyusul kemudian.

Seperti Rudi hartono dan Sven Pri (pemain badminton denmark).  Sven pri pemain yang hebat tetapi seringkali dan selalu kalah kalau ketemu Rudi, namun ia dengan semangatnya selalu melatih diri, menemukan cara bagaimana menghadapi permainan cepat rudi, selama pertandingan dia selalu bersemangat mencoba taktik2 barunya. hasil menang atau kalah, dia tetap semangat memeluk rudi.. sambil menikmati evaluasi cara bermainnya, puas dengan perbaikan2 yang dilakukannya. Hingga di tahun 1973 dia bisa memenangkan pertandingan melawan Rudi di Thomas cup dan dua tahun kemudian di tahun 1975 Sven Pri memenangkan piala all england secara dramatis melawan sahabat sekaligus rival bebuyutannya yaitu rudi hartono. Demikian juga Rudi hartono selalu belajar mengembangkan diri dan melatih diri, dia juga  berdoa bukan hanya di awal dan akhir pertandingan, tetapi di setiap poin, rudi menikmati hasil latihan dan setiap poin disyukurinya dalam doanya.

Dalam pertandingan antara Rudi Hartono dan Sven Pri, seperti itulah harus-nya kita bermain dalam persaingan.. kata my boss... nikmati prosesnya, kembangkan diri, tikatkan kinerja perusahaan.. rival.. bisa menjadi sarana untuk kita berkembang  menjadi "lebih".. 

Bekerjalah dengan baik dengan cara yang benar .. maka hasil akan mengikuti-mu..

kesempatan akan menjadi kesempatan.. kalau kita siap menerima kesempatan itu... bila tidak ya hilanglah kesempatan itu..

Binalah diri.. maka kesempatan akan menjadi kesempatan.. katanya..

ok.. ok.. boss.. jawabku Smile