Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

El Laberinto del Fauno

Daniel's picture

Sudah lama saya tidak menonton sebuah film yang benar-benar mampu menyita seluruh perhatian saya, sampai saya menemukan El Laberinto del Fauno (Pan's Labyrinth).

Sejak awal film ini sudah "menipu" saya, bahkan sebelum saya menontonnya. Tadinya saya mengira ini adalah sebuah film petualangan fantasi, apalagi judulnya mengingatkan saya pada Labyrinth, film Jim Henson yang menjadi salah satu favorit masa kecil saya, tapi saya terkecoh. Memang ada unsur fantasi di dalamnya, tapi itu hanya sebagian kecil, sementara sebagian besar adalah tentang dunia nyata, dan bukan sembarang dunia nyata, melainkan dunia nyata yang kejam di Spanyol tahun 1944 pasca perang sipil. Ada begitu banyak kekerasan yang ditampilkan secara sangat realistis dan grafis, yang mungkin memang disengaja agar kontras dengan dunia imajinasi Ofelia (Ivana Baquero) yang masih polos. Beberapa kali saya harus memicingkan mata karena adegan kekerasan itu begitu brutal dan mengejutkan, terjadi begitu saja tanpa peringatan. Karena itu meskipun pemeran utama film ini seorang anak perempuan berusia 12 tahun, jelas ini bukan film anak-anak, atau film keluarga yang bisa ditonton orang dewasa bersama anak-anak. Ini bukan Harry Potter atau Lord of the Rings, ini jelas-jelas adalah film dewasa yang menuntut penontonnya untuk berpikir, tidak menelan setiap adegan begitu saja.

Film ini sulit dikategorikan, apakah termasuk jenis fantasi, atau justru horor? Sebagian besar adegan, termasuk adegan fantasi, bersuasana muram dan mencekam, kecuali adegan pembuka dan penutup yang menyiratkan secercah harapan di tengah segala kemuraman itu. Guillermo del Toro kelihatannya memang ingin menggabungkan berbagai unsur yang bertolak belakang sehingga membuat film ini menjadi sangat memikat dengan cara yang aneh. Ada keindahan yang mencekam, kengerian yang mengagumkan, dan kemuraman yang memberi harapan.

Plotnya sendiri sebenarnya sederhana, yaitu tentang kekuatan imajinasi seorang gadis kecil yang memberinya kemampuan untuk menghadapi kenyataan hidup yang keras dan kejam. Dari sini timbul pertanyaan, apakah imajinasi itu memang benar-benar memberi jalan keluar bagi masalah hidup? Atau hanya sekadar satu cara lain lagi untuk menipu diri sendiri dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja, walaupun pada kenyataannya sama sekali bertolak belakang? Film ini tidak memberi jawaban yang tegas, hanya menampilkan akhir yang menggantung, terbuka pada berbagai penafsiran.

Jika Anda hanya ingin menikmati film akhir pekan dengan santai, saya tidak menyarankan untuk menonton film ini. Tapi jika Anda memang ingin mendapatkan sesuatu untuk direnungkan, saya sangat merekomendasikannya.

NB: tulisan ini dimuat juga di blog mazdanez.

Josua Manurung's picture

menurut saya...

menurut saya film itu kurang begitu bagus... saya tidak suka dengan tokoh pembujuknya yang berkepala kambing/domba jantan... mengingatkan saya atas si jahat iblis apalagi monster yang ada matanya di tangan... wah... tidak bagus dilihat anak-anak... penggabungan plot yang nyaris sempurna... disebabkan oleh closing yang kurang bagus... Mengapa tidak menonton Bridge to Terabithia atau High School Musical... itu lebih baik... menurut saya lho... :) TUHAN Memberkati.
__________________

BIG GBU!

Indonesia-saram's picture

Pan's Labyrinth

Ketika pertama kali melihat cuplikannya, saya juga merasa aneh dengan film satu ini. Kesan yang menakutkan juga muncul tatkala melihat makhluk bertanduk tersebut. Namun akhir pekan kemarin (Sabtu, 21 April 2007), saya berkesempatan melihat film ini secara keseluruhan.

Sosok Il capitano Vidal yang sadis itu memang menyeramkan. Main hajar dan tembak seenak perutnya. Juga tipe ayah tiri yang bisa digolongkan kejam.

Dari awal, saya sama sekali tidak mengerti apa tujuan utama dari si makhluk bertanduk itu; apa tujuan utama film ini. Dan saya kira di sinilah letak kekuatan film ini, setidaknya bagi saya. Benar-benar mampu membuat saya, yang kala menontonnya sempat terkantuk-kantuk, menyaksikan sampai akhir. Dan justru akhir cerita itulah yang mencelikkan mata saya. Keberanian si tokoh utama untuk lebih memilih dirinya sendiri daripada adiknya menjadi kunci utama film ini.

Film ini sendiri, saya sangat setuju, bukan untuk anak-anak, meskipun tokoh utamanya justru anak-anak.

Satu hal lagi, untunglah ini bukan film Hollywood. Soalnya saya memang tidak begitu suka menyaksikan film Hollywood; hanya beberapa paling.

"Karena bahasa Indonesia dahulunya adalah lingua franca"

__________________

_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.

Ari_Thok's picture

Sempet Bingung

Hari Minggu kemaren ada kesempatan melihat film ini lewat dvd bersama dua teman dekat (mm .. mereka lebih sering menutup mata saat adegan-adegan keras muncul beberapa kali di film ini, gak tega mungkin). Awalnya sih kepikiran ini film tentang dongeng anak-anak seperti The Cronicle of Narnia, ya tentu saja karena cover dvd nya menggambarkan seperti itu, dunia fantasi. Tetapi setelah melihatnya, ternyata itu hanya bagian kecil dari cerita yang ditampilkan. Sempet bingung juga dalam menyambungkan antara daya khayal "Ofelia" dengan adegan kekerasan dan perang yang terjadi saat itu. Mmmm.. Aku setuju bahwa inti cerita terletak di bagian akhir film, bagaimana "Ofelia" memilih mengorbankan dirinya daripada saudaranya (adiknya). "Ofelia" pun mendapatkan "penghargaan / kemuliaan" karena memilih keputusan yang benar. Jadi sedikit merenung bagaimana Yesus lebih memilih menyerahkan nyawaNya di kayu salib daripada melihat manusia binasa dalam kematian kekal. Thx GOD
__________________

*yuk komen jangan cuma ngeblog*


*yuk ngeblog jangan cuma komen*