Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Jakarta

anakpatirsa's picture

        "Siang ini kamu bisa ke Jakarta?"

        Kutatap ia. Aku jarang menatap langsung muka orang. Kali ini, apa yang ia tanyakan membuatku menatapnya heran. Hari sudah hampir siang, tetapi dengan seenaknya ia bertanya apakah aku bisa ke Jakarta siang ini. Aku memang tidak perlu ikut memikirkan tiket; aku memang tidak punya barang berharga yang bisa dicuri orang; dan aku memang tidak punya kucing yang harus diberi makan selama kutinggal pergi. Tetapi hanya orang sinting yang kalau ke Jakarta seperti mau berangkat membeli pisang goreng saja.

        "Kamu pelatihan sebulan di sana."

        Kutatap lagi ia. Itu hanya bisa kulakukan kalau tidak yakin lawan bicaraku masih waras.

        "Kalau kamu tidak bisa, Nita yang akan berangkat," katanya. "Tapi saya harus konfirmasikan dulu ke Jakarta kalau ada pergantian peserta."

        Ia memang gila. Tetapi membiarkan si Nita yang sok cantik dan banyak gaya itu tinggal di Jakarta selama sebulan, lalu aku yang harus mengerjakan pekerjaannya selama sebulan, aku tidak rela.

        Aku masih waras, kuterima tawarannya.

        Di Jakarta aku bisa mengenal dunia lain. Dunia yang diceritakan oleh seseorang yang jengkel karena kukatakan bahwa ia tidak perlu mencemaskan diriku, aku punya dunia sendiri yang tidak pernah dipahami orang lain, dan orang lain tidak akan pernah bisa memahami duniaku juga. Aku ingat apa yang ia tulis waktu itu: "Kamu itu cerdas, tapi selain cerdas manusia juga harus punya keseimbangan emosi. Salah satu caranya dengan banyak bergaul dan mengenal dunia lain selain duniamu. Ayolah, jangan egois, itu bukan karena kamu nggak pede atau kaku, tapi kamu egois karena seolah-olah nggak mau tahu dengan dunia luar. Begitu indah dunia di luar sana yang belum kamu ketahui. Berbaurlah, bersosialisasilah. Berusahalah untuk menyeimbangkan otak kiri dan otak kananmu."

        Aku akan ke Jakarta, siapa tahu bisa melihat dunia indah di luar sana yang belum kuketahui itu. Mungkin di Jakarta aku juga bisa menyeimbangkan otak kiri dan kananku dengan mendengar klakson motor dan mobil secara bersamaan.

        "Juga ada surat penting yang harus kamu antar ke Jakarta."

        "Tetapi saya tidak terlalu mengenal Jakarta," kataku.

        Aku hanya mengenal Jakarta sebagai kota yang mengerikan. Kota dengan rentetan klakson tiada henti; kota dengan iringan sopir taksi dan tukang ojek yang berebutan memegang tasku, seolah-olah takut ada yang mau mencurinya.

        "Tidak apa-apa," katanya, "kamu hanya perlu menyerahkan surat itu saat melapor. Mereka sudah tahu."

        "Ok," kataku.

        Lima belas menit kemudian, aku sudah menjejelkan pakaian ke dalam koper. Jam dua belas, aku sudah ada di bandara. Setelah menunggu setengah menit, orang yang tidak kukenal mendekat. Ia bertanya apakah aku orang yang harus ia temui.

        "Saya dari Babon Travel," katanya sambil menyerahkan sebuah tiket.

        Kuperiksa nama dan jadwal keberangkatanku, masih boleh check-in. Kulihat harga tiketnya, kalau bisa bersiul, aku pasti bersiul.

***

        Jakarta!

        Aku sudah tahu apa yang menyambutku di pintu keluar. Sederetan manusia yang menawarkan jasanya. Karena pepatah "malu bertanya sesat di jalan" tidak berlaku di kota ini, aku tidak akan menunjukkan kalau diriku begitu asing dengan kota ini. Aku tidak perlu bingung mencari alamat itu. Aku hanya perlu menelpon nomor yang tertera di surat panggilanku. Surat yang lampirannya adalah sepucuk peta.

        Aku sedang membaca peta itu ketika seseorang menawarkan jasanya.

        "Mau kemana, Mas? " katanya.

        Kutunjukkan peta itu.

        "Saya antar ke sana," katanya, "Naik Avanza."

        Di kampungku, travel yang menggunakan mobil Avanza kurang begitu laku. Karena orang yang dapat jatah duduk di belakang lebih rawan muntah dan kepalanya lebih sering kecedut.

        "Berapa?"

        "Empat ratus ribu saja."

        Hari ini aku dua kali menatap wajah seseorang dengan tatapan aneh. Empat ratus ribu? Mengapa tidak sekalian ke Surabaya saja?

        "Nggak, Pak," kataku.

        "Bisa nawar, Mas."

        "Nggak usah," kataku.

        "Ayo Mas, Jarang orang mau antar ke sana."

        "Aku tinggal telpon saja nomor ini," kataku sambil menunjuk deretan angka di bawah kop surat itu.

        Ia pergi.

        Sepertinya wartel memang sudah bangkrut. Terpaksa kupakai ponselku. Kutelpon nomor itu. "Saya sudah di bandara. Bagaimana saya bisa sampai ke sana?"

        Ia menanyakan asalku.

        "Dari Kalimantan."

        Mungkin ia sudah tahu bagaimana kalau orang Kalimantan menelpon. Tidak ada ba bi bu, langsung tembak. Itu karena kami memang terbiasa kejar-kejaran ‘spedometer’-nya wartel.

        "Naik DAMRI yang jurusan Kampung Rambutan. Bilang saja sama sopirnya turun di Garuda."

        "Ok, Pak," kataku, "Terima kasih."

        Ia pasti tahu aku mau memutuskan telpon. Ini juga penyakit orang Kalimantan, tidak pernah mau mendengar instruksi sampai selesai. Segera ia berkata, "Habis itu, Bapak bisa jalan kaki atau naik ojek ke sini. Tanya saja orang di Garuda, mereka pasti tahu."

        "Ok, terima kasih."

        Langsung kucek pulsaku. Berkurang delapan ratus rupiah. Pantas wartel-wartel sudah pada bangkrut.

        Kata salah satu sopir taksi tadi, bisa sampai malam kalau aku menunggu bis DAMRI datang. Ia bohong. Tidak sampai sepuluh menit, ada orang berteriak, "Kampung Rambutan… Kampung Rambutan…."

        Aku pun menikmati perjalanan di atas bis. Aku merasa tidak perlu malu menatap Jakarta seperti orang kampung. Orang yang duduk di sebelahku juga tidak peduli. Ia orang Jakarta, orang Jakarta terlalu sibuk dengan segala tetek-bengek urusannya sendiri. Mereka tidak peduli sama orang dari udik, kecuali orang udik itu kelihatan seperti tukang copet.

        "Garuda, Garuda," teriak kondektur.

        Tidak ada halte. Di peta memang ada tulisan Halte Busway Tamini, tetapi bisku hanya berhenti di pinggir jalan dekat belokan.

        Kupastikan saja, "Ini Garuda?"

        "Ya," katanya.

        Aku pun turun.

        Kulihat lagi peta. Tamini Square ada di seberang. Sekarang peta itu baru punya arti bagiku. Kuputuskan berjalan kaki saja ke gedung yang warnanya hitam di peta. Kutolak semua tukang ojek dan sopir taksi hanya dengan lambaian tangan.

        Aku belum berjalan terlalu jauh ketika darahku tiba-tiba berhenti.

        Koperku masih di dalam bis.

        Jakarta!

        Semua yang kubutuhkan untuk bertahan hidup di kota ini ada di dalam koper itu. Tetapi bukan itu yang membuat jantungku serasa dihantam batu sebesar buah durian. Surat titipan itu ada di dalamnya. Surat itu sudah mengalami puluhan revisi karena takut Jakarta tersinggung. Bahkan setelah revisi itu selesai, suratnya mendekam berminggu-minggu di meja seseorang, menunggu orangnya mengumpulkan keberanian untuk menandatanganinya.

        Kalau sampai surat itu hilang…. Aku tidak mau membayangkannya.

        Kulihat tiketku. Terlalu banyak nomor di sana. Kudekati penjual makanan di pinggir jalan, "Pak, saya tadi naik DAMRI, koper saya masih di dalam bis. Kantor mana yang harus saya hubungi untuk melacak tas itu?"

        "Cepat susul ke Kampung Rambutan saja," istrinya yang menjawab.

        "Itu, sama Mas itu," tambah sang suami. Ia langsung memanggil orangnya, tukang ojek yang kutolak hanya dengan sebuah lambaian.

        "Mas, koper saya masih di dalam bis DAMRI," kataku, "bisa kita kejar?"

        "Ya", katanya. "Ayo."

        "Sebentar dulu. Saya perlu tahu berapa ongkosnya?"

        "Nanti, gampang saja. Bisnya disusul saja dulu."

        "Nggak," kataku. Jakarta begitu jahat. Aku tidak mau tertipu, "Saya perlu tahu ongkosnya sekarang."

        "Lima belasan ribu," katanya.

        Aku kaget mendengarnya. Ini Jakarta. Di kotaku, tukang ojek baru mau menerima lima belas ribu kalau bannya dicopot dulu.

        "Ok," kataku.

        "Naik, Mas."

        "Nggak ada helm?"

        "Nggak apa-apa," katanya.

        Aku belum benar-benar duduk ketika ia menarik gas. Kami berkelak-kelok mendahului motor dan mobil lain. Entah mengapa, telingaku tidak lagi mendengar suara klakson. Cukup jauh kami bergerak seperti ular. Cukup banyak bis yang kami lewati. Di daerah yang sepertinya memang Kampung Rambutan, ada bis yang juga baru berhenti. Ojek yang kutumpangi langsung berhenti didepannya.

        "Itu bisnya?"

        Bagiku semua bis bentuknya sama.

        "Ya," katanya.

        Aku ragu, tetapi tetap turun.

        Kondekturnya yang malah mengingat mukaku.

        "Tadi nggak bilang," katanya setelah kukatakan koperku ketinggalan, "Masnya langsung ngeloyor pergi saja."

        "Lupa," kataku.

        Kuambil koperku. Kalau itu manusia, kupeluk sebagai ungkapan rasa senang bisa kutemukan kembali. Kalau koper itu hilang, lalu penemunya membaca isi surat itu tanpa tahu latar belakang cerita di balik itu semua, ia pasti langsung berlari ke stasiun televisi. Bukan wajahku yang bakalan muncul di layar televisi.

***

        Jakarta.

        Surat itu pasti sekarang sudah sampai di alamat tujuannya.

        Aku sudah boleh melupakannya.

        Aku punya urusan lain. Aku punya beberapa teman baru. Jumlahnya sama dengan jumlah provinsi di negeri ini minus provinsiku. Tidak semua orang tahu kalau gadis pedalaman Kalimantan itu putih-putih dan cantik-cantik, tetapi semua orang sudah tahu kalau gadis dari ibukotanya Sulawesi Utara itu putih-putih dan cantik-cantik. Satu dari makhluk itu bisa kulihat setiap pagi. Pintu kamarnya tepat di depan pintu kamarku. Jadi, setiap mau senam pagi, begitu membuka pintu, biasanya aku menerima sebuah senyum manis. Suatu saat makhluk itu akan bertanya-tanya, bagaimana bisa pintu kamar kami terbuka bersamaan.

        Sepertinya, aku bisa menikmati sebulanku di Jakarta.

Rusdy's picture

Ketinggalan Barang

"...ketika darahku tiba-tiba berhenti"

Jadi inget ketika saya ketinggalan passport di negeri entah berantah. Duh-duh, paniknya luar biasa

hai hai's picture

KEREN

Karya AnakPatirsa selalu KEREN! Ha ha ha ha ha ...

 

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak