Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Keunggulan kultural dan perencanaan kota

victorc's picture

Shalom,

Selamat malam sobat-sobat yang dikasihi Tuhan, kemarin saya mengunjungi saudara sepupu saya yang kebetulan seorang arsitek. Dulu dia pernah menempuh studi tingkat pascasarjana di Undip, dan tesisnya mengambil topik seputar arsitektur kota. Jadi saya senang berdiskusi dengan dia tentang banyak hal, khususnya yang berkaitan dengan perencanaan kota. Saya menyarikan hasil diskusi kami kemarin dalam artikel singkat ini dengan harapan agar bermanfaat sebagai bahan pemikiran lebih lanjut.

Motivasi
Blog ini memang berfokus pada ajaran kristiani, tapi menurut hemat saya masalah kesejahteraan kota juga merupakan suatu hal yang menjadi tanggung jawab kita sebagai umat Kristen. Bukankah ada ayat tertulis: "Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu."(Yer. 29:7) Jadi menurut hemat saya membicarakan tentang kota tetap relevan dengan iman kristen. Itulah motivasi saya.

Problem perkotaan di Indonesia
Dari diskusi saya dengan sepupu saya, ada beberapa hal penting yang bisa saya tulis di sini, misalnya tentang problem perkotaan yang umum terjadi di manapun di Indonesia. Beberapa di antara problem tersebut cukup jelas, misalnya:
a. Problem melonjaknya populasi di kota-kota
b. problem infrastruktur: air minum, jalan, listrik, sampah, dan lain lain
c. Problem lunturnya identitas kultural kota karena kota terlalu terseret arus kapitalisme, misalnya banyak mal dll.
d. Problem hilangnya sifat ramahtamah dan ciri khas yang wajar di antara warga kota
e. problem sosial dan kriminal di perkotaan
Salah satu yang perlu digarisbawahi di sini adalah hilangnya identitas kultural di kota-kota di Indonesia. Kota-kota banyak yang berubah wajah menjadi ajang papan reklame dan mal di mana-mana, sementara bangunan-bangunan peninggalan bersejarah yang bernilai budaya semakin tergusur.

Alternatif solusi
Alternatif solusi yang bisa ditawarkan adalah memulihkan identitas kultural tersebut, dengan meningkatkan mutu perencanaan kota. Memang urban design masih sering tampak berkompromi dengan kepentingan dan agenda bisnis dan politis, tapi sudah saatnya kita belajar untuk berpikir makro dengan kerangka waktu 20-25 tahun ke depan. Karena itu perencanaan kota perlu mengembangkan pendekatan kultural yang sesuai dengan budaya setempat.
Lalu saya teringat dengan sebuah buku tipis yang saya tulis sekitar tahun 2008 yang membahas tentang keunggulan kultural. Buku itu berjudul: Cultural advantage for cities, dan dapat dicari di academia.edu, lihat ref. [4]. Waktu itu saya berusaha mencari tentang topik ini di google, tapi tidak banyak artikel atau paper yang mengupas tentang keunggulan kultural dalam perencanaan kota. Jadi saya memutuskan menulis apa yang ada di dalam benak saya tentang topik keunggulan kultural ini.
Sewaktu menulis buku tersebut, yang saya bayangkan hanyalah mengembangkan kerangka konsep keunggulan yang tidak bernuansa kompetitif seperti keunggulan kompetitif yang digagas oleh Michael Porter, seorang profesor ahli strategi bisnis dari Harvard University. Lihat ref. [1]
Sekitar tahun 1990 dia menulis sebuah buku yang berjudul Keunggulan Kompetitif Bangsa-bangsa (Competitive Advantage for Nations) yang segera menjadi istilah populer di kalangan bisnis maupun akademis,khususnya program studi MBA.
Namun dalam perkembangannya, banyak studi empiris yang telah dilakukan ternyata menunjukkan bahwa kerangka kerja yang diusulkan oleh Porter tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Dalam bagian berikut saya akan mencoba mengulas sedikit beberapa aspek yang menyebabkan kegagalan model kompetitif Porter.

Kegagalan model kompetitif Porter
Faktor pertama, adalah bahwa model Porter dikembangkan awalnya pada lingkup perusahaan-perusahaan industri di negara maju, jadi sangat tidak tepat jika rekomendasi-rekomendasi yang diberikan akan dianjurkan juga untuk negara-negara berkembang yang sulit bersaing dari segi modal dan teknologi. Lihat ulasan dalam ref. [2]. Karena itu perlu dikembangkan model yang bisa diterapkan bagi negara-negara berkembang. Salah satu contoh adalah India, yang alhir-akhir ini sering diulas di berbagai majalah karena adanya problem leher botol (India's bottleneck). Inti persoalannya adalah pembangunan di India mengambil model lompatan quantum dari pertanian ke informatika. Memang banyak muncul orang kaya baru di India, yang menjadi besar karena bisnis sebagai pengembang rekayasa peranti lunak, tapi itu paling-paling hanya 5-10% dari seluruh populasi yang terangkat ekonomi. Sementara itu mayoritas penduduk masih terjebak dalam kemiskinan yang parah. Dalam metafora, ini mirip seperti lokomotif kereta api yang terputus dari gerbing-gerbong di belakangnya, sehingga gerbong-gerbong itu tetap tertinggal. Jadi pertanyaannya: apakah Indonesia sudah memiliki srategi agar tidak mengalami problem leher botol tersebut?
Faktor kedua, dan lebih mendasar adalah model kompetitif itu sudah agak usang dari sudut pandang teori permainan (game theory). Sudah banyak perkembangan dalam teori permainan yang menggunakan model kooperatif atau ko-opetitif. Lihat ref. [3]. Permasalahan utama dalam model kompetitif adalah mengabaikan fakta bahwa seringkali kerjasama menjanjikan hasil atau gain yang lebih baik dibandingkan bersaing sampai mati. Sebagai misal, salah satu dalil mendasar dalam teori ekonomi apapun adalah bahwa setiap orang akan berusaha memaksimalkan utilitasnya,dan diasumsikan bahwa dengan sendirinya kesejahteraan keseluruhan masyarakat akan tercapai dengan sendirinya. Dalil yang berasal dari ideologi laissez faire Adam Smith ini sepintas terkesan indah dan manis, tapi kalau direnungkan sebenarnya adalah suatu kontradiksi dalam logika. Bayangkan jika setiap pelaku pasar hanya memikirkan keuntungannya sendiri tanpa memikirkan kepentingan bersama, maka jelas sendi-sendi kehidupan dalam masyarakat itu akan hancur.
Dengan kata lain, pendekatan kompetitif itu gagal baik sebagai suatu dalil dalam ilmu ekonomi maupun dalam bidang strategi bisnis. Tampaknya di masa mendatang, teori permainan kooperatif akan banyak membantu merumuskan ulang dasar-dasar ilmu ekonomi.

Bagaimana dengan Indonesia?
Kembali pada buku kami yang membahas tentang keunggulan kultural. Kita sebagai bangsa Indonesia perlu menyadari beberala fakta:
a. bahwa sebagai negara berkembang kita akan sulit mengejar ketertinggalan kita dari negara-negara maju lainnya. Bahkan membuat mobil atau mesin jahit saja kita masih kesulitan. Jadi model kompetitif yang dikembangkan untuk masyarakat industri tampaknya bukan pendekatan yang cocok.
b. bangsa Indonesia memiliki karunia berupa alam yang indah dan warisan budaya yang melimpah. Aset tersebut dapat segera dikonversi menjadi keunggulan kultural baik melalui wisata budaya maupun melalui industri fashion misalnya.
c. Tentunya pengembangan industri tertap perlu dilakukan untuk menunjang kebutuhan lokal.
d. Dalam mewujudkan keunggulan kultural itu, perku melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) terutama para arsitek perencana kota yang berperan mengubah wajah kota menjadi kota-kota yang berciri budaya yang kuat.
E. para perumus kebijakan ekonomi perlu mengembangkan keunggulan kultural ini dalam strategi jangka panjang, sedemikian sehingga sebagian besar gerbong dapat bergerak maju.

Catatan penutup
Buku kami yang berjudul Cultural advantage for cities (2008) pernah dipresentasikan kepada para mahasiswa Program Pascasarjana Studi Pembangunan di UKSW, Salatiga, sekitar Oktober 2008. Sebagai penyanggah adalah Dr. David Widihandojo, yang kini menjabat sebagai dekan Fakultas Ekonomi di Universitas Pelita Harapan, Tangerang. Terimakasih kepada Prof. Kutut Suwondo (alm.) yang waktu itu memberi kesempatan kepada saya untuk mempresentasikan buku tersebut.

Begitulah kira-kira rangkuman diskusi saya kemarin dengan sepupu saya, bagaimana pendapat Anda?

Jika ada saran dan komentar, silakan kirim ke email: victorchristianto@gmail.com. Terimakasih.

19 april 2015, pk. 21:51
VC

Referensi:
[1] Michael Porter. What is strategy? Harvard Business Review, 1996.
[2] Davies & Ellis. Porter's Competitive advantage of nations: the final judgment? Journal of Management Studies, 2000. URL: https://effectsizefaq.files.wordpress.com/2011/03/davies-and-ellis-2000-porters-final-judgment-joms-378.pdf
[3] David Yeung & Leon Petrosyan. Subgame Consistent Economic Optimization. Birkhauser, 2012.
[4] Florentin Smarandache & Victor Christianto. Cultural advantage for cities: Alternative framework for developing countries, 2008, Available at url: http://independent.academia.edu/VChristianto

 

=======

POST SCRIPTA

 

Hari ini (21-04-2015) ada sebuah pesan email yang masuk memberikan komentar tentang artikel di atas. Begini isinya:

 

Salam Sejahtera,

Perkenalkan saya Erman Siregar, saya tertarik membaca tulisan bapak di http://sabdaspace.org/keunggulan_kultural_dan_perencanaan_kota
Saya memang tidak sepenuhnya memahami tentang Model Kompetitif Porter. Namun bila diperhatikan dikehidupan sehari-hari sistem persaingan sudah menjadi kultur (budaya)yang mengakar. Pilihannya adalah MENYINGKIRKAN atau DISINGKIRKAN. 
Saya sangat setuju dengan pendapat Bapak tentang model kooperatif. Namun suatu saat ketika tujuan mulia dari model kooperatif dicapai atau dalam perjalanan mencapai tujuannya Karakter Manusia akan menjadi faktor penting sebagai penentu. Iblis tidak akan tinggal diam mengganggu manusia, Sikap serakah ingin memiliki apa yang didunia ini adalah salah satu karyanya.
Dari mana seharusnya kita mulai? karena membangun sebuah Kultur tidak bisa diwujudkan dalam sehari. bahkan untuk menggantikan sebuah kultur lama dengan kultur yang baru membutuhkan periode beberapa generasi. Bagaimana menurut pendapat Bapak?  Terima kasih. 
Tuhan memberkati kita semua.

-----

Dan berikut ini tanggapan saya kepada Erman:

Shalom Erman,


terimakasih emailmu. Memang tidak mudah membuat gerakan counter terhadap persaingan, tapi setidaknya kita bisa mulai dengan membangun kesadaran kritis bahwa kerjasama (kooperatif) seringkali lebih bermakna baik dari segi hasil akhir maupun sebagai manusia yang bermartabat. Bahkan UUD 1945 pasal 33 disebutkan bahwa landasan ekonomi.adalah asas kekeluargaan dan kebersamaan. Di sini saya memaknai kekeluargaan dan kerjasama (koperasi) bukan hanya dari organisasinya, tapi justru dari "co-operation" yang dikenal dalam game theory.
Btw, saya memang bukan ahli ekonomi atau matematikawan, tapi hanya menuangkan kegelisahan saya dalam bentuk blog, Andapun dapat menulis di blog sabdaspace.net tentang pengalaman atau refleksi sehari-hari.
O ya, kalau ingin membaca buku saya tentang Keunggulan Kultural, siakan visit: http://www.academia.edu/4302554/Cultural_Advantage_for_Cities_An_alternative_for_developing_countries
Shalom,
Victor 
__________________

Dari seorang hamba Yesus Kristus (Lih. Lukas 17:10)

"we were born of the Light"

Prepare for the Second Coming of Jesus Christ:

http://bit.ly/ApocalypseTV

visit also:

http://sttsati.academia.edu/VChristianto


http://bit.ly/infobatique